Share

Bab 2 Jejak Dalam Kegelapan

Penulis: Caesar Azka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-01 04:01:26

Petir menyambar di kejauhan, menyinari langit malam yang kelam. Di tepi tebing yang curam, Arka berdiri tegap, menatap hamparan hutan lebat di bawahnya. Angin malam bertiup kencang, mengibarkan jubahnya dan membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Hatinya bergolak. Semesta seolah memberikan pertanda bahwa perjalanannya baru saja dimulai.

“Kenapa sekarang?” gumamnya, matanya menerawang ke dalam kegelapan.

Suara langkah kaki mendekat dari belakang. Guna, sang guru, berdiri di sana dengan mata tajam yang menyiratkan kebijaksanaan dan rahasia yang belum terungkap.

“Bukan soal kapan,” kata Guna dengan suara berat. “Tapi soal takdir.”

Arka menoleh, menatap gurunya dengan penuh tanda tanya. “Takdir?”

Guna mengangguk pelan. “Aku tidak mengatakan ini tanpa alasan. Kau sudah merasakannya, bukan? Keinginan untuk mencari tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Arka menghela napas, dadanya terasa sesak. “Aku tidak pernah mempertanyakan asal-usulku. Keluarga yang membesarkanku telah memberikanku segalanya.”

Guna menatapnya lekat. “Tapi darah tidak bisa dibohongi.”

Arka terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalanya.

Guna berjalan mendekat, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan. “Kau bukan pemuda biasa, Arka. Kau memiliki kecepatan belajar yang luar biasa dalam bela diri. Energi dalam tubuhmu lebih kuat daripada mereka yang telah berlatih kultivasi selama puluhan tahun. Bahkan dalam pengobatan, kau memiliki intuisi yang jarang dimiliki orang lain.”

Arka mengepalkan tangannya. “Apa artinya semua itu?”

Guna menarik napas dalam. “Itu berarti kau adalah keturunan dari dua garis keturunan kuat—Wijaya, keluarga yang memiliki pengaruh besar di dunia bisnis dan politik, dan ibumu, Ratri, pewaris klan kultivasi yang telah lama menghilang.”

Arka membelalakkan matanya. “Klan kultivasi?”

Guna mengangguk. “Mereka bukan hanya pejuang. Mereka adalah penyembuh, pelindung, dan penjaga keseimbangan. Tapi ketika ibumu menikahi ayahmu, keluarga Wijaya menolaknya. Mereka berusaha menghapus semua jejaknya.”

Arka menggertakkan giginya. “Jadi mereka tidak hanya membuangku, tapi juga mengkhianati ibuku?”

“Benar,” kata Guna dengan nada yang lebih lembut. “Dan sekarang, kau berada di persimpangan jalan.”

Arka menatap ke langit, pikirannya berkecamuk. Ia bisa tetap tinggal di sini, melupakan segalanya, atau melangkah ke dunia yang telah membuangnya dan menghadapi mereka.

“Jika aku pergi,” suaranya nyaris tenggelam dalam suara angin. “Apa yang akan terjadi?”

Guna tersenyum tipis. “Dunia tidak akan menyambutmu dengan tangan terbuka, tapi kau bisa menunjukkan pada mereka bahwa mereka telah salah.”

DI KOTA

Di pusat bisnis keluarga Wijaya, ruang rapat megah dipenuhi ketegangan. Wisnu Wijaya duduk dengan rahang mengatup, matanya tajam menatap layar di hadapannya. Grafik saham yang menurun tajam membuat kemarahannya memuncak.

“Jadi, kau ingin mengatakan bahwa perusahaan ini dalam bahaya?” suaranya bergetar menahan amarah.

Seorang penasihat keluarga menelan ludah. “Tuan Muda, seseorang telah bergerak untuk menjatuhkan kita. Proyek besar terhambat, dan sekutu utama mulai menarik diri.”

Darma Wijaya, pemimpin keluarga yang telah menua namun tetap berkarisma, mengetuk jarinya di meja. “Siapa yang berani menantang kita?”

Penasihat itu ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Seolah-olah dia tahu semua kelemahan kita.”

Wisnu bersandar di kursinya, matanya menyipit. “Pengkhianat?”

Seorang pria paruh baya dengan wajah dingin menyela. “Bukan hanya pengkhianat. Ini mungkin balas dendam.”

Darma mendengus. “Dari siapa?”

Pria itu menatapnya lurus. “Seseorang yang dulu kita buang.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

Wisnu mengepalkan tangannya. “Arka…”

Mereka tidak pernah menyebut nama itu lagi sejak malam ia dibuang, tapi bayangannya masih menghantui.

Darma tertawa sinis. “Tidak mungkin. Dia hanyalah anak kecil yang tak berdaya saat kita tinggalkan.”

Namun, jauh di lubuk hatinya, Darma tak bisa mengabaikan ketakutan yang perlahan menyelinap.

Di luar sana, pewaris yang mereka buang telah tumbuh lebih kuat dari yang mereka bayangkan.

Dan ia sedang dalam perjalanan kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 217 Bayangan di Langit

    Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 216 – Kehendak yang Bangkit

    Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 215 Warisan di Ujung Darah

    Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status