LOGINDi dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.
Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur.
"Arrrghhh!"
Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.
Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.
Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar.
"Kau lahir sebagai Bejana Bocor," suara naga itu menggema, setiap katanya menghantam jiwa Aksara dengan keras. "Dunia menganggapmu cacat. Tapi mereka bodoh. Mereka tidak tahu bahwa wadah yang bocor tidak bisa menampung air sungai yang keruh ... karena wadah itu diciptakan untuk menampung samudra!"
Aksara ingin menjawab, ingin bertanya siapa atau apa makhluk ini, tapi rasa sakit di meridiannya meledak lagi. Jalur energinya yang selama ini dianggap rusak kini dipaksa melebar. Dinding-dinding meridian yang rapuh dihancurkan, lalu dibangun kembali dengan energi emas yang kokoh.
"Terimalah warisanku, Anakku. Namaku adalah Wiratama, Raja Naga Langit Terakhir. Dan mulai hari ini, kau bukan lagi manusia. Kau adalah pewaris tunggal dari Sutra Darah Langit."
Pengetahuan asing tiba-tiba membanjiri otak Aksara. Bukan lewat kata-kata, melainkan lewat memori instingtif yang ditanam paksa.
Sutra Darah Langit.
Itu bukan teknik kultivasi biasa yang mengajarkan meditasi damai atau penyerapan Qi alam secara perlahan. Itu adalah teknik terkutuk. Teknik yang menentang hukum langit.
Prinsipnya sederhana dan brutal, rasa sakit adalah kekuatan.
Teknik ini mengajarkan tubuh untuk tidak menolak luka, melainkan memakannya. Setiap sayatan pedang akan mengeraskan kulit. Setiap pukulan yang meremukkan tulang akan memadatkan kalsium menjadi baja. Semakin Aksara menderita, semakin ia terluka, semakin kuat ia bangkit. Energi darah naga akan mengubah trauma fisik menjadi ledakan kekuatan murni.
"Dunia telah membuangmu," bisik naga itu, suaranya mulai memudar seiring selesainya proses penyatuan. "Maka hancurkan dunia itu, dan bangunlah yang baru di atas abu mereka."
BYUUR!
Tubuh Aksara terlempar keluar dari permukaan danau darah. Ia terbatuk hebat, memuntahkan cairan emas bercampur darah hitam, sisa-sisa kotoran dari tubuh lamanya.
Ia merangkak ke tepian batu yang licin, napasnya memburu kasar. Udara di dasar jurang ini sangat tipis dan dipenuhi racun yang pekat, sepuluh kali lebih mematikan daripada di hutan atas. Namun anehnya, paru-paru Aksara tidak terasa terbakar. Justru sebaliknya, setiap tarikan napas terasa menyegarkan, seolah racun itu adalah bahan bakar bagi tubuh barunya.
Aksara berbaring telentang di atas bebatuan tajam yang dingin. Ia mengangkat tangannya ke depan wajah.
Di sana, dalam kegelapan abadi dasar jurang yang hanya diterangi pendaran lumut fosfor, ia melihat tangannya. Kulit pucat dan kurusnya telah hilang. Kini, lengan itu terlihat lebih padat, dialiri otot-otot liat yang terdefinisi jelas. Di bawah kulitnya, samar-samar terlihat pola sisik halus yang timbul tenggelam seiring detak jantungnya.
Ia meremas batu granit di sampingnya.
KRAK.
Batu sekeras besi itu hancur menjadi debu di genggamannya. Tanpa Qi, tanpa teknik. Hanya kekuatan jari murni.
Aksara terduduk, menatap debu batu yang jatuh dari sela-sela jarinya. Ingatan tentang kejadian di tebing kembali menghantamnya. Wajah Darius yang menyeringai. Wajah Larasmaya yang menangis, dan rasa jatuh yang tak berujung.
"Darius ..."
Nama itu keluar dari bibirnya bukan sebagai keluhan, tapi sebagai sumpah. Suaranya terdengar berbeda, lebih dalam, lebih berat, dengan getaran yang membuat udara di sekitarnya berdesing.
Tiba-tiba, telinga Aksara berkedut.
Indra pendengarannya yang baru menangkap suara yang sangat halus. Suara napas. Suara cakar yang menggaruk batu. Jaraknya lima puluh langkah di belakangnya.
Aksara tidak menoleh. Instingnya berteriak.
MUSUH.
Di dasar jurang ini, hukum rimba berlaku mutlak. Danau darah emas tempatnya jatuh tadi memancarkan aura kehidupan yang kuat, menarik predator-predator penghuni kegelapan untuk datang berpesta.
Dari balik bayangan stalagmit raksasa, sepasang mata merah menyala muncul. Lalu sepasang lagi, dan sepasang lagi.
Itu adalah seekor Kelabang Tulang Raksasa. Panjangnya lima meter, dengan cangkang yang terbuat dari tulang-belulang mangsanya. Kaki-kakinya yang berjumlah ratusan bergerak ritmis, menghasilkan suara klik-klik-klik yang mengerikan. Mandibula rahang di mulutnya meneteskan racun ungu yang mendesis saat menyentuh batu.
Makhluk itu menatap Aksara. Di matanya, pemuda itu hanyalah sepotong daging segar yang baru jatuh dari langit.
"Sraaaak!"
Kelabang itu memekik, lalu melesat maju dengan kecepatan kilat. Tubuhnya meliuk di antara bebatuan, siap menyuntikkan racun mematikan ke leher Aksara.
Waktu melambat.
Jika ini adalah Aksara yang lama, ia sudah pasti mati membeku karena ketakutan. Kakinya akan lemas, dan ia akan pasrah dimakan.
Aksara yang ini tidak merasa takut. Darah naga di dalam dirinya justru bergejolak girang.
Lapar, batinnya.
Aksara tidak menghindar. Ia membiarkan makhluk itu mendekat. Saat rahang kelabang itu terbuka lebar tepat di depan wajahnya, Aksara bergerak.
Bukan gerakan bela diri yang indah seperti yang diajarkan di sekte. Ini adalah gerakan binatang buas.
Tangan kiri Aksara melesat, mencengkeram salah satu taring raksasa kelabang itu.
SREET!
Taring itu tajam, menggores telapak tangannya hingga berdarah.
Rasa sakit menyengat.
Namun, di detik yang sama, Sutra Darah Langit aktif. Luka di telapak tangan Aksara bukannya melemahkannya, justru memicu ledakan adrenalin dan tenaga yang mengerikan. Darahnya mendidih. Matanya menyala emas.
"Kau pikir kau pemburu?" geram Aksara.
Dengan raungan tertahan, Aksara menghentakkan tangannya.
KRAAAK!
Ia membanting kepala kelabang raksasa itu ke tanah granit. Cangkang tulang makhluk itu retak hebat.
Kelabang itu menjerit kesakitan, ekornya yang panjang melesat maju, mencoba membelit tubuh Aksara. Duri-duri di kaki kelabang itu menusuk punggung dan bahu Aksara, merobek jubah dan kulitnya.
Darah segar mengalir dari punggung Aksara.
Sakit.
Sangat sakit.
Tapi rasa sakit itu terasa nikmat. Itu adalah bahan bakar baginya.
"Lebih sakit lagi ..." bisik Aksara, matanya kini sepenuhnya vertikal, pupil reptil yang menatap tanpa belas kasih. "Ayo, buat aku lebih sakit lagi!"
Energi merah keemasan meledak dari tubuh Aksara. Otot-ototnya membesar sesaat. Ia mengabaikan lilitan ekor itu. Tangannya yang bebas mengepal, diselimuti aura panas yang mendistorsi udara.
BUM!
Satu pukulan telak menghantam tepat di tengah kepala kelabang itu.
Cangkang keras itu hancur berkeping-keping. Otak dan cairan hijau muncrat ke mana-mana, membasahi wajah dan tubuh Aksara.
Kelabang raksasa itu kejang-kejang sesaat, lalu mati. Ratusan kakinya berhenti bergerak, terkulai lemas.
Aksara berdiri di sana, di tengah kegelapan, bermandikan darah hijau monster dan darah merahnya sendiri. Napasnya berat, uap panas keluar dari mulutnya. Luka-luka di telapak tangan dan punggungnya mulai menutup perlahan, meninggalkan bekas parut tipis yang justru terasa lebih keras dari kulit sebelumnya.
Ia menatap mayat monster di kakinya.
Ia menang.
Ia, Aksara Linggar, si pelayan tanpa Qi, baru saja membunuh monster tingkat menengah dengan tangan kosong.
Perasaan euforia dan ngeri bercampur di dadanya. Ia melihat kedua tangannya yang berlumuran darah. Ini bukan tangan manusia lagi. Ini tangan pembunuh.
"Aku masih hidup," bisiknya, suaranya pecah.
Ia mendongak ke atas. Jauh, sangat jauh di atas sana, ada celah kecil cahaya yang nyaris tak terlihat. Itu adalah dunia tempat ia berasal. Dunia tempat Darius dan Larasmaya berada.
Dinding jurang ini terjal, licin, dan dipenuhi monster lain yang mungkin lebih kuat dari kelabang ini. Tapi Aksara tidak peduli.
Ia berjalan mendekati danau darah emas itu lagi. Ia melihat pantulan dirinya. Di permukaan cairan yang tenang, wajah seorang pemuda menatap balik. Wajah itu masih wajah Aksara, tapi tatapan matanya telah mati, digantikan oleh dinginnya mata naga yang menyimpan dendam ribuan tahun.
"Tunggu aku, Darius," gumamnya pada kegelapan. "Simpan lehermu baik-baik."
Aksara berbalik, hendak mencari tempat berlindung untuk memulihkan diri. Namun, matanya menangkap sesuatu di balik bangkai kelabang itu.
Di dinding tebing, tersembunyi di balik lumut tebal, ada sebuah celah gua kecil. Dari dalam gua itu memancar aura yang familiar. Aura yang sama dengan suara naga di kepalanya.
Aksara melangkah mendekat, menyibak lumut itu.
Di dalam gua kecil yang lembap, duduk sebuah kerangka manusia. Kerangka itu bersila dalam posisi meditasi sempurna. Jubahnya sudah hancur dimakan waktu, namun tulang-belulangnya berwarna emas murni, tidak lapuk sedikit pun.
Dan di pangkuan kerangka itu, tergeletak sebuah benda. Sebuah kotak kayu hitam sederhana yang tidak memancarkan aura apa pun, namun insting Aksara berteriak bahwa benda itu lebih berbahaya daripada ribuan kelabang raksasa.
Di sebelah kotak itu, ada ukiran kasar di dinding batu, ditulis dengan cakar yang putus asa:
"Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia. Karena di dalamnya bukan harta, melainkan kutukan yang menghancurkan langit."
Aksara terdiam. Ia menatap tangannya yang baru saja membunuh. Ia menatap darah di tubuhnya.
"Manusia?" Aksara tertawa pelan, tawa yang kering dan hampa. "Manusia itu sudah mati saat jatuh dari tebing."
Tanpa ragu sedikit pun, Aksara mengulurkan tangannya ke kotak itu.
Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di
Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di
Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la
Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita
Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb
Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas







