LOGINAksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina.
"Wadah ... telah ... retak..."
Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.
Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.
Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan membedahnya di meja eksperimen.
"Hanya darah," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan logikanya yang mulai retak. "Aku hanya sakit parah. Itu saja."
Saat ia bangkit berdiri, rasa panas di dadanya tidak menghilang. Rasa itu justru merayap pelan ke seluruh pembuluh darahnya, memberikan sensasi energi yang belum pernah ia rasakan seumur hidup. Lelah di ototnya menguap. Nyeri di tulangnya mereda.
Ia menoleh sekali lagi ke utara, ke arah Pegunungan Waringin Hitam yang menjulang seperti raksasa tidur di kejauhan. Rasa takut itu masih ada, namun kini bercampur dengan dorongan lain yang lebih kuat: kerinduan.
"Baiklah," gumam Aksara, matanya menyipit tajam. "Jika kau memanggilku, aku akan datang."
Fajar di Sekte Wana Jagad biasanya disambut dengan kicauan burung, namun pagi ini, suara itu digantikan oleh hiruk-pikuk persiapan keberangkatan.
Lapangan di gerbang utama sekte telah dipenuhi oleh ratusan orang. Kabut pagi yang dingin tidak mampu meredam semangat dan arogansi para murid terpilih yang akan berangkat. Mereka berdiri dalam barisan rapi berdasarkan divisi masing-masing. Divisi Pedang dengan jubah putih bergaris perak, Divisi Tombak dengan aksen merah, dan Divisi Alkimia dengan jubah hijau daun yang menyejukkan mata.
Di sisi lain lapangan, jauh dari kemegahan barisan para kultivator muda, terdapat kelompok yang jauh lebih menyedihkan. Puluhan pelayan berpakaian lusuh, termasuk Aksara, berdiri berdesakan. Wajah mereka pucat, mata mereka liar memandang tumpukan peti kayu, tenda, dan perbekalan yang menggunung. Mereka tahu peran mereka hari ini bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai keledai pengangkut beban.
"Kau yakin mau ikut, Nak?"
Seorang pelayan tua di samping Aksara menyenggol lengannya. Pria itu ompong, punggungnya bongkok permanen karena beban tahunan. "Waringin Hitam bukan tempat piknik. Tahun lalu, dari dua puluh pengangkut, hanya lima yang kembali. Sisanya ... yah, mereka menjadi pupuk yang bagus."
Aksara mengencangkan ikatan tali jerami di pinggangnya. Ia tidak membawa senjata, hanya sebilah pisau dapur karatan yang ia selipkan di balik jubah.
"Aku butuh pil itu, Paman. Dan imbalan peraknya."
Si pelayan tua mendengus. "Uang tidak berguna bagi mayat."
Sebelum Aksara sempat menjawab, suara cambuk meledak di udara. Seorang pengawas logistik berteriak garang. "Diam kalian, tikus-tikus malas! Mulai angkat barangnya! Jangan ada yang tertinggal atau kukuliti punggung kalian!"
Aksara melangkah maju. Di depannya ada peti kayu besar berisi pasak besi penyegel. Ukurannya hampir sebesar tubuhnya sendiri. Dua pelayan lain mencoba mengangkat peti serupa dan terhuyung-huyung, wajah mereka memerah padam.
Aksara membungkuk, mencengkeram sisi peti itu. Ia bersiap mengerahkan seluruh tenaganya, bersiap merasakan ototnya menjerit.
Hup!
Matanya terbelalak.
Ringan.
Peti yang seharusnya berbobot ratusan kali itu terasa seringan kapas di tangannya. Aksara nyaris kehilangan keseimbangan karena menggunakan tenaga berlebihan. Ia menatap kedua tangannya dengan bingung. Qi? Tidak, ia tidak merasakan aliran Qi. Ini murni kekuatan fisik. Otot-ototnya terasa padat, dialiri panas yang sama seperti semalam.
"Hei! Jangan melamun!" bentak pengawas.
Aksara segera memanggul peti itu di bahunya dengan mudah, menundukkan kepala untuk menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Sesuatu benar-benar telah terjadi padanya.
Saat ia berjalan menuju barisan belakang rombongan, sebuah tangan halus namun kuat mencengkeram lengan bajunya, menghentikan langkahnya.
"Kau gila."
Aksara menoleh. Larasmaya berdiri di sana, wajahnya pucat pasi. Ia mengenakan perlengkapan perjalanan lengkap, tas obat tersampir di bahu, namun matanya hanya tertuju pada Aksara. Tidak ada kelembutan di sana hari ini, hanya kemarahan yang dipicu oleh ketakutan.
"Nona Laras ..."
"Pulang," desis Larasmaya, suaranya bergetar. "Letakkan peti itu dan kembali ke gubukmu sekarang juga, Aksara. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Waringin Hitam dipenuhi kabut uap racun. Tanpa Qi pelindung, paru-parumu akan membusuk dalam tiga hari!"
Aksara memandang gadis itu. Ia ingin menjelaskan bahwa tubuhnya terasa aneh, bahwa mungkin ia punya kesempatan tapi ia tidak bisa.
"Saya butuh Pil Pembersih Sumsum itu, Nona," jawab Aksara pelan namun tegas.
"Demi sebuah pil kau mau mati?!" Larasmaya mencengkeram lebih erat, kukunya menancap di lengan Aksara. "Aku bisa meracikkan obat untukmu! Aku bisa mencuri pil dari gudang jika perlu! Jangan lakukan hal bodoh ini!"
"Dan terus hidup dari belas kasihanmu?" Aksara menepis tangan Larasmaya dengan kepedihan yang mendalam. "Nona bilang aku manusiawi. Tapi di dunia ini, manusia yang tidak punya kekuatan hanyalah beban. Aku lelah menjadi bebanmu, Nona Laras. Aku lelah melihatmu membelaku dan direndahkan karenanya."
Larasmaya tertegun. Matanya berkaca-kaca. "Kau bukan beban ..."
"Lihatlah," potong sebuah suara angkuh dari depan.
Darius berjalan mendekat, diiringi tawa para pengikutnya. Ia mengenakan baju zirah ringan yang berkilauan, tampak gagah layaknya pangeran perang. "Pasangan romantis kita sedang berpamitan. Sungguh mengharukan. Si Sampah benar-benar ingin melihat dunia sebelum mati."
Darius berhenti tepat di depan Aksara, menatapnya dari atas ke bawah dengan jijik. "Dengar baik-baik, pelayan. Tugasmu hanya membawa barang. Jika ada bahaya, jangan harap kami akan melindungimu. Kau adalah umpan. Jika ada harimau iblis datang, pastikan kau yang dimakan duluan supaya kami punya waktu untuk menyerang. Mengerti?"
Aksara menatap lurus ke arah sepatu bot Darius. Dulu, ia akan gemetar ketakutan. Tapi hari ini, darah di tubuhnya berdesir panas, seolah ada naga kecil yang menggeram di dalam dadanya, ingin merobek leher pemuda sombong itu.
Aksara menelan amarahnya, menunduk dalam. "Saya mengerti ... Tuan Muda."
Darius mendengus puas, lalu menatap Larasmaya dengan senyum miring. "Jangan khawatir, Laras. Aku akan melindungimu. Biarkan saja dia mencari kematiannya sendiri. Itu seleksi alam."
Terompet tanduk berbunyi panjang, tanda keberangkatan.
Larasmaya menatap Aksara satu kali lagi, tatapan yang penuh dengan doa dan keputusasaan, sebelum akhirnya memutar tubuh dan bergabung dengan barisan penyembuh.
Aksara menghela napas panjang, membetulkan posisi peti di bahunya, dan melangkah maju. Langkah pertamanya keluar dari gerbang sekte terasa berat karena beban takdir yang kini ia pikul sendirian.
Perjalanan menuju kaki Pegunungan Waringin Hitam memakan waktu enam jam. Awalnya, jalan setapak masih lebar dan terang, namun semakin mereka mendekat ke utara, pemandangan berubah drastis.
Pepohonan hijau yang rimbun berganti menjadi hutan mati. Pohon-pohon Waringin raksasa dengan akar gantung yang menjuntai seperti rambut hantu mulai mendominasi. Daun-daunnya berwarna hitam pekat, menyerap cahaya matahari sehingga suasana di bawahnya selalu temaram seperti senja abadi.
Udara di sini berbau lembap dan bau darah tua.
Saat rombongan melintasi batas hutan, efek kabut beracun mulai terasa. Beberapa pelayan di depan Aksara mulai terbatuk-batuk, wajah mereka memucat. Bahkan beberapa murid kultivator tingkat rendah mulai melapisi tubuh mereka dengan Qi pelindung, wajah mereka tegang.
Aksara merasakan hal yang sebaliknya.
Semakin dalam mereka masuk ke wilayah Waringin Hitam, rasa panas di tubuhnya semakin nyaman. Rasa sesak yang biasanya menghimpit dadanya, akibat meridian yang bocor justru terasa longgar. Udara di sini, yang bagi orang lain beracun, bagi Aksara terasa ... manis.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan energi aneh hutan itu mengalir masuk ke paru-parunya, menyatu dengan darah emas yang bersembunyi di nadinya. Peti di punggungnya terasa semakin ringan, seolah gravitasi tidak berlaku baginya di tempat ini.
DUG... DUG... DUG...
Suara itu kembali. Detak jantung raksasa.
Kali ini bukan hanya di kepala Aksara. Tanah di bawah kakinya bergetar halus, seirama dengan detak itu.
"Berhenti!" perintah Tetua Raksita, pemimpin ekspedisi, mengangkat tangannya.
Rombongan berhenti mendadak di sebuah lembah sempit yang diapit dua tebing batu hitam. Angin bertiup di celah-celah batu, menciptakan suara seperti tangisan.
"Ada yang tidak beres," gumam Tetua Raksita, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Peta mengatakan ini adalah jalur aman, tapi mengapa sunyi sekali. Di mana binatang-binatang hutan?"
Kecemasan merayap di wajah para murid. Hutan yang terlalu sunyi adalah pertanda buruk. Itu artinya ada predator puncak di dekat sana, membuat binatang lain lari ketakutan.
Aksara menurunkan petinya perlahan. Bulu kuduknya berdiri, karena sensasi yang menyengat kulitnya. Darahnya bergolak liar, mendesak-desak di bawah kulit.
Dia di sini, bisik instingnya. Sesuatu sedang melihat kita.
Tiba-tiba, Larasmaya yang berada di barisan tengah berteriak, "Awas! Di atas!"
Sebelum siapa pun sempat mendongak, bayangan hitam raksasa jatuh dari langit-langit hutan, menghantam tanah tepat di tengah formasi barisan depan.
BRAAAKK!
Tanah meledak, menerbangkan batu dan debu. Jeritan kesakitan terdengar saat dua murid Divisi Tombak terlempar seperti boneka kain, tubuh mereka hancur seketika.
Dari balik debu yang mengepul, sepasang mata kuning menyala muncul.
Itu adalah seekor Beruang Besi Punggung Duri. Tingginya tiga meter saat berdiri dengan empat kaki, bulunya keras seperti jarum logam, dan taringnya meneteskan liur korosif yang mendesis saat menyentuh tanah.
Ada yang salah dengan binatang ini. Matanya tidak memiliki pupil, hanya putih dan kuning yang berputar gila. Di punggungnya, tertancap sisa-sisa pedang patah yang sudah berkarat, pertanda bahwa makhluk ini telah bertarung dan membunuh banyak kultivator sebelumnya.
Di sebuah pembukaan hutan yang dikelilingi oleh reruntuhan kuil kuno, Larasmaya Renjana terdesak mundur hingga punggungnya menabrak pilar batu yang dingin.Wajah gadis itu pucat pasi, kotor oleh jelaga dan debu. Jubah hijau murid alkimianya yang dulu anggun kini sobek di sana-sini, menampakkan kulit yang tergores ranting. Napasnya memburu, dan di tangannya, sebilah pedang pendek bergetar hebat.Di hadapannya, lima orang pria berdiri melingkar, menyeringai seperti serigala yang mengepung domba yang terluka.Mereka bukan murid Sekte Wana Jagad. Mereka mengenakan pakaian kulit binatang yang kasar, dengan kalung terbuat dari telinga manusia yang dikeringkan.Mereka adalah Pemburu Bayangan.Kelompok bandit kultivator yang terkenal kejam, yang hidup dengan merampok dan membunuh murid-murid sekte di hutan ini."Manis sekali ..." ujar pemimpin bandit itu, seorang pria botak dengan bekas luka bakar di separuh wajahnya. Ia menjilat bibirnya yang pecah-pecah. "Sudah tiga bulan kami mengintai di
Jemari Aksara yang masih berlumuran darah monster menyentuh permukaan kotak kayu hitam itu.Rasanya dingin.Bukan dinginnya es, melainkan dinginnya kehampaan. Seolah kotak itu terbuat dari potongan malam yang dipadatkan, menyerap panas dari kulit Aksara seketika."Bagi dia yang bangkit dari darahku. Jangan buka kotak ini jika kau masih ingin menjadi manusia."Peringatan yang terukir di dinding gua itu masih terbayang jelas di benak Aksara. Tetapi, keraguan itu hanya bertahan sepersekian detik. Manusia? Apa artinya menjadi manusia baginya? Menjadi manusia berarti lemah. Menjadi manusia berarti diinjak-injak oleh orang seperti Darius. Menjadi manusia berarti hanya bisa melihat Larasmaya menjauh saat ia jatuh ke dalam kegelapan."Aku sudah selesai menjadi manusia," desis Aksara.Dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka tutup kotak itu.KREEK.Suara engsel kuno yang berkarat memecah kesunyian gua. Tidak ada ledakan cahaya menyilaukan. Tidak ada auman naga yang memekakkan telinga. Di
Di dasar jurang Pegunungan Waringin Hitam yang tak pernah disentuh cahaya matahari, tubuh Aksara melayang dalam kepompong cairan emas yang kental. Itu bukan sekadar darah. Itu adalah esensi kehidupan yang telah terperangkap selama ribuan tahun, menunggu tuan yang tepat.Sekarang, Sang Tuan itu telah datang dalam wujud seorang pelayan yang hancur."Arrrghhh!"Jeritan Aksara tidak terdengar, teredam oleh kepadatan cairan itu. Rasa sakitnya melampaui batas kewarasan manusia. Rasanya seolah-olah setiap inci kulitnya dikuliti hidup-hidup, setiap tulang di tubuhnya dipatahkan lalu disambung ulang dengan paksa, dan setiap tetes darah manusianya yang lemah dikuras habis, digantikan oleh magma cair yang mendidih.Ini bukan penyembuhan tetapi sebuah penempaan ulang.Di dalam kegelapan kesadarannya, bayangan Naga Purba itu kembali muncul. Kali ini bukan lagi samar. Naga itu begitu besar hingga satu sisiknya seluas lapangan latihan sekte. Matanya yang emas menatap roh Aksara yang gemetar."Kau la
Raungan Beruang Besi Punggung Duri itu bukan sekadar suara; itu adalah gelombang kejut yang menghancurkan moral dan mencabik keberanian.BRAAAKK!Tanah di lembah sempit itu berguncang hebat saat cakar raksasa binatang itu menghantam batu, menciptakan kawah sedalam lutut. Dua murid Divisi Tombak yang tadi terlempar kini tak lagi bergerak, tubuh mereka hancur tak berbentuk di antara serpihan baju zirah dan darah yang mulai menggenang."Formasi! Pertahankan formasi!" teriak Tetua Raksita, suaranya nyaris tenggelam oleh kekacauan. Ia melompat maju, pedang besarnya menyala dengan Qi kuning tebal, menghantam punggung beruang itu.TANG!Bunyi logam beradu dengan logam memekakkan telinga. Pedang Raksita, senjata tingkat menengah yang mampu membelah batu granit, terpental begitu saja saat menyentuh bulu-bulu keras di punggung beruang itu. Binatang itu bahkan tidak tergores. Kulitnya sekeras baja tempaan, dan kegilaan di matanya membuatnya kebal terhadap rasa sakit."Mustahil ..." wajah Raksita
Aksara menatap genangan merah bercampur emas di depannya dengan napas tertahan. Jantungnya berpacu liar, memukul-mukul rusuk yang masih terasa nyeri. Di sekelilingnya, kesunyian Wana Jagad terasa menekan, seakan sedang menahan napas, mengamati apa yang baru saja keluar dari tubuh seorang pelayan hina."Wadah ... telah ... retak..."Suara itu terdengar lagi di otaknya, gema purbanya bergetar di dalam tengkorak kepala Aksara. Itu bukan halusinasi. Aksara tahu itu. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah berubah malam ini. Tubuhnya yang selama ini hampa, "bejana bocor" yang dikutuk langit, tiba-tiba terasa penuh.Penuh dengan sesuatu yang asing, panas, dan lapar.Dengan tangan gemetar, Aksara meraup tanah beku di sekitarnya. Ia menimbun darah aneh itu dengan panik, menyembunyikannya di balik lapisan lumpur dan es. Ia tidak boleh membiarkan siapa pun melihat ini. Jika para tetua tahu ada kelainan baru pada tubuhnya, mereka mungkin tidak akan membuangnya ke dapur, melainkan memb
Aksara masih terengah ketika suara itu terdengar. Ia bahkan tak perlu menengok untuk tahu siapa yang menegur Darius. Di seluruh Sekte Wana Jagad, hanya satu orang yang cukup berani untuk memutus hiburan murid inti itu tanpa takut dibalas.Darius mengubah raut wajahnya, senyum manis palsu muncul di wajahnya. “Ah … Larasmaya,” katanya, seolah menyambut tamu istimewa. “Aku tak sadar kalau bidadari Divisi Alkimia meluangkan waktu mengunjungi tempat kotor seperti ini.”Beberapa langkah dari kerumunan yang mulai bubar, berdirilah Larasmaya Renjana. Jubah hijaunya yang lembut kontras dengan seragam putih para murid tempur. Pita putih sederhana mengikat rambut hitamnya. Cantik, tenang, dan biasanya membawa aura damai yang menular.Tapi pagi ini, matanya tidak memancarkan kedamaian apa pun. Hanya ketegasan dingin.“Pasal Tiga Puluh Dua Sekte Wana Jagad,” ucapnya tanpa nada membujuk. “Dilarang menyerang anggota sekte di luar arena duel resmi. Apalagi melukai pelayan yang tidak memiliki kultivas







