Home / Pendekar / Warisan Darah Langit / Di Bawah Bayang-Bayang Wana Jagad

Share

Warisan Darah Langit
Warisan Darah Langit
Author: Kingdenie

Di Bawah Bayang-Bayang Wana Jagad

Author: Kingdenie
last update Last Updated: 2025-11-23 15:19:23

Angin pagi di Puncak Wana Jagad tidak pernah ramah sejak dulu. Udara yang turun dari pegunungan utara membawa serpihan es halus yang menusuk kulit seperti jarum dingin. Bagi orang yang tidak memiliki api kultivasi, hawa itu terasa seolah ingin mengeras di dalam tulang.

Bagi ribuan murid Sekte Wana Jagad, dinginnya hanya gangguan kecil yang hilang begitu mereka memutar Qi. Tapi bagi Aksara Linggar, rasa dingin ini adalah seorang teman lama yang punya kelakuan buruk yang setiap hari menyambutnya saat ia membuka mata.

Ia terbangun sambil mengembuskan napas putih. Tubuhnya menggigil di atas tikar jerami tipis yang sudah usang. Tidak ada selimut, tidak ada tungku. Gubuk reyot tempatnya tinggal berdiri di sudut paling belakang sekte, berdekatan dengan kandang hewan spiritual dan tempat pembuangan limbah ramuan. Bau menyengat dari kotoran dan herbal busuk sudah menjadi bagian dari kesehariannya; hidungnya tak lagi protes.

Saat ia bangkit, punggungnya berderak kecil. Tubuh usia tujuh belas tahun itu seolah membawa beban orang yang hidup terlalu lama dalam lelah. Matanya yang sayu mengarah ke celah dinding, mencari tanda-tanda cahaya. Langit masih gelap keunguan, waktu di mana malam dan pagi saling berebut.

Waktunya bangun. Tidak ada pilihan. Bila ia terlambat sedikit saja, cambuk pengawas asrama akan menyambutnya lebih dulu daripada fajar.

Ia membasuh wajah dengan air dari gentong, permukaannya mengeras menjadi lapisan es tipis. Air itu seperti menampar kulitnya, dingin menyengat, namun cukup untuk membuatnya benar-benar sadar. Setelah itu ia mengenakan jubah abu-abu lusuh penuh tambalan. Jubah itu kedodoran di tubuhnya yang kurus, seolah tidak ada daging di baliknya.

Dengan sapu lidi besar di tangan, ia keluar dari gubuk. Kesunyian masih menyelimuti seluruh kompleks sekte. Kabut tebal bergantung rendah, menutupi bangunan-bangunan megah dengan atap melengkung seperti daun raksasa. Pilar-pilar kayu hitam purba muncul samar di balik kabut, sementara jalan berbatu sungai memantulkan cahaya redup.

Pemandangan ini indah, tapi bagi Aksara justru ironi. Ia tinggal di tempat yang disebut surga oleh banyak orang, tempat di mana manusia bisa terbang, membelah batu, dan menaklukkan alam, tapi ia sendiri hidup lebih hina daripada anjing penjaga gerbang.

Perjalanannya menuju Aula Latihan Utama menanjak. Setelah sekitar seratus langkah, paru-parunya mulai terasa sesak. Sandal jeraminya rapuh dan tipis; setiap kerikil kecil menusuk telapak kakinya.

Setiap langkah mengingatkannya pada kenyataan pahit yang tak pernah pergi.

Di dunia ini, hidup dan mati ditentukan oleh Qi. Semua manusia terlahir dengan meridian sebagai wadah energi. Namun sejak kecil, Aksara sudah dinilai berbeda.

Tubuhnya disebut “Bejana Bocor.”

Ia memiliki meridian, tapi jalurnya tidak mampu menahan energi. Qi apa pun yang ia coba serap selalu mengalir kembali, hilang tanpa jejak. Seratus tahun meditasi pun tidak akan mengubah dirinya menjadi kultivator.

“Buang ke dapur saja,” begitu komentar salah satu tetua saat ia masih bayi, kata-kata yang ia dengar dari seseorang dan selalu membayanginya.

“Kekuatan nol, berguna hanya untuk pekerjaan rendahan.”

Aksara mengusir suara itu dari kepalanya. Ia sudah bosan namun tidak pernah benar-benar kebal.

Ia tiba di lapangan granit hijau Aula Latihan Utama dan mulai menyapu.

Srek.

Srek.

Srek.

Hanya suara sapu yang menemani. Ia membersihkan daun kering, menghapus debu, dan menyingkap garis formasi di lantai. Ia tidak melakukannya karena cinta pada pekerjaan, melainkan karena takut pada hukuman.

Ketika matahari muncul sedikit di balik puncak gunung timur, cahaya emas mengalir turun dan menandai waktu kedatangan para murid sejati. Mereka yang disebut “dewa muda.”

Satu demi satu murid sekte berdatangan. Jubah putih bersih mereka tampak berpendar di bawah cahaya pagi. Motif hijau dan perak menghiasi seragam mereka, menandakan status dan bakat. Kulit mereka tampak sehat, gerakan mereka ringan seolah angin mendukung langkah.

Aksara langsung menepi. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tahu tempatnya. Di tengah orang-orang yang dibesarkan untuk menjadi legenda, ia hanyalah noda kecil yang seharusnya tidak terlihat.

“Eh, lihat siapa yang sudah bangun duluan.”

Tubuh Aksara menegang. Ia mengenali suara itu.

Suara itu milik Darius.

Ia tidak mengangkat kepala, tapi sepatu bot kulit rusa berhenti tepat di depan wajahnya yang menunduk. Darius adalah murid inti dari Aula Pedang, anak tetua, berbakat, tampan, dan kaya. Satu-satunya hal yang ia lakukan dengan sepenuh hati adalah merundung Aksara.

"Selamat pagi, Tuan Muda Darius," gumam Aksara pelan, suaranya serak.

"Pagi?" Darius tertawa, tawa yang diikuti oleh beberapa pengikutnya. "Pagi ini cerah, tapi melihat wajahmu yang suram membuatku merasa mendung."

Salah satu pengikut Darius, seorang pemuda berbadan gempal, menendang sapu di tangan Aksara hingga terlempar jauh. "Kau tidak dengar Tuan Muda bicara? Angkat wajahmu, Sampah!"

Aksara perlahan mengangkat kepalanya. Ia menatap wajah Darius yang menyeringai. Ada kepuasan sadis di mata pemuda itu.

"Kau tahu, Aksara," kata Darius sambil memutar-mutar cincin giok di jarinya. "Kemarin aku mencoba teknik pedang baru. Tebasan Akar Liar. Tapi aku merasa gerakanku kurang luwes karena target kayunya diam saja. Aku butuh target yang ... lebih responsif."

Jantung Aksara berdegup kencang. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. "Tuan Muda ... saya harus menyelesaikan tugas kebersihan ..."

"Tugasmu adalah melayani murid sekte!" potong Darius tajam. Wajahnya yang tampan berubah dingin. "Dan sekarang, aku ingin kau melayaniku sebagai samsak."

Tanpa peringatan, kaki Darius melayang. Tendangan itu dilapisi Qi tipis, cukup untuk meremukkan batu bata.

Bugh!

Aksara terlempar tiga meter ke belakang. Tubuhnya menghantam pilar kayu ulin. Rasa sakit meledak di dadanya, membuatnya tersedak. Ia terbatuk, dan cairan hangat keluar dari mulutnya.

Darah.

Darius tidak menggunakan kekuatan penuh. Jika ia serius, Aksara sudah mati. Ia hanya menggunakan cukup tenaga untuk menyakiti, bukan membunuh. Itu adalah seni penyiksaan, bertujuan untuk menjaga mainanmu tetap hidup agar bisa dimainkan lagi besok.

"Lemah," cibir Darius, berjalan mendekat. Ia menginjak dada Aksara, menekan perlahan hingga Aksara kesulitan bernapas. "Lihat dirimu. Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri dari satu tendangan ringan. Untuk apa kau hidup? Kau hanya menghabiskan jatah beras sekte."

Aksara mencengkeram pergelangan kaki Darius, mencoba melepaskannya, tapi tenaga manusia biasa tidak ada artinya melawan seorang kultivator. Air mata frustrasi menggenang di sudut matanya. Bukan karena sakit fisik, ia sudah terbiasa dengan itu tapi karena rasa tidak berdaya. Harga dirinya diinjak-injak di depan puluhan murid lain yang kini menonton sambil berbisik-bisik.

Tidak ada yang menolong. Mengapa mereka harus peduli? Di dunia ini, yang kuat memakan yang lemah. Itu hukum alam Wana Jagad, hutan memakan yang lemah. Aksara adalah kelinci di tengah serigala.

"Cukup, Darius."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Darah Langit   Iblis di Antara Manusia

    Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di

  • Warisan Darah Langit   Kutukan Yang Menghancurkan Langit

    Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di

  • Warisan Darah Langit   Sutra Darah Langit

    Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la

  • Warisan Darah Langit   Pengkhianatan di Tepi Jurang

    Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita

  • Warisan Darah Langit   Menuju Gerbang Kematian

    Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb

  • Warisan Darah Langit   Retakan Pada Wajah Langit

    Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status