Home / Pendekar / Warisan Darah Langit / Retakan Pada Wajah Langit

Share

Retakan Pada Wajah Langit

Author: Kingdenie
last update Last Updated: 2025-11-23 15:35:25

Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.

Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”

Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.

Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.

“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivasi.”

Darius menghela napas dramatis, seolah mendengarkan dongeng yang terlalu sering ia dengar. “Aduh, Laras … jangan kaku begitu. Aku hanya berlatih sedikit. Kau tahu, tubuh harus dipaksa bekerja supaya tidak lembek. Ini justru tujuanku membuat dia berguna.”

“Menyiksa orang lemah bukan latihan,” balas Larasmaya. Ia mendekat perlahan, aura Qi hijaunya berdesir tipis seperti angin. “Dan menyerang orang yang tak bisa melawan balik? Itu bukan perbuatan pendekar. Itu sifat pengecut.”

Senyum Darius langsung hilang. Rautnya menggelap. Para pengikutnya gelisah, tangan mereka meraba hulu pedang, namun Darius menahan mereka dengan satu gerakan tangan. Ia tahu batasnya, Larasmaya adalah murid kesayangan tetua alkimia. Menyentuhnya sama dengan memotong jalur obat-obatan yang ia butuhkan.

“Kau terlalu lembut, Laras,” gumam Darius sambil mendekat, suaranya rendah. “Hatimu itu … suatu hari akan membunuhmu. Kau menyayangi seonggok sampah seperti ini. Kau pikir dia pantas? Yang seperti dia cuma akan menjadi lintah.”

Ia melirik Aksara, napas pemuda itu masih tersengal di tanah. Darius meludah tepat di samping tangan Aksara sebelum berbalik.

“Ayo pergi. Tempat ini bau kemiskinan. Aku perlu mandi kembang setelah menyentuh udara di sini.”

Tawa mereka menggema saat langkah-langkah itu menjauh, membawa pergi rasa sakit yang tinggal berbekas di dada Aksara. Murid lain yang menonton hanya mengangguk kecil, lalu kembali ke latihan seolah tak ada apa pun terjadi.

Yang tersisa hanyalah diam dan rasa malu yang menusuk.

Aksara memejamkan mata, berharap tanah di bawahnya terbuka dan menelan tubuhnya. Rasa sakit di tulang rusuk bukan apa-apa dibandingkan harga dirinya yang tercabik di depan banyak orang. Yang paling ia benci adalah kenyataan bahwa ia diselamatkan lagi oleh gadis yang sama.

“Aksara …”

Suara halus itu mendekat.

“Kau terluka?” Larasmaya mengulurkan tangan untuk menyentuh memarnya.

Aksara menepisnya begitu cepat hingga ia sendiri terkejut dengan gerakannya.

“Jangan sentuh aku!”

Larasmaya terdiam. Ada kilatan terpukul di matanya, namun tak ada kemarahan.

Aksara menunduk dalam-dalam. “Maaf … Nona Laras. Jubah Anda bisa kotor. Saya … saya cuma sampah. Tidak pantas disentuh.”

Dengan napas panjang, Larasmaya kembali berjongkok. Kali ini ia tidak memberi kesempatan Aksara menolak. Telapak tangannya yang hangat menyentuh dada Aksara, memancarkan cahaya hijau lembut.

“Diam. Kau terlalu banyak bicara.” Nadanya lembut, tapi ada kekuatan di baliknya.

Hangat itu merepes perlahan, melumerkan rasa nyeri yang mencengkeram rusuk Aksara. Sensasinya menenangkan, seolah ada tangan lembut menariknya keluar dari gelap.

“Kenapa …” suara Aksara pecah, lirih. “Kenapa Nona selalu menolong? Semua orang melihat saya seperti sampah, seperti penyakit.”

Larasmaya menarik tangan setelah memastikan napas Aksara stabil. Ia mengeluarkan bungkusan kecil dari lengan jubahnya dan menyodorkannya.

“Makan.”

Aksara ragu, tapi aroma daging dan roti kukus memukul perutnya dengan keras. Ia mengambilnya, dan gigitan pertama membuat matanya panas. Hangat. Lembut. Rasa yang hampir ia lupakan.

Ia makan cepat, tidak peduli remah jatuh atau tangannya kotor.

“Kau bertanya kenapa aku baik padamu?” Larasmaya menatap langit. “Tiga tahun lalu, saat aku datang sebagai anak yatim yang ketakutan … ketika semua orang mengolok-olok sandalku yang rusak, siapa yang menjahitnya diam-diam?”

Aksara berhenti makan. Ingatan itu muncul samar.

"Itu ... hanya hal kecil. Saya menemukan benang sisa ..."

"Hal kecil bagimu, tapi dunia bagiku saat itu," potong Larasmaya tegas. Ia menatap lekat ke dalam mata Aksara. "Di tempat ini, semua orang sibuk mengejar keabadian. Mereka membuang emosi demi kekuatan. Mereka menjadi seperti patung batu yang bisa terbang. Tapi kau ... di tengah semua penderitaanmu, kau tetap manusia, Aksara. Kau lebih manusiawi daripada Darius dengan segala bakatnya."

Lebih manusiawi.

Kata-kata itu menghantam batin Aksara, meretakkan dinding pertahanan yang ia bangun selama ini. Ia ingin tertawa pahit. Apa gunanya menjadi manusia jika manusia hanya ditakdirkan untuk diinjak? Namun, melihat ketulusan di mata Larasmaya, ia tidak sanggup membantah.

Larasmaya bangkit berdiri, membersihkan debu di lututnya. "Simpan botol ini," ia meletakkan sebuah botol porselen kecil berisi cairan hijau di samping Aksara. "Oleskan nanti malam. Dan ingat, jangan cepat mati. Aku tidak mau kehilangan satu-satunya teman manusiawi yang kumiliki di sini."

Gadis itu berbalik dan melangkah pergi menuju paviliun alkimia, punggungnya tegak menghadapi dunia yang keras ini.

Aksara menggenggam botol kecil itu erat-erat. Di dadanya, rasa sakit fisik telah hilang, digantikan oleh api baru yang membara. Bukan api kemarahan, melainkan api rasa malu yang membakar.

Malam turun lebih cepat di Puncak Wana Jagad. Awan hitam tebal bergulung menutupi bintang-bintang, menciptakan kegelapan yang pekat dan menekan. Udara terasa berat, seolah-olah alam sedang menahan napas menunggu sesuatu terjadi.

Aksara duduk bersila di depan gubuk reyotnya. Ia baru saja selesai mengoleskan obat pemberian Larasmaya. Rasa dingin mint dari salep itu beradu dengan udara malam.

Tiba-tiba, suara gong raksasa dari Aula Utama berdentum membelah malam.

DUNG! DUNG! DUNG!

Tiga kali.

Itu adalah tanda panggilan darurat atau pengumuman besar.

Aksara mendongak. Suara Tetua Agung, diperkuat dengan Qi, menggema ke seluruh penjuru lembah, terdengar berat dan berwibawa.

"Perhatian seluruh murid Sekte Wana Jagad. Atas titah Langit, Ekspedisi Tahunan ke Pegunungan Waringin Hitam akan dipercepat dan dimulai besok saat fajar menyingsing. Tetua Agung merasakan perubahan energi purba yang langka di sana. Setiap divisi wajib mengirimkan perwakilan terbaiknya."

Ada jeda sejenak, sebelum suara itu melanjutkan dengan nada yang lebih datar.

"Dan bagi Divisi Logistik ... kami membutuhkan tenaga pengangkut tambahan untuk membawa perbekalan dan artefak penyegel. Siapa pun pelayan yang bersedia ikut, akan diberikan imbalan sepuluh keping perak dan satu butir Pil Pembersih Sumsum jika kembali dengan selamat."

Aksara terdiam, napasnya tertahan.

Pegunungan Waringin Hitam.

Nama itu saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri. Itu adalah wilayah terlarang bagi manusia biasa. Hutan yang dipenuhi kabut beracun, binatang buas tingkat tinggi, dan jurang tanpa dasar. Bagi murid kultivator, itu adalah tempat ujian berbahaya. Bagi pelayan tanpa Qi seperti dirinya, itu adalah hukuman mati. "Tenaga pengangkut tambahan" hanyalah istilah halus untuk "umpan hidup" bagi binatang buas.

Namun, telinga Aksara menangkap bagian terakhir pengumuman itu. Pil Pembersih Sumsum.

Itu adalah pil tingkat rendah bagi murid sekte, tapi bagi orang biasa, itu adalah harta karun. Pil itu bisa memperbaiki konstitusi tubuh, membuang kotoran, dan memperpanjang umur. Jika ia bisa mendapatkan pil itu mungkin ia bisa memperbaiki tubuh "Bejana Bocor" miliknya sedikit saja. Setidaknya agar ia tidak selemah ini.

Tapi risikonya adalah nyawa.

Aksara menatap ke arah asrama murid inti. Ia bisa membayangkan Darius di sana, tersenyum licik, bersiap untuk ekspedisi ini sebagai ajang pamer kekuatan. Larasmaya juga pasti akan diperintahkan ikut sebagai tim medis.

Jika Aksara tetap di sini, ia aman. Ia akan bangun besok pagi, menyapu halaman, dihina, makan sisa, dan tidur kedinginan. Siklus itu akan berulang sampai ia tua dan mati tanpa nama.

Tapi jika ia pergi ...

Ia menatap telapak tangannya yang kasar. Kau lebih manusiawi daripada mereka.

"Menjadi manusia saja tidak cukup untuk melindungimu, Laras," gumam Aksara, suaranya bergetar oleh emosi yang meluap. "Aku butuh kekuatan. Sekecil apa pun ... aku ingin mengubah takdir sialan ini."

Ia akan ikut. Ia akan mempertaruhkan nyawanya yang tidak berharga ini di meja judi nasib. Jika ia mati, setidaknya ia mati saat mencoba merangkak naik, bukan saat berlutut.

Aksara bangkit berdiri, hendak masuk ke dalam gubuk untuk mengemasi barang-barangnya yang sedikit. Namun, baru satu langkah ia ambil, kakinya mendadak kaku.

"Ugh ...!"

Aksara mencengkeram dadanya, jatuh berlutut. Napasnya tersendat. Panas itu menjalar cepat ke tenggorokan.

"Uhuk!"

Batuk itu meledak dari parunya, tak tertahankan. Tubuhnya tersentak hebat, membungkuk mencium tanah beku. Cairan hangat menyembur deras dari mulutnya, menodai salju tipis di depan gubuk.

Aksara menyeka bibirnya dengan punggung tangan, gemetar hebat. Ia mengira itu darah luka dalam yang pecah. Namun, saat matanya menangkap noda merah di tanah itu, pupil matanya mengecil karena horor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Darah Langit   Iblis di Antara Manusia

    Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di

  • Warisan Darah Langit   Kutukan Yang Menghancurkan Langit

    Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di

  • Warisan Darah Langit   Sutra Darah Langit

    Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la

  • Warisan Darah Langit   Pengkhianatan di Tepi Jurang

    Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita

  • Warisan Darah Langit   Menuju Gerbang Kematian

    Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb

  • Warisan Darah Langit   Retakan Pada Wajah Langit

    Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status