Langit malam Jakarta dipenuhi cahaya neon, memantul di jalanan basah setelah hujan sore. Udara masih menyisakan aroma aspal yang hangat, bercampur dengan bau kopi dan gorengan dari pedagang kaki lima. Arka berdiri di bawah lampu jalan, matanya menatap ke kejauhan. Pikirannya masih berputar setelah pertemuannya dengan Wisnu.
Keluarga yang membuangnya kini membutuhkannya? Sebuah ironi yang sulit ia cerna. Ia menarik napas dalam, berusaha mengabaikan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Jalanan penuh dengan orang-orang yang tidak mengenalnya, tidak peduli dengan masa lalunya. Tapi Jakarta adalah tempat di mana semua orang menyembunyikan sesuatu. Dan kali ini, ia datang untuk mengungkap rahasia yang selama ini ditutupi darinya. Saat melangkah menuju penginapan kecil yang ia temukan melalui aplikasi ponselnya, terdengar suara teriakan dari gang sempit di sisi jalan. Arka menghentikan langkahnya. Sekilas, ia melihat tiga pria bertubuh besar mengeroyok seseorang di tengah gang gelap. Lampu redup hanya menyoroti siluet mereka. “Kau sudah salah memilih lawan,” suara pemuda itu terdengar santai, meskipun dikepung. Salah satu pria melayangkan pukulan, tapi pemuda itu dengan lincah menghindar. Dengan gerakan cepat, ia menangkap lengan lawannya dan memutar tubuhnya, membuat pria itu jatuh menghantam dinding. Namun, dua pria lainnya tidak tinggal diam. Salah satunya mengayunkan pisau kecil ke arah pemuda itu. Arka menghela napas. Ia bisa saja pergi dan mengabaikannya. Tapi ada sesuatu dalam nalurinya yang menolak membiarkan ketidakadilan terjadi. Dengan kecepatan yang hampir tak terlihat, ia menerjang masuk. Tangannya menangkap pergelangan pria yang memegang pisau, lalu memuntirnya hingga senjata itu jatuh berdering di tanah. Dengan siku, ia menghantam perut pria itu hingga tersungkur. Pria ketiga yang tersisa menatapnya dengan ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia kabur meninggalkan teman-temannya. Pemuda yang diserang tertawa kecil, mengibaskan bajunya. “Menarik. Aku nyaris saja ingin melihat seberapa jauh aku bisa bertahan.” Arka menatapnya datar. “Sepertinya kau tidak butuh bantuan.” Pemuda itu mengangkat bahu. “Tetap saja, aku menghargainya.” Ia menyeringai dan mengulurkan tangan. “Namaku Raka. Dan kau… Arka, bukan?” Arka menegang. “Dari mana kau tahu namaku?” Raka terkekeh. “Aku ada di kedai kopi tadi. Kudengar percakapanmu dengan Wisnu Wijaya. Ceritamu cukup menarik.” Arka mempersempit matanya. “Jadi kau menguping?” “Bukan menguping, hanya mendengar kebetulan.” Raka menyandarkan tubuhnya ke dinding, tatapannya masih tajam. “Dan aku memang penasaran. Anak yang dibuang keluarganya, kini kembali. Seperti cerita klasik tentang pengkhianatan dan balas dendam.” Arka tidak menanggapi. “Apa urusanmu denganku?” Raka melipat tangannya. “Sama seperti kau, aku juga punya urusan dengan keluarga Wijaya.” Arka menatapnya lebih tajam. “Apa maksudmu?” “Keluarga itu menghancurkan sesuatu yang berharga bagiku,” jawab Raka, suaranya lebih dingin. “Aku dulu bekerja untuk salah satu perusahaan yang menjadi mitra mereka. Tapi setelah sebuah kesepakatan besar, perusahaan itu bangkrut. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Termasuk orang-orang yang kuanggap keluarga.” Arka tidak langsung bereaksi. Ia tahu betapa kejamnya dunia bisnis, tapi mendengar cerita ini menambah satu lapisan baru dalam pemahamannya tentang keluarga Wijaya. “Aku tidak datang untuk balas dendam,” kata Arka akhirnya. “Aku hanya ingin kebenaran.” Raka tersenyum miring. “Kadang, kebenaran dan balas dendam hanya dipisahkan oleh garis tipis.” Arka terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Sebelum ia sempat merespons, Raka kembali berbicara. “Kau butuh seseorang yang tahu seluk-beluk keluarga itu dari luar,” katanya. “Dan aku butuh seseorang dengan koneksi langsung ke dalamnya. Aku punya informasi yang bisa membantumu.” Arka mengamati pemuda itu dalam diam. Segalanya terasa terlalu kebetulan. Terlalu mudah. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya. Raka menatapnya serius. “Kau masuk ke dalam keluarga Wijaya. Temukan kebenaran. Aku akan membantumu dari luar.” Arka berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaanmu.” Raka menyeringai. “Kita bisa mulai dari sana.” Mereka melangkah keluar dari gang, menyatu dengan keramaian kota. Dari kejauhan, gedung megah keluarga Wijaya berdiri kokoh, memancarkan cahaya keemasan. Tapi bagi Arka, itu bukan simbol kejayaan. Itu adalah labirin penuh kebohongan yang harus ia pecahkan. Sebelum mereka melanjutkan langkah, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata dari arah yang tidak jauh. Arka dan Raka refleks berbalik. Orang-orang di sekitar mulai berlarian panik. Sebuah mobil hitam melaju kencang melewati jalan, dan dari dalamnya, seseorang menatap Arka—mata penuh kebencian. Raka mengumpat pelan. “Sepertinya kau sudah menarik perhatian yang tidak diinginkan.” Arka mengepalkan tangannya. Ia belum melangkah jauh, tapi musuh-musuhnya sudah menunggu. Dan kali ini, ia tidak bisa mundur.Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…