Home / Pendekar / Warisan Darah Langit / Kutukan Yang Menghancurkan Langit

Share

Kutukan Yang Menghancurkan Langit

Author: Kingdenie
last update Last Updated: 2025-12-01 17:25:16

Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.

Rasanya dingin.

Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika.

"Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."

Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan.

"Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.

Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.

KREEK.

Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di dalam kotak itu, tergeletak sebuah benda yang tampak begitu sederhana hingga mengecewakan.

Sebuah gulungan kulit.

Kulit itu berwarna hitam legam, terbuat dari sisik naga yang ditipiskan, dan diikat dengan benang emas yang terbuat dari urat nadi naga. Di sebelahnya, ada sebuah cincin polos yang terbuat dari tulang putih.

Aksara mengambil gulungan itu. Saat kulitnya bersentuhan dengan permukaan sisik gulungan tersebut, sensasi sengatan listrik menjalar ke seluruh lengannya, langsung menuju jantungnya.

Darah di dalam tubuh Aksara bergejolak, merespons benda itu seperti anak yang mengenali induknya. Tanpa perlu membuka ikatan benangnya, gulungan itu tiba-tiba terurai sendiri, melayang di udara di depan wajah Aksara.

Huruf-huruf emas kuno menyala di permukaan kulit hitam itu, berputar-putar lalu menembus masuk ke dalam dahi Aksara.

"SUTRA DARAH LANGIT: TAHAP PERTAMA - TEMPAAN RAGA IBLIS."

Petunjuk itu meledak di dalam otak Aksara. Ia melihat gambaran tubuh manusia yang dihancurkan berulang kali: kulit yang disayat, tulang yang dipatahkan, organ yang dihimpit batu.

Ini adalah manual penyiksaan diri.

Aksara tersentak mundur, napasnya memburu. Teknik ini gila. Untuk meningkatkan kultivasi, seorang praktisi Sutra Darah Langit tidak perlu bermeditasi di bawah bulan purnama atau memakan pil herbal mahal. Mereka harus melukai diri sendiri.

Setiap luka adalah pintu gerbang bagi energi alam untuk masuk secara paksa. Setiap tetes darah yang tumpah adalah pengorbanan untuk memperkuat fondasi tubuh.

"Apakah kau takut, Anakku?"

Suara naga Wiratama kembali berbisik di kepalanya, nadanya mengejek namun menantang.

"Rasa sakit adalah guru terbaik. Ia tidak pernah berbohong. Ia memberitahumu batasmu, hanya agar kau bisa menghancurkannya."

Aksara menatap kedua tangannya. Tangan yang baru saja membunuh Kelabang Tulang Raksasa. Tangan yang dulu hanya memegang sapu lidi.

"Aku tidak takut sakit," gumam Aksara. "Aku hanya takut menjadi lemah dan tidak berdaya."

Ia beralih pada cincin tulang putih di dalam kotak. Saat ia mengenakannya di jari telunjuk kanan, cincin itu menyusut, menyesuaikan ukurannya dengan jari Aksara, lalu menghilang, seolah menyatu dengan dagingnya.

Sesaat kemudian, sebuah ruang dimensi terbuka di pikirannya.

Cincin Ruang.

Benda sihir tingkat tinggi yang bahkan hanya dimiliki oleh Tetua Sekte. Di dalam ruang dimensi cincin itu, Aksara melihat tumpukan harta karun yang ditinggalkan oleh Wiratama: ribuan pil obat kuno yang auranya saja bisa membuat manusia biasa meledak, senjata-senjata patah yang memancarkan aura pembunuh, dan gunungan batu roh yang bersinar.

 Aksara mengabaikan semuanya. Matanya hanya tertuju pada satu hal. Di sudut ruang dimensi itu, ada sebuah topeng.

Topeng itu terbuat dari kayu hitam yang hangus, diukir kasar menyerupai wajah iblis yang sedang menangis darah. Sederhana, namun mengerikan.

Aksara mengeluarkan topeng itu dari cincin. Ia memegangnya, merasakan tekstur kasarnya.

"Darius ... Sekte Wana Jagad ..." bisik Aksara, matanya berkilat dingin. "Kalian pikir aku sudah mati. Kalian pikir kalian sudah menyingkirkan sampah ini."

Ia mengangkat topeng itu ke wajahnya.

"Baiklah. Aksara si Pelayan memang sudah mati. Yang akan kembali nanti ... adalah mimpi buruk kalian."

Tiga bulan kemudian.

Dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam masih gelap dan mematikan seperti biasa. Namun, penghuni kegelapan di sana kini memiliki satu aturan baru yang tak tertulis: Jangan mendekati Gua Darah.

Di area sekitar danau darah emas, tumpukan bangkai monster berserakan. Ular raksasa, kalajengking lapis baja, hingga kelelawar vampir semuanya mati dengan cara yang brutal. Tubuh mereka hancur, tulang mereka remuk, seolah dihantam oleh palu raksasa.

Di tengah tumpukan mayat itu, seorang pemuda sedang berlatih.

Aksara bertelanjang dada. Tubuhnya yang dulu kurus kering kini telah berubah total. Otot-ototnya padat dan keras seperti kawat baja yang dipilin. Di seluruh tubuhnya, terdapat ratusan bekas luka yang saling silang-menyilang, sejarah dari latihan gilanya selama sembilan puluh hari terakhir.

BUM!

Aksara memukul sebuah batu stalagmit seukuran rumah.

Batu itu tidak pecah. Batu itu ... meledak menjadi debu.

Aksara tidak menggunakan Qi. Ia tidak menggunakan teknik sihir. Itu murni kekuatan fisik. Kekuatan Tempaan Raga Iblis.

Setiap hari, ia membiarkan monster-monster jurang menyerangnya. Ia membiarkan mereka menggigit, mencakar, dan meracuninya. Lalu, saat tubuhnya di ambang kehancuran, ia mengaktifkan Sutra Darah Langit, menyerap rasa sakit itu, dan mengubahnya menjadi kekuatan otot.

Sekarang, kulitnya sekeras baju zirah besi. Racun Kelabang Tulang tidak lagi mempan padanya. Tulang-tulangnya sepadat berlian.

"Hah ... hah ..."

Aksara mengatur napasnya. Uap panas keluar dari mulutnya, menciptakan kabut tipis di udara dingin.

Ia berjalan menuju pinggir danau darah. Di sana, ia melihat pantulan dirinya. Rambut hitamnya kini memanjang hingga punggung, liar dan tak terurus. Matanya masih memiliki pupil vertikal naga yang timbul tenggelam saat emosinya tidak stabil.

"Belum cukup," gumamnya. "Ini baru tahap awal."

Aksara tahu, kekuatan fisik saja tidak akan cukup untuk melawan para Tetua Sekte Wana Jagad yang menguasai teknik sihir tingkat tinggi.

Ia butuh lebih.

Ia kembali duduk bersila di depan gua, mengeluarkan gulungan hitam itu lagi.

"SUTRA DARAH LANGIT: TAHAP KEDUA - DOMINASI JIWA NAGA."

Tahap ini jauh lebih berbahaya. Jika tahap pertama menghancurkan tubuh, tahap kedua menghancurkan pikiran. Pengguna harus membiarkan kesadaran naga purba masuk ke dalam jiwanya, lalu bertarung untuk menundukkannya. Jika gagal, pengguna akan kehilangan akal sehatnya, berubah menjadi binatang buas yang hanya tahu membunuh.

Aksara memejamkan mata. Ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya.

Di sana, di lautan mental yang gelap, Naga Wiratama sedang menunggunya. Naga itu tertawa, suara tawanya mengguncang lautan kesadaran Aksara.

"Kau ingin meminjam kekuatanku lagi, Bocah? Hati-hati ... pinjaman ini taruhannya adalah jiwamu."

"Ambil saja," tantang Aksara. Rohnya berdiri tegak di hadapan naga raksasa itu. "Ambil jiwaku jika kau bisa. Tapi jika aku menang ... kau harus tunduk padaku!"

Pertarungan mental itu dimulai. Bukan dengan pedang atau tinju, melainkan dengan Kehendak.

Aksara dipaksa menghidupkan kembali setiap trauma dalam hidupnya. Wajah ibunya yang meninggalkannya di gerbang sekte, hinaan para murid, tendangan Darius, jatuhnya ia ke jurang. Rasa sakit itu diperkuat seribu kali lipat, mencoba merobek kewarasannya.

Di tengah badai memori itu, ada satu jangkar yang menahan Aksara agar tidak hanyut. Sebuah senyuman gadis berjubah hijau yang memberinya roti kukus hangat.

"Kau lebih manusiawi daripada mereka."

Ingatan itu kecil, rapuh, namun bersinar terang di tengah kegelapan jiwa Aksara. Itu adalah satu-satunya bagian dari "Aksara lama" yang ia izinkan untuk tetap hidup.

"Aku tidak akan gila," geram Aksara, mencengkeram leher naga ilusi itu dengan tangan mentalnya. "Aku punya janji yang harus kutepati!"

Dengan teriakan yang menggetarkan dunia nyata dan dunia roh, Aksara mematahkan ilusi itu.

Aksara membuka matanya di dunia nyata.

ZRRRT!

Aura emas meledak dari tubuhnya. Di belakang punggungnya, bayangan seekor naga emas transparan muncul, meraung ke langit jurang. Dinding jurang bergetar. Monster-monster yang bersembunyi di kegelapan lari ketakutan.

Aksara berdiri. Ia merasakan perubahan itu. Pandangannya meluas. Ia bisa mendengar detak jantung tikus tanah yang berjarak satu mil. Ia bisa merasakan aliran Qi alam yang berputar di udara.

Ia telah berhasil menembus batas. Ia bukan lagi manusia biasa. Ia adalah kultivator.

Bukan kultivator sembarangan. Aura yang ia pancarkan setara dengan murid inti tingkat atas, tingkat yang butuh sepuluh tahun bagi Darius untuk mencapainya. Aksara melakukannya dalam tiga bulan.

"Sudah waktunya," bisik Aksara.

Ia mengenakan kembali sisa-sisa jubah pelayannya yang sudah compang-camping, lalu mengambil topeng kayu hitam dari cincinnya.

Ia memasang topeng itu. Wajah Aksara tertutup sempurna, digantikan oleh wajah iblis yang menangis darah.

Kini, tidak ada lagi Aksara. Yang ada hanyalah "Sang Penuntut Balas".

Aksara mendongak, menatap dinding tebing yang menjulang ratusan meter ke atas, menuju dunia luar yang telah melupakannya. Ia menekuk lututnya, mengumpulkan tenaga di kakinya yang sekuat baja.

BOOM!

Tanah di bawah kakinya meledak menjadi kawah. Tubuh Aksara melesat ke atas seperti panah yang dilepas dari busur dewa. Ia berlari vertikal menaiki dinding tebing, mencengkeram batu dengan jari-jarinya, melompat dari satu pijakan ke pijakan lain dengan kecepatan yang membuat mata biasa tak bisa mengikuti.

Angin menderu di telinganya. Cahaya matahari yang sudah tiga bulan tidak ia lihat semakin dekat.

Saat tangan Aksara mencengkeram bibir jurang dan menarik tubuhnya naik ke permukaan hutan Pegunungan Waringin Hitam, ia disambut oleh pemandangan yang tak terduga.

Hutan itu terbakar.

Asap hitam membumbung tinggi. Suara teriakan manusia dan bentrokan senjata terdengar dari kejauhan.

Aksara menyipitkan matanya di balik topeng. Insting naganya menangkap satu aroma yang sangat ia kenal di antara bau asap dan darah itu. Aroma bunga melati.

Larasmaya.

Dan aroma itu bercampur dengan bau ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Darah Langit   Iblis di Antara Manusia

    Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di

  • Warisan Darah Langit   Kutukan Yang Menghancurkan Langit

    Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di

  • Warisan Darah Langit   Sutra Darah Langit

    Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la

  • Warisan Darah Langit   Pengkhianatan di Tepi Jurang

    Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita

  • Warisan Darah Langit   Menuju Gerbang Kematian

    Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb

  • Warisan Darah Langit   Retakan Pada Wajah Langit

    Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status