LOGINRaungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.
BRAAAKK!
Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang.
"Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.
TANG!
Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit.
"Mustahil ..." wajah Raksita memucat, tangannya gemetar menahan getaran benturan. "Kulitnya dilapisi energi yang tercemar! Mundur! Cari titik lemahnya!"
Tetapi, mundur adalah kata yang asing bagi monster yang sedang mengamuk. Beruang itu berputar dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk makhluk sebesar itu. Ia mengibaskan lengan depannya, menyapu tiga murid sekaligus. Jeritan ngeri terdengar saat tulang-tulang patah seperti ranting kering.
Kepanikan menyebar seperti wabah. Barisan murid yang sombong saat keberangkatan tadi kini berhamburan seperti semut yang disiram air panas. Arogansi mereka lenyap, digantikan oleh insting bertahan hidup yang paling purba yaitu lari.
Di tengah kekacauan itu, Darius terdesak mundur hingga ke pinggir tebing. Wajah tampannya kini tercemar oleh ketakutan. Pedangnya teracung gemetar, tidak berani mendekat. Matanya liar mencari jalan keluar, mencari tameng, mencari apa saja yang bisa menyelamatkan nyawanya.
Tatapannya jatuh pada Aksara.
Pemuda pelayan itu berdiri mematung di dekat tumpukan logistik, matanya terpaku pada monster itu. Aksara tidak lari seperti pelayan lain. Ia berdiri di sana dengan ketenangan yang aneh, seolah sedang menunggu giliran.
Sebuah ide keji melintas di benak Darius. Beruang itu butuh mangsa untuk melampiaskan amarahnya. Jika monster itu sibuk memakan seseorang, Darius dan yang lain bisa punya celah untuk lari atau menyerang.
"Kau ..." desis Darius, seringai gila muncul di bibirnya. "Kau ingin jadi pahlawan, kan? Jadilah pahlawan!"
Tanpa peringatan, Darius berlari ke arah Aksara. Ia menangkap kerah jubah lusuhnya.
"Tuan Darius?!" Aksara tersentak kaget.
"Makan ini, Monster Sialan!" teriak Darius.
Dengan mengerahkan tenaga Qi-nya, Darius melempar tubuh Aksara ke udara, melontarkannya tepat ke arah Beruang Besi yang sedang meraung.
"AKSARA!" jerit Larasmaya dari kejauhan, suaranya pecah oleh ketakutan.
Tubuh Aksara melayang, jatuh terguling di lumpur berdarah, tepat tiga langkah di depan moncong monster itu.
Beruang itu berhenti mengamuk sesaat. Kepala besarnya menunduk, menatap gangguan kecil yang baru saja disajikan di hadapannya. Napasnya yang berbau belerang dan daging busuk menerpa wajah Aksara. Liur korosif menetes dari taringnya, mendesis saat menyentuh tanah di samping telinga Aksara.
Binatang itu menggeram, mengangkat cakar kanannya tinggi-tinggi. Cakar itu setajam pisau, siap memisahkan kepala Aksara dari tubuhnya dalam satu sabetan.
Aksara mendongak, menatap kematian yang menjulang di atasnya.
Waktu seolah melambat.
Ia bisa melihat Darius yang tersenyum lega di belakang. Ia bisa melihat Larasmaya yang berusaha lari menerobos kerumunan namun ditahan oleh temannya. Dan ia bisa melihat cakar raksasa itu mulai turun membelah udara.
Seharusnya ia takut.
Seharusnya ia menjerit memohon ampun.
Namun, di detik-detik terakhir itu, rasa panas di dada Aksara meledak. Darah emas di dalam nadinya bergolak, bukan karena takut, tapi karena tersinggung.
Berani sekali kau, bisik suara purba di dalam kepalanya. Berani sekali makhluk rendah ini mengangkat cakar padaku.
Pupil mata Aksara yang hitam kelam tiba-tiba berubah. Mengecil, memanjang, menjadi celah vertikal yang bersinar dengan cahaya keemasan. Itu adalah mata seekor predator puncak yang sangat nyata.
Aksara tidak menutup matanya. Ia justru membuka matanya lebar-lebar, menatap langsung ke dalam mata kuning monster itu.
Sebuah geraman rendah keluar dari tenggorokan Aksara. Itu bukan suara manusia. Itu adalah suara gesekan lempeng bumi, getaran yang membuat tulang berderit.
"DIAM!"
Satu kata. Hanya satu kata yang diucapkan dengan frekuensi yang membuat udara di sekitar mereka bergetar.
Efeknya instan dan sangat tidak masuk akal.
Cakar raksasa itu berhenti mendadak di udara, hanya sejarak satu jengkal dari wajah Aksara. Angin dari hempasan cakar itu meniup rambut Aksara ke belakang, tapi kulitnya tidak tersentuh sedikit pun.
Beruang Besi Punggung Duri itu membeku. Kegilaan di matanya lenyap seketika, digantikan oleh teror murni. Tubuh raksasanya gemetar hebat, seolah baru saja melihat hantu rajanya sendiri bangkit dari kubur.
Perlahan, dengan gerakan kaku dan patuh, monster setinggi tiga meter itu menarik cakarnya. Ia tidak menyerang. Ia mundur selangkah, lalu menjatuhkan tubuh depannya ke tanah.
Monster itu bersujud.
Ia menempelkan moncongnya ke lumpur basah di depan kaki Aksara yang beralaskan sandal jerami, merintih pelan seperti anak anjing yang memohon ampun pada tuannya.
Kesunyian yang mencekam menyelimuti lembah itu. Hujan berhenti menetes. Angin berhenti berhembus.
Tetua Raksita menjatuhkan pedangnya karena syok. Para murid ternganga, otak mereka gagal memproses apa yang sedang terjadi. Seorang pelayan tanpa Qi, seorang "sampah" yang dilempar sebagai umpan, baru saja membuat monster tingkat tinggi bertekuk lutut hanya dengan tatapan mata.
Darius mematung, senyum kemenangannya membeku menjadi ekspresi ketakutan yang jelek. Kakinya gemetar.
Apa itu? batin Darius histeris. Makhluk apa dia? Itu bukan Aksara ... itu monster! Jika dia hidup ... jika dia kembali ke sekte dengan kekuatan itu ... akulah yang akan mati!
Rasa takut itu dengan cepat bermutasi menjadi niat membunuh yang gelap. Darius melihat sekeliling. Semua orang masih terpaku. Tetua Raksita masih syok.
Ini kesempatannya. Ia harus membunuh "ancaman" itu sekarang, sebelum Aksara menyadari kekuatannya sendiri.
"Dia mengendalikan monster itu!" teriak Darius tiba-tiba, suaranya melengking memecah keheningan. "Dia penyihir aliran sesat! Dia memanggil iblis itu untuk membunuh kita! Bunuh dia sebelum dia memerintah beruang itu memakan kita semua!"
Itu tuduhan gila, tapi di tengah ketakutan, logika tidak berlaku. Beberapa murid yang panik mulai termakan hasutan itu.
Darius tidak menunggu. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Qi biru memancar deras, membentuk bilah angin tajam.
"Mati kau, Iblis!"
"Teknik Pedang Angin: Tebasan Pembelah Gunung!"
Aksara baru saja tersadar dari terpukaunya. Matanya meredup kembali menjadi mata manusia biasa. Tubuhnya lemas seketika setelah ledakan energi tadi. Ia menoleh saat mendengar teriakan Darius, hanya untuk melihat gelombang energi biru meluncur deras ke arahnya.
Ia tidak bisa menghindar.
Beruang Besi di depannya bereaksi. Didorong oleh insting melindungi "Raja"-nya, monster itu mengangkat tubuhnya, mencoba menjadi tameng.
SLAASH!
Tebasan pedang Darius menghantam bahu beruang itu, menyayat daging kerasnya, namun sisa energi tebasan itu terus melaju, menghantam tanah tepat di bawah kaki Aksara.
Pinggiran tebing itu yang memang sudah retak akibat pertarungan tidak kuat menahan ledakan energi sebesar itu.
KRAK!
Suara batu pecah terdengar seperti petir. Lantai bumi di bawah Aksara runtuh seketika.
Aksara merasakan pijakannya hilang.
Dunia berputar.
"AKSARA!!"
Teriakan Larasmaya terdengar jauh dan putus asa. Gadis itu berlari ke tepi jurang, mengulurkan tangannya, jemarinya menggapai udara kosong.
Aksara jatuh.
Ia melihat wajah Larasmaya yang menjauh, basah oleh air mata. Ia melihat Darius yang berdiri di atas tebing dengan napas terengah, matanya memancarkan kepuasan gila. Dan ia melihat Beruang Besi itu meraung sedih ke arah langit, meratapi tuannya yang jatuh.
Angin menderu di telinga Aksara. Kegelapan jurang Waringin Hitam membuka mulutnya lebar-lebar, menelan tubuh kurus itu bulat-bulat.
Cahaya di atas sana mengecil, lalu lenyap. Aksara jatuh semakin dalam, melewati lapisan kabut beracun yang pekat. Anehnya, ia tidak merasa takut. Rasa sakit di hatinya karena perlakuan Darius jauh lebih besar daripada rasa takut akan kematian.
Aku mati, pikirnya hampa. Aku mati karena aku lemah.
Tapi takdir memiliki rencana yang berbeda.
Tepat sebelum kesadarannya hilang, Aksara merasakan tubuhnya menembus permukaan cairan yang hangat dan kental di dasar jurang.
BYUUR!
Ia tidak hancur berkeping-keping. Cairan itu menangkapnya, memeluknya seperti rahim ibu.
Itu bukan air.
Itu darah.
Danau darah yang bercahaya keemasan di tengah kegelapan abadi.
Aksara tenggelam, melayang di dalam cairan itu. Luka-lukanya mendesis, menutup dengan kecepatan yang mengerikan.
Di kedalaman yang sunyi itu, sepasang mata raksasa terbuka di hadapannya.
Mata reptil purba berwarna emas, agung dan akrab.
Suara purba itu kembali bergema, bukan di telinganya, tapi langsung di dalam jiwanya, menggetarkan setiap atom keberadaannya.
"Sakit, bukan? Dikhianati oleh kaummu sendiri ..."
Sosok bayangan naga raksasa melingkari tubuh kecil Aksara di dalam darah itu.
"Bangunlah, Anakku. Tidurmu sudah terlalu lama. Dunia ini lupa rasa takut pada kita. Sudah saatnya kita ingatkan mereka."
Cairan emas itu menyerbu masuk ke dalam mulut dan hidung Aksara, membakar paru-parunya dengan kekuatan yang bisa menghancurkan dewa. Di dasar jurang kematian itu, jantung Aksara berhenti berdetak satu detik ...
... lalu berdetak kembali dengan suara yang menyerupai dentum genderang perang.
Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di
Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di
Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la
Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita
Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb
Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas







