Share

Bab 3 Kedatangan

Author: Caesar Azka
last update Last Updated: 2025-03-01 04:10:25

Fajar baru saja menyingsing ketika Arka berdiri di atas tebing yang menghadap desa kecil tempat ia tumbuh besar. Angin pagi bertiup kencang, menerbangkan debu dan dedaunan kering di sekitarnya. Di kejauhan, hamparan hutan lebat tampak seperti samudra hijau yang tak berujung. Matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad dan keyakinan.

Dari belakang, Guna berdiri dengan tangan bersedekap. "Jadi, kau sudah memutuskan?"

Arka mengangguk. "Aku harus tahu siapa diriku sebenarnya, Guru."

Guna menarik napas panjang. "Perjalanan ini tidak akan mudah. Dunia di luar sana jauh berbeda dari yang kau kenal."

Arka tersenyum tipis. "Aku sudah siap. Ilmu yang kau ajarkan akan selalu menjadi bagian dari diriku."

Guna mengulurkan sebuah kantong kecil. "Ramuan ini akan melindungimu. Dan ini..." Ia menyerahkan sebuah jimat kayu berukir naga. "Simbol perlindungan. Jangan sampai hilang."

Arka menerimanya dengan penuh hormat. "Terima kasih, Guru. Aku tidak akan melupakan semua yang telah kau ajarkan."

Di belakang mereka, beberapa penduduk desa berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan. Ayu, adik angkat Arka, berlari menghampirinya dengan mata berkaca-kaca. "Kau benar-benar harus pergi, Kak?"

Arka mengusap kepalanya. "Aku harus, Ayu. Tapi aku janji akan kembali."

Ayu menyerahkan kain kecil bersulam naga emas. "Ini untuk keberuntungan."

Arka menggenggamnya erat. "Aku akan menjaganya."

Dengan satu tarikan napas, Arka berbalik dan mulai melangkah menuju dunia yang pernah membuangnya.

Kota Jakarta – Markas Keluarga Wijaya

Di sebuah ruangan megah dengan jendela setinggi langit-langit, Wisnu Wijaya duduk di kursinya dengan ekspresi tajam. Cahaya matahari pagi memantul di dinding kaca, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer yang dingin.

"Beritahu aku lagi," katanya dengan suara dingin.

Seorang pria berpakaian rapi berdiri dengan gelisah. "Kita kehilangan proyek besar di luar negeri. Perusahaan lawan tampaknya mengetahui semua strategi bisnis kita."

Wisnu mengetukkan jarinya ke meja. "Bagaimana bisa? Tidak ada orang luar yang seharusnya tahu sedetail ini."

Darma Wijaya, sang kepala keluarga, menghela napas berat. "Seseorang mengincar kita. Kita harus mencari tahu siapa sebelum semuanya terlambat."

Pintu ruangan terbuka tiba-tiba. Seorang pria paruh baya masuk dengan tergesa-gesa. "Tuan, kami menemukan sesuatu yang mengejutkan."

Semua mata tertuju padanya.

"Kami menemukan seseorang yang mungkin menjadi dalang semua ini."

Wisnu menyipitkan mata. "Siapa?"

Pria itu ragu sebelum akhirnya berkata, "Arka Wijaya."

Ruangan langsung sunyi.

Darma menatap tajam. "Itu tidak mungkin."

"Kami mendapatkan informasi bahwa seseorang dengan kecerdasan luar biasa telah muncul di dunia bisnis dan investasi dalam bayang-bayang. Ia memahami kelemahan kita dengan sangat baik."

Wisnu bersandar ke kursinya. "Jika itu benar... maka dia kembali."

Darma mendengus. "Bocah itu bukan ancaman. Dia bukan siapa-siapa."

Namun, di dalam hatinya, Wisnu tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar dengan membuangnya.

Terminal Jakarta – Kedatangan yang Tak Terduga

Langit Jakarta mendung ketika Arka turun dari bus, ransel tersampir di punggungnya. Udara kota terasa berat, penuh dengan asap dan kebisingan yang kontras dengan ketenangan desa tempatnya tumbuh.

Ia berjalan perlahan, mengamati gedung-gedung tinggi yang menjulang. Dunia ini terasa asing, namun di sinilah semuanya dimulai.

Arka memasuki sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan dan duduk di pojok. Ia membuka ponselnya, membaca data yang telah ia kumpulkan tentang keluarga Wijaya.

"Kau tidak bersembunyi dengan baik," suara seseorang tiba-tiba terdengar di seberangnya.

Arka menoleh. Wisnu Wijaya duduk di hadapannya dengan ekspresi dingin.

Arka menatapnya tanpa ekspresi. "Kau menemukanku lebih cepat dari yang kuduga."

Wisnu menyilangkan tangan. "Kau tidak benar-benar mencoba bersembunyi."

Arka menatap lurus ke matanya. "Aku tidak berniat bersembunyi. Aku hanya ingin jawaban."

Wisnu menghela napas. "Jawaban tentang apa?"

Arka mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kenapa aku dibuang?"

Wisnu terdiam, menatap adiknya lama sebelum menjawab. "Itu keputusan kakek."

Arka mengepalkan tinjunya. "Dan kau hanya membiarkannya terjadi?"

Wisnu menatapnya dalam-dalam. "Saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kakek memiliki kendali penuh. Aku mencoba melawan, tapi aku gagal."

Arka mencari kebohongan dalam kata-kata kakaknya. "Jadi sekarang kau mencariku karena membutuhkan bantuanku?"

Wisnu tidak menyangkal. "Keluarga ini dalam bahaya. Jika kau ingin jawaban, satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan kembali."

Arka menatap secangkir kopi di depannya. Kata-kata Wisnu masuk akal, tapi ia belum yakin untuk mempercayainya.

Akhirnya, ia mendongak dan berkata, "Aku akan datang ke rumah keluarga."

Wisnu mengangguk. "Bagus."

Namun, di dalam hati, Arka tahu bahwa ini bukan sekadar perjalanan pulang.

Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—dan mungkin lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status