Home / Pendekar / Warisan Darah Langit / Iblis di Antara Manusia

Share

Iblis di Antara Manusia

Author: Kingdenie
last update Last Updated: 2025-12-01 17:26:03

Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.

Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.

Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.

Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.

Mereka adalah Pemburu Bayangan.

Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini.

"Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di sekitar sini, memungut sisa-sisa mayat. Tidak kusangka di hari terakhir, kami justru menemukan bunga segar yang tertinggal."

Larasmaya menggertakkan gigi, mencoba menyalakan sisa Qi di tubuhnya, namun meridiannya sudah kosong melompong. Ia telah bertahan hidup di hutan neraka ini sendirian selama tiga bulan, menolak untuk pulang, menolak untuk percaya bahwa Aksara sudah mati. Ia mencari mayat pemuda itu di dasar jurang, di gua-gua, di setiap sudut hutan, hingga tenaganya habis dan rombongan sekte meninggalkannya.

Dan inilah akhirnya. Mati di tangan sampah masyarakat, tanpa pernah menemukan jasad sahabatnya.

"Jangan mendekat!" teriak Larasmaya, suaranya serak. "Aku adalah murid inti Sekte Wana Jagad! Jika kalian menyentuhku, Tetua Sekte tidak akan melepaskan kalian!"

Para bandit itu tertawa terbahak-bahak.

"Tetua Sekte?" cibir si Botak. "Kekasihmu yang tampan itu, si Darius, sudah lari terbirit-birit saat melihat kami datang lima menit yang lalu. Dia meninggalkanmu sebagai umpan, Nona Manis. Tidak ada yang akan datang menolongmu."

Hati Larasmaya runtuh.

Darius tadi ada di sini, mencoba menyeretnya pulang paksa. Tapi begitu bandit-bandit ini muncul dengan aura tingkat menengah, Darius langsung menggunakan jimat pelariannya, meninggalkan Larasmaya sendirian.

Air mata menetes di pipi Larasmaya. Aksara ... maafkan aku. Aku bahkan tidak bisa membawa pulang tulang-belulangmu.

"Habisi dia, tapi jangan bunuh," perintah si Botak pada anak buahnya. "Kita akan bersenang-senang dulu sebelum menjualnya ke pasar budak."

Salah satu bandit, yang memegang kapak berkarat, melompat maju dengan nafsu membunuh. "Sini kau, Cantik!"

Larasmaya memejamkan mata, mengarahkan pedang pendeknya ke lehernya sendiri. Lebih baik mati daripada dinodai. Tetapi, sebelum bilah pedang itu menyentuh kulit lehernya, langit di atas mereka runtuh.

BBOOOOOOMMM!

Sebuah benda hitam jatuh dari langit dengan kecepatan meteor, menghantam tanah tepat di antara Larasmaya dan bandit pembawa kapak.

Tanah meledak. Gelombang kejut yang mengerikan melemparkan bandit itu ke belakang, membuatnya berguling-guling di tanah. Debu dan batu beterbangan, menutupi pandangan.

Kesunyian mencekam turun seketika.

Para bandit itu terbatuk-batuk, mengibas debu. Si Botak menyipitkan mata. "Apa itu? Jimat peledak?"

Perlahan, debu mulai menipis.

Di tengah kawah kecil yang baru terbentuk, sesosok manusia berdiri tegak. Ia bertelanjang dada, memperlihatkan otot-otot yang seperti dipahat dari batu granit, penuh dengan bekas luka yang mengerikan. Wajahnya tertutup topeng kayu hitam yang menangis darah. Rambut hitam panjangnya berkibar liar ditiup angin panas.

Aura yang dipancarkannya bukan Qi kultivasi biasa. Itu adalah aura kematian yang pekat, dingin, dan purba.

Larasmaya menurunkan pedangnya, matanya terbelalak menatap punggung sosok itu. Punggung yang terasa asing, namun entah mengapa memberikan rasa aman yang membuat air matanya semakin deras.

Si Botak mundur selangkah, instingnya berteriak bahaya. "Siapa kau?! Jangan ikut campur urusan Pemburu Bayangan!"

Sosok bertopeng itu tidak menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menatap si Botak dari balik lubang mata topeng yang gelap.

"Bunuh dia!" teriak si Botak panik.

Empat bandit serentak menyerang. Pedang, tombak, dan kapak yang dialiri Qi melayang dari berbagai arah, membidik titik vital sosok itu.

Aksara tidak bergerak. Ia tidak menghindar. Ia bahkan tidak mengangkat tangannya untuk menangkis.

TRANG! CLANG! BUK!

Senjata-senjata itu menghantam kulit telanjang Aksara.

Mata para bandit itu melotot keluar.

Pedang baja itu tidak membelah kulit. Tombak itu tidak menembus daging. Sebaliknya, suara logam beradu dengan logam terdengar nyaring. Di kulit Aksara, hanya muncul garis putih tipis yang hilang dalam sekejap.

"Sutra Darah Langit ..." suara Aksara terdengar berat dan terubah bentuknya dari balik topeng, seperti geraman binatang buas. "... tidak akan terluka oleh sampah."

Sebelum mereka sadar dari keterkejutan, Aksara bergerak.

Tangannya bergerak begitu cepat hingga hanya terlihat sebagai kabur bayangan. Ia mencengkeram leher bandit pembawa tombak.

KRAK!

Satu remasan ringan. Leher bandit itu patah seperti ranting kering. Tubuhnya jatuh layu ke tanah.

Tiga bandit lainnya berteriak horor, mencoba menarik senjata mereka. Tapi Aksara sudah berada di hadapan mereka.

Ia meninju dada bandit kedua.

Dada bandit itu amblas ke dalam. Tulang rusuknya hancur berkeping-keping, menembus paru-paru dan jantung. Tubuhnya terlempar sepuluh meter ke belakang, menabrak pohon hingga pohon itu tumbang.

Ini bukan pertarungan tapi pembantaian.

"Monster! Dia monster!" teriak bandit ketiga, menjatuhkan pedangnya dan lari.

Aksara tidak mengejar. Ia hanya memungut sebuah batu kerikil dari tanah dengan kakinya, lalu menendangnya santai.

WUSH!

Batu kerikil itu melesat lebih cepat dari anak panah, menembus kepala bandit yang sedang berlari itu, meledakkan tengkoraknya seperti semangka busuk.

Kini tinggal si Botak. Pemimpin bandit itu jatuh terduduk, kakinya gemetar hebat hingga air kencing membasahi celananya. Ia adalah kultivator tingkat menengah, tapi di hadapan monster fisik ini, teknik sihirnya terasa tidak berguna.

Aksara berjalan mendekat. Setiap langkah kakinya membuat tanah bergetar pelan.

"Ampun ... Tuan ... Ampun ..." racau si Botak. "Saya ... saya hanya ..."

Aksara berhenti tepat di depan wajah si Botak. Ia menunduk, topeng iblisnya hanya berjarak satu jengkal dari wajah bandit itu.

"Tiga bulan lalu ..." bisik Aksara. "Kalian juga memburu orang yang lemah, bukan?"

"A-apa?"

Aksara mencengkeram kepala si Botak dengan satu tangan, mengangkat tubuh pria dewasa itu ke udara seolah ia seringan kapas.

"Dunia ini tidak butuh sampah sepertimu," desis Aksara.

Tanpa belas kasih, Aksara meremas tangannya. Jeritan si Botak terpotong seketika saat kegelapan abadi menjemputnya.

Aksara melempar mayat itu ke samping, lalu berdiri diam di tengah tumpukan mayat. Darah membasahi tangannya, menetes ke tanah. Napasnya berat, berusaha menekan naluri naga yang berteriak meminta lebih banyak pembunuhan.

Tenang, batinnya. Laras ada di sini. Jangan menakutinya.

Perlahan, Aksara memutar tubuhnya.

Larasmaya masih berdiri di sana, menempel pada pilar batu. Tubuhnya gemetar hebat. Matanya menatap Aksara dengan campuran rasa takjub dan teror yang mendalam. Dia baru saja melihat kebrutalan yang melampaui batas kemanusiaan.

Aksara ingin membuka topengnya. Ia ingin berlari memeluk gadis itu, mengatakan bahwa ia masih hidup, bahwa ia kembali.

Ia melangkah satu langkah mendekat.

Larasmaya tersentak mundur, mengangkat pedangnya dengan tangan gemetar. "J-jangan mendekat ... M-makhluk apa kau?"

Langkah Aksara terhenti. Rasa sakit yang tajam menusuk dadanya, lebih sakit daripada saat tulangnya dipatahkan di dalam jurang.

Dia takut.

Tentu saja dia takut. Lihat dirimu, Aksara. Kau berlumuran darah. Kau membunuh manusia seperti membunuh lalat. Kau bukan lagi "Aksara yang Manusiawi". Kau adalah monster.

Jika ia membuka topengnya sekarang, Laras mungkin akan melihat wajah Aksara, tapi dia tidak akan pernah lagi melihat sahabatnya yang polos. Dia akan melihat pembunuh.

Aksara menurunkan tangannya yang tadi hendak meraih topeng. Ia mengepalkan tinju di samping tubuhnya, menahan rasa perih di hatinya.

"Pulanglah," ucap Aksara, suaranya sengaja dibuat berat dan asing. "Hutan ini bukan tempat untuk domba."

Larasmaya tertegun. Suara itu ... nada bicaranya ... entah mengapa terasa familiar di telinganya. "Siapa ... siapa kau? Kenapa kau menolongku?"

Aksara tidak menjawab. Ia berbalik, memunggungi Larasmaya. Ia tidak sanggup menatap mata gadis itu lebih lama lagi tanpa hancur.

Namun, sebelum Aksara sempat melompat pergi, sebuah tawa angkuh terdengar dari balik pepohonan.

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!"

Seorang pemuda berjubah putih bersih keluar dari persembunyiannya, diikuti oleh dua pengawal elit sekte. Di tangannya, sebuah kipas lipat bergoyang pelan.

Darius.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Darah Langit   Iblis di Antara Manusia

    Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di

  • Warisan Darah Langit   Kutukan Yang Menghancurkan Langit

    Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di

  • Warisan Darah Langit   Sutra Darah Langit

    Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la

  • Warisan Darah Langit   Pengkhianatan di Tepi Jurang

    Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita

  • Warisan Darah Langit   Menuju Gerbang Kematian

    Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb

  • Warisan Darah Langit   Retakan Pada Wajah Langit

    Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status