Langit Jakarta mulai diselimuti mendung ketika Arka menatap layar besar di ruang kendali keamanan digital Wijaya Corporation. Suara tombol-tombol ditekan cepat, monitor berganti-ganti menampilkan data.
"Kiara, bagaimana status jaringan cadangan kita?" tanya Arka, matanya tajam menelusuri statistik lalu lintas data. "Masih stabil, Arka. Tapi ada sinyal ganjil dari wilayah utara, tepatnya dari server bayangan yang pernah kita bongkar tahun lalu," jawab Kiara cepat. Raka mendekat, membawa tablet dengan grafik aneh. "Aku juga menangkap spike elektromagnetik yang tidak biasa. Sepertinya ada teknologi baru yang sedang diuji dari luar negeri." "Tapi kenapa dari arah utara?" gumam Genta, bersandar di meja. "Bukankah server Tokyo mereka terpantau dari tim siber militer?" "Justru itu, mereka sedang mengalihkan serangan," ujar Arka. "Kita dijadikan umpan. Pusatnya bukan lagi Tokyo. Ada kekuatan lain yang sedang menggeraKabut tebal turun menyelimuti area sekitar bunker, seolah menambah tekanan dari aura Kazuo yang kini berdiri tak jauh dari Arka. Udara menjadi berat, sepi, dan mencekam. Bahkan pepohonan di sekitar tempat itu tampak seperti menunduk dalam ketakutan. Arka menatap sosok pria bermata merah yang berdiri dengan tenang, namun dalam diamnya menyimpan ancaman besar. Kazuo bukan sekadar ahli bela diri. Ia adalah eksperimen hidup dari program gabungan kekuatan bela diri dan teknologi neural Jepang—proyek gelap yang bahkan oleh pemerintah mereka sendiri pernah dibubarkan karena dianggap terlalu berbahaya. Kazuo tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kuat dari terakhir kali kita bertemu, Arka.” “Kau juga masih suka membuat entrance dramatis rupanya,” balas Arka datar. “Dulu kau pengusaha yang minati bantuan oleh negara. Tapi sekarang... lihat dirimu. Patriot yang jadi batu sandungan dunia.” “Dan kau masih pengecut yang ber
Angin malam Kalimantan Timur berhembus kencang ketika Arka berdiri di hadapan Kazuo, pria bermata merah yang baru keluar dari bunker bawah tanah. Atmosfer di sekitar mereka berubah drastis, terasa berat dan menyesakkan. “Kau tampak lelah, Arka,” kata Kazuo dengan nada tenang. “Padahal ini baru permulaan.” “Aku belum menggunakan semua yang kupunya,” balas Arka dengan mata yang tak berkedip. Kazuo tersenyum dingin. “Bagus. Aku tak ingin pertarungan yang membosankan.” Tiba-tiba, Kazuo menghilang dari pandangan. Arka menoleh cepat ke kiri, tepat sebelum sebuah tinju menghantam tempat dia berdiri. Tanah meledak, menciptakan kawah kecil. “Cepat sekali gerakannya…” gumam Arka sambil melompat mundur. Kazuo muncul kembali, berdiri dengan santai. “Aku bukan lagi manusia biasa. Teknologi dan tubuhku sudah menyatu.” “Dan kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?” tanya Arka sambil menarik nap
Langit Jakarta tampak cerah saat helikopter hitam mendarat perlahan di rooftop gedung Wijaya Corporation. Baling-balingnya menebarkan angin yang membuat debu-debu beterbangan di sekeliling. Arka turun dengan langkah mantap, tatapannya lurus ke depan, namun tubuhnya masih menyisakan aroma pertempuran. “Selamat datang kembali, Arka,” sambut Kiara dari samping pintu lift, senyumnya hangat, meski mata menunjukkan kecemasan yang belum sepenuhnya reda. “Terima kasih, Kiara. Bagaimana keadaan di sini?” tanya Arka sambil berjalan menuju ruang kendali. “Sistem sudah kembali normal sejak spike dihancurkan. Tapi aku masih belum tenang,” ujar Kiara, mengikuti langkahnya. Raka dan Genta sudah menunggu di ruang utama. Taka duduk di depan monitor, tangannya sibuk mengetik kode-kode baru. “Bungker berhasil dikuasai?” tanya Raka tanpa basa-basi. “Ya,” jawab Arka singkat. “Kazuo sudah dikalahkan. Dan spike elekt
Hujan rintik membasahi pelabuhan Tanjung Priok malam itu. Lampu-lampu kontainer menyala redup, menciptakan siluet gelap di antara deretan peti kemas raksasa. Arka berdiri di atas salah satu peti, tubuhnya diam, matanya menelusuri area dengan ketegangan yang terjaga. “Ada tiga titik pancaran sinyal. Satu di selatan, dua di dekat dermaga barat,” suara Genta terdengar dari alat komunikasi di telinga. “Fokuskan tim ke titik selatan. Aku akan tangani yang di dermaga barat,” jawab Arka tanpa ragu. Kiara yang mengawasi dari pusat kendali menyela, “Arka, aku menangkap pola data yang mirip dengan spike Kalimantan. Tapi ini lebih kuat, frekuensinya ganda.” “Berarti mereka tak main-main kali ini,” gumam Arka sambil melompat turun dari peti, menapaki lorong-lorong antara kontainer. Genta bergerak cepat di sisi lain pelabuhan. “Aku temukan satu perangkat. Dalam proses penonaktifan.” “Bagus. Aku hampir sampa
Udara pagi di Jakarta berhembus ringan saat Arka menatap jendela ruang rapat utama Wijaya Corporation. Pagi itu terasa berbeda. Hening, namun dipenuhi firasat. Ia tahu, musuh dari luar telah berhasil ditundukkan. Namun kini, ada bayangan dalam rumah sendiri yang harus dibongkar. "Kiara, bagaimana hasil audit sistem internal yang kamu jalankan minggu lalu?" tanya Arka dengan nada tenang. Kiara membuka tablet dan menyajikan laporan di layar. "Ada satu akun akses khusus yang tidak seharusnya aktif. Kode penggunanya berasal dari jalur dewan direksi lama." Raka mengernyitkan dahi. "Dewan lama? Siapa yang masih punya akses itu selain kamu dan paman Dirga?" "Itulah yang mengejutkan," sahut Kiara. "Akun itu bukan milik Dirga, tapi atas nama Galang." "Galang?" ulang Genta pelan. "Bukankah dia—" "Sepupumu yang menghilang setelah Arka menjadi direktur utama," potong Raka cepat. Arka berdiri
Mentari pagi menyinari halaman utama rumah keluarga Wijaya di kawasan Puncak. Udara segar bercampur dengan aroma teh hangat yang disuguhkan para pelayan kepada keluarga yang berkumpul. Arka berdiri di sisi kanan Kakek Wijaya, mengenakan setelan sederhana berwarna hitam dengan lencana kecil berbentuk naga langit di dadanya. “Aku merasa aneh berdiri di sini dengan semua perhatian ini,” gumam Arka pelan. “Karena ini memang hari penting,” jawab Genta dari sisi kirinya. “Bukan setiap hari seorang pewaris resmi dinobatkan.” Di tengah halaman, Kakek Wijaya berdiri tegap, suara dan sorot matanya kembali seperti saat beliau masih memimpin perusahaan. “Mulai hari ini,” ujar Kakek Wijaya lantang, “aku, Wijaya Utama, secara resmi menegaskan bahwa Arka Wijaya adalah satu-satunya ahli waris utama keluarga ini.” Beberapa kerabat terlihat terdiam, ada yang mengangguk setuju, ada pula yang tertunduk, menyadari
Kilatan cahaya menghantam lantai beton dengan keras. Tubuh penyusup terpental dan menghantam dinding bunker bawah tanah. Arka berdiri tegak, napasnya teratur, namun aura di sekelilingnya masih menyala seperti bara api yang belum padam. "Aku... tidak percaya kau... bisa menembus teknik bayangan keempat," erang penyusup sambil bangkit perlahan. "Karena kau belum mengenal batas sebenarnya dari teknik warisan naga langit," balas Arka dengan dingin. "Aku murid dari orang yang menyelamatkan Sura murid Raksa saat hampir mati di Surabaya... Guruku adalah adik seperguruan Raksa!" teriak penyusup dengan amarah dan kebencian yang menumpuk. "Itu menjelaskan aura gelap yang kurasakan darimu," ujar Arka sembari melangkah maju. "Tapi kau datang terlambat. Raksa sudah dikalahkan. Dan pengkhianatan tak akan pernah menang." Tiba-tiba penyusup berteriak sambil menghantamkan kedua tangannya ke tanah
Langit Makassar terlihat cerah ketika pesawat pribadi Wijaya Corporation mendarat di landasan privat Bandara Sultan Hasanuddin. Arka melangkah turun lebih dulu, diikuti Raka dan Genta. Di balik sinar matahari yang menyambut mereka, tersimpan aura ancaman yang masih menggantung sejak telepon misterius diterima Arka malam sebelumnya. "Kau yakin kita harus tetap lanjut?" tanya Genta sambil mengenakan kacamata hitamnya. "Ancaman adalah bagian dari setiap langkah besar," jawab Arka tenang. "Dan langkah kita kali ini akan mengubah peta energi dan sosial di wilayah timur." Raka menambahkan, "Aku sudah menjadwalkan pertemuan dengan tiga tokoh bisnis lokal sore ini. Mereka adalah orang-orang kepercayaan lama Wijaya Corporation yang pernah ikut proyek di era awal kakek." "Aku ingin mendengar sendiri bagaimana kekuatan tersembunyi di Makassar bergerak," kata Arka sambil membuka file digital di tabletnya. Pertemuan perta
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb