LOGINSuara perang membuat telinga tuli. Bukan karena teriakan ribuan orang, melainkan karena ledakan guntur yang tak henti-hentinya menghantam bumi. Langit di atas Puncak Halilintar seolah runtuh, memuntahkan amarahnya dalam bentuk tombak-tombak cahaya biru yang mematikan.
Di kaki gunung, garis pertahanan pertama Sekte Guntur Ungu hancur berantakan.
Ribuan murid Sekte Tanah, penjahat Lembah Tengkorak, pendekar tanpa tuan dan monster-monster liar yang mengikuti Aksara menerjang maju seperti air bah. Mereka tidak memiliki formasi yang rapi. Mereka tidak memiliki seragam yang indah. Mereka hanya memiliki satu hal: Kebencian.
"BUNUH MEREKA!" teriak seorang mantan Tetua Sekte Tanah, mengayunkan palu batu raksasanya, menghancurkan barisan perisai listrik murid Guntur Ungu.
Darah muncrat, bercampur dengan lumpur dan hujan.
Di ujung tombak serangan itu, Aksara Linggar bergerak. Ia tidak berlari. Ia menari di tengah badai petir.
Setiap kali samba
Dalam kegelapan tidur panjangnya, Aksara tidak bermimpi. Ia mengingat.Kesadarannya ditarik masuk ke dalam aliran darah Jantung Raja Naga yang baru saja ia tanam di dadanya. Darah itu bukan sekadar cairan kehidupan; itu adalah perpustakaan memori yang telah ada sejak dunia ini terbentuk.Aksara melihat zaman dahulu kala.Zaman di mana langit tidak berwarna biru, melainkan ungu keemasan. Zaman di mana manusia dan naga hidup berdampingan, bukan sebagai musuh, melainkan sebagai saudara.Manusia menunggangi naga untuk membelah awan. Naga mengajarkan manusia cara menyerap Qi alam semesta. Peradaban mereka begitu maju, begitu kuat, hingga kultivator pada masa itu tidak perlu memakan pil atau membunuh sesama untuk naik tingkat. Mereka hidup dalam harmoni.Kekuatan gabungan antara Kebijaksanaan Manusia dan Fisik Naga menciptakan entitas yang nyaris sempurna.Lalu, Aksara melihat Mereka.Langit terbelah. Bukan oleh petir, tap
Lorong menuju perut bumi itu ternyata tidak gelap gulita seperti yang Aksara bayangkan.Dinding-dindingnya terbuat dari tulang rusuk yang membatu, memancarkan cahaya merah temaram yang berdenyut seirama dengan suara DUM yang menggema dari kedalaman. Udara di sini panas, kering, dan berbau belerang purba.Setiap langkah yang diambil Aksara terasa semakin berat. Bukan karena gravitasi bumi, melainkan karena Tekanan Spiritual yang dipancarkan oleh sisa-sisa keberadaan Raja Naga di bawah sana. Tekanan itu menolak kehadiran makhluk hidup lain. Bagi manusia biasa, tekanan ini sudah cukup untuk menghancurkan pembuluh darah otak dalam radius satu mil.Aksara terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya yang setengah bersisik. Lututnya gemetar, seolah memikul gunung di pundaknya."Kau merasakannya?" suara Naga Wiratama terdengar bergetar, penuh rasa hormat dan duka. "Ini adalah aura Baginda Raja Antaboga. Bahkan dalam kematiannya, be
Angin laut yang berhembus di Nusa Kencana membawa bau alkohol, keringat, dan darah yang mengering.Pulau itu tidak memiliki pemerintahan. Tidak ada bendera sekte yang berkibar. Yang ada hanyalah ribuan bangunan kayu yang ditumpuk sembarangan di atas tebing karang, saling sambung-menyambung dengan jembatan gantung yang rapuh. Kapal-kapal bajak laut, pedagang budak, dan buronan berlabuh berdesakan di pelabuhan yang kumuh.Di sinilah sampah dunia berkumpul. Di sinilah mereka yang dibuang oleh Aliansi menemukan rumah.Siang itu, kesibukan di pelabuhan terhenti sejenak.Sebuah perahu kecil merapat di dermaga utama. Tidak ada layar, tidak ada dayung. Rakit itu bergerak membelah ombak seolah ditarik oleh hantu air.Tiga sosok melangkah turun ke dermaga kayu yang berderit.Seorang pemuda dengan jubah hitam longgar yang menutupi satu lengannya. Wajahnya tertutup topeng kayu polos.Seorang wanita cantik dengan kulit pucat dan tato bunga hitam d
Kesadaran Aksara kembali dengan perlahan dari dasar laut yang gelap dan sunyi. Tidak tergesa, tidak menyakitkan, hanya pelan, seolah dunia memberinya waktu untuk bernapas kembali.Hal pertama yang menyentuhnya bukanlah suara, melainkan bau.Bukan bau darah. Bukan asap mesiu. Bukan racun yang menusuk paru-paru. Yang ada hanyalah garam, lumut basah, dan aroma herbal asing yang lembut dan menenangkan, hampir seperti janji bahwa ia masih hidup.Perlahan, Aksara membuka matanya.Cahaya biru yang lembut menyambut pandangannya. Ia tak lagi tergeletak di pantai berpasir kasar tempat kesadarannya terputus. Ia berada di dalam sebuah gua luas, sunyi dan megah.Dinding-dinding gua dipenuhi kristal biru berpendar, memancarkan cahaya alami yang dingin namun menenangkan. Kilauannya menari di permukaan batu, memantul ke langit-langit yang menjulang tinggi. Dari sana, tetes-tetes air jatuh perlahan, menciptakan irama halus saat menyentuh kolam-kolam kecil di lantai gua, seperti napas dunia yang masih
Jeritan Patriark Matahari yang kehilangan lengannya bukan sekadar pekik kesakitan, itu adalah lonceng kematian bagi moral Pasukan Aliansi. Suara itu menggema, memecah keberanian, menanamkan ketakutan yang tak bisa lagi disangkal.Di dalam lambung Bahtera Nuh yang porak-poranda, darah dewa menetes ke lantai emas, mendesis seperti asam, membakar logam suci hingga menghitam. Setiap tetesnya adalah penghinaan terhadap keabadian.“BUNUH DIA! JANGAN BIARKAN DIA HIDUP!” raung Patriark Matahari, suaranya pecah dan liar. Wajahnya pucat pasi, mata melotot gila oleh amarah dan teror yang telanjang. Tangan kanannya mencengkeram tunggul bahu kirinya yang buntung, memaksa api suci menutup luka, berjuang menghentikan pendarahan energi dewata, namun bahkan cahaya Matahari pun tampak ragu di hadapan kehancuran yang baru saja lahir.Raja Pedang dan Ibu Suri Seribu Bunga tidak perlu disuruh dua kali. Mereka menyadari satu fakta mengerikan: Jika monster hitam di hadapan
Langit di atas Lautan Kekacauan terbelah menjadi dua warna. Emas Menyilaukan dari Meriam Utama Bahtera Nuh, dan Hitam Kelam dari aura Aksara dan Larasmaya.BOOOOOOM!Benturan itu tidak menghasilkan suara pada detik pertama. Saking dahsyatnya energi yang bertabrakan, suara pun terhisap hilang. Cahaya putih menelan segalanya, menguapkan air laut di bawahnya hingga radius lima mil menjadi kabut panas.Aksara meraung di tengah cahaya itu. Tangan Kiri Asura dan Cakar Naga Kanan-nya menahan pilar cahaya penghancur itu. Kulitnya melepuh, sisik-sisiknya retak dan rontok, namun regenerasi Sutra Darah Langit memaksanya tumbuh kembali dalam siklus penyiksaan abadi."AKU AKAN MEMAKANMU!" batin Aksara menjerit.Ia membuka mulutnya, mencoba menghisap energi meriam itu menggunakan teknik Pemakan Segala. Namun, energi ini terlalu besar. Terlalu murni. Seperti mencoba meminum air terjun dengan gelas."Aksara! Tubuhmu tidak







