"Kalau hidupmu cuma dihargai sembilan puluh hari, kamu bakal jual ke siapa?"
Suara itu menghantui pikirannya. Seperti gema dari masa lalu yang tak mau mati. Suara kakeknya — pelan, tapi tajam — datang bersama memori yang tak pernah bisa ia buang: aroma dupa yang terbakar, darah ayam kampung yang mengalir di tanah basah, dan rumah kayu reyot yang jadi saksi doa-doa putus asa keluarganya. Tapi sekarang, tak ada dupa. Tak ada mantra. Yang ada cuma kontrak plastik bening. Dan sebilah keris tua berkarat, dibungkus sobekan kain kafan — peninggalan kakeknya, diselipkan sebelum ia pergi ke liang lahat. "Kalau mereka bohong padamu, cucuku… keris itu akan bicara." Kata-kata terakhir itu bergaung di kepalanya ketika ia berdiri di depan lift hotel bintang lima. Tangannya gemetar menggenggam kontrak. Nafasnya pendek, berat, seperti paru-parunya menolak udara. "Ini bukan aku… Tapi aku juga bukan siapa-siapa." Empat bulan lalu, dia hampir jadi TKI. Semua uang pinjaman untuk ke Taiwan lenyap bersama agen yang kabur. Ayahnya terkena stroke. Adiknya harus cuci darah dua kali seminggu. Dan orang-orang yang katanya keluarga? Mereka justru menagih, seperti burung nasar mengerubungi bangkai. Lalu datanglah tawaran itu: 90 hari. Hidup ditukar. Tanpa tanya. Tanpa belas kasihan. "Sembilan puluh hari bukan selamanya," gumamnya. "Setelah itu, aku bisa pulang. Bisa hidup." Lift berbunyi. Lantai 33. Pintu terbuka. Lorong itu sunyi. Suite luas dan mewah menunggu di ujung, tapi udara menusuk kulitnya. Bukan dingin dari AC. Ada sesuatu yang lain. Samar, aroma dupa menyelinap di udara steril — aroma masa kecil, aroma ritual yang tak lagi ia mengerti. "Kenapa baunya sama…?" Di balik meja hitam berdiri pria itu. Tegak. Dingin. Wajah seperti pahatan batu. Revan Malik. Nama yang beredar di lorong bawah tanah Jakarta. Nama yang dibisikkan orang-orang, bersama cerita tentang kekuasaan, darah, dan rahasia. Dan kini, dia membeli hidup Naira. “Duduk.” Suaranya datar, tanpa ruang untuk menawar. Naira duduk. Kursi itu empuk, tapi dinginnya menembus paha, merambat ke tulang. “Kontrakmu.” Tangannya menyodorkan map bening. Revan membukanya, menelusuri halaman-halaman dengan tatapan tak terbaca. Sampai tanda tangan terakhir. Ia menutup map, menyimpannya di laci. Seolah mengurung nyawa Naira di sana. “Kamu sadar saat menandatangani?” Naira mengangguk, pelan. “Kenapa saya?” “Karena kamu bukan pelacur. Tapi kamu menyerah. Dan itu lebih… menarik.” Naira menunduk, menahan tatapannya. “Kalau saya berubah pikiran…?” “Kamu tidak bisa.” Revan bangkit. Mendekat. Langkahnya berat, tapi tenang. Matanya menelusuri wajah Naira tanpa sentuhan. “Perempuan seperti kamu… selalu datang terlambat ke hidup mereka sendiri.” Diam. Naira memberanikan diri. “Apa Anda akan menyentuh saya malam ini?” Dia berhenti. Napasnya nyaris menyentuh pipinya. “Tidak,” katanya. “Karena kamu akan berharap aku melakukannya. Dan aku ingin lihat kamu… memohon.” Sebuah kartu hitam disodorkan ke meja. “Penthouse 9B. Tak ada kode. Tak ada penjaga. Tapi kamu tak akan pernah benar-benar pergi. Aku selalu tahu di mana kamu.” Jari-jarinya meraihnya. Dan saat kulitnya bersentuhan dengan kartu itu, sebuah firasat aneh merambat di tubuhnya. Panas. Lalu dingin. Seperti api yang menolak padam. Di dalam tas, keris berdetak. Seperti jantung kedua. Saat hendak melangkah, Revan memanggil: “Naira.” Dia menoleh. “Kamu tahu apa yang baru saja kamu serahkan padaku?” Naira menarik napas. “Kontrol atas hidup saya.” Revan tersenyum tipis. “Salah. Kamu baru saja menyerahkan alasan kenapa kamu masih hidup… sampai hari ini.” Lift menutup. Angka 9 menyala merah. Naira berdiri kaku. Kontrak sudah ditandatangani. Kartu sudah di tangan. Tapi sesuatu… tertinggal di lantai 33. Penthouse 9B. Pintu terbuka otomatis. Lampu menyala satu per satu. Seolah menyambut. Atau… menjebak. Di meja kayu gelap dekat ranjang, hanya ada satu benda: map coklat. Di dalamnya, selembar kertas bertulisan tangan: "Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat." Dingin menjalar dari tengkuk hingga perut. Lalu… …napas seseorang terasa di belakangnya. Naira menoleh cepat. Kosong. Tapi keris dalam tas berdetak dua kali lebih cepat. Ruang itu terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu sadar akan dirinya. “Tiga bulan. Tidur. Lalu selesai,” katanya pada dirinya sendiri. Tapi bahkan suaranya terdengar aneh. Bergema aneh. Dinding itu… seperti menyimpan sesuatu. Ia menatap kembali kertas di map. "Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat." Tinta merah samar mulai muncul di bawah tulisan itu — mengalir pelan… seperti darah yang merembes dari dalam kertas. Naira menelan ludah. Tangannya gemetar. Tapi saat ia hendak menaruh kembali kertas itu, mapnya terasa… lebih berat. “Jangan halu, Na. Ini cuma lelah,” bisiknya. Dia duduk di tepi ranjang. Kartu hitam masih di tangan. Jemarinya kaku. Keris di dalam tas berdenyut pelan. Tapi kali ini—seperti jantung kedua yang hidup di luar tubuh. BUK! Sesuatu jatuh dari langit-langit kamar mandi. Naira melompat. Benda itu jatuh… dan berhenti di kakinya. Sebuah foto. Hitam-putih. Lama. Seorang pria berdiri di tengah sawah berkabut. Mengenakan sarung. Menatap kamera. Wajahnya—kakek Naira. Tapi di belakangnya… samar… ada sosok lain. Tinggi. Tegap. Tak jelas. Di balik foto, tulisan tangan: "Tukar nyawa. 90 hari. Gerbang terbuka." Naira membeku. Dunia terasa miring. Ini bukan soal kontrak. Ini soal warisan. Warisan yang jauh lebih tua dari uang… seks… atau hutang. Ia menatap cermin kamar mandi. Embun perlahan membentuk kalimat. "Hari Pertama belum selesai." Suara gesekan terdengar dari bawah ranjang. Pelan. Teratur. Seperti sesuatu… atau seseorang… menunggu untuk keluar."Kalau kau ingin tahu siapa dirimu… lihat siapa yang berdiri di belakangmu sebelum kau lahir." Dingin menusuk. Tubuh Naira serasa dilempar ke jurang tak berujung. Saat matanya terbuka, ia tidak lagi berada di penthouse. Ia berdiri di sebuah jalan tanah yang basah, diterangi rembulan pucat. Udara berbau tanah dan kemenyan. Pohon-pohon bambu di kanan-kirinya bergoyang perlahan, menghasilkan bunyi seperti bisikan. Di ujung jalan, terlihat rumah kayu. Rumah kakeknya. Tapi berbeda. Lebih tua. Lebih suram. “Masuklah… lihat bagaimana semuanya dimulai…” Naira melangkah, kakinya berat seperti ditarik tanah. Saat mendekati teras, terdengar suara—seorang perempuan. “Jangan paksa aku, Pak!” Naira terhenti. Itu… suara ibunya. Ia mendekat ke jendela. Di dalam, terlihat ibunya yang masih muda. Wajahnya tegang, matanya sembab. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tua—kakeknya. “Kau tahu darahmu bukan darah biasa, Salma,” suara kakeknya berat. “Kau pewaris. Kalau kau menolak, kita semua
"Kalau kau dengar suara di kepalamu, jangan percaya. Itu bukan kau… tapi pintu yang sedang membuka matamu." Naira terbangun di ranjang penthouse 9B. Badannya terasa lebih ringan, tapi dingin menjalar dari dalam, seperti ada yang merayap di bawah kulitnya. Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya samar dari jendela besar. Dia duduk. Tangannya meraba bahu—pola rantai itu masih ada. Tapi sekarang bercahaya samar, berdenyut… seperti napas. “Kau bisa melihat mereka sekarang…” Suara itu. Lembut tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Siapa… siapa kalian?” Naira berbisik. Tidak ada jawaban. Hanya desis yang menyusup ke telinganya. Dia melangkah ke depan cermin besar. Refleksinya… bukan dirinya. Wajah itu pucat, mata gelap, bibir berlumur darah. Rambutnya basah seakan habis ditenggelamkan. Naira terhuyung mundur. “Bukan aku…” “Kau sedang melihat salah satu dari kami. Yang pernah dibuka pintu ini. Yang dulu… juga menjual hidupnya.” Dia memejamkan mata, berharap bayangan itu hilang. Tapi keti
"Setiap pintu butuh tumbal. Dan darah… adalah kunci yang paling mudah." Naira terbangun dengan bau besi menusuk hidungnya. Bau darah. Penthouse 9B sudah berubah. Karpetnya hilang, diganti lantai hitam licin seperti marmer basah. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar—digambar dengan cairan merah yang masih mengkilap. “Tidak…” bisiknya, mundur ke dinding. Di kursi pojok, Revan menunggu. Kali ini ia mengenakan pakaian ritual serba hitam, dengan kalung tulang menggantung di lehernya. “Selamat datang di tahap berikutnya,” katanya tenang. “Hari Ketujuh. Tumbal pertama.” Naira menggigil. “Aku sudah melepaskan Mama… apa lagi yang kau mau?!” Revan berdiri. Langkahnya membuat lantai bergetar ringan. “Pintu tidak kenyang hanya dengan jiwa. Ia butuh darah. Dan kali ini, darahmu sendiri.” Dia menunjuk ke tengah lingkaran. “Duduk.” “Tidak.” “Duduk, atau kau akan ditarik paksa.” Sebelum Naira sempat melawan, udara di sekelilingnya berubah dingin. Angin gelap melilit pergelangan tangannya
"Setiap luka yang kau tutupi, akan muncul di permukaan… sebagai rantai." Naira tersentak. Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di ruang itu—kabutnya lenyap, tapi tubuhnya terasa berat. Saat melihat tangannya, ia hampir menjerit. Goresan merah seperti urat bercahaya menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, membentuk pola bercabang seperti akar pohon. Pola itu berdenyut. Hidup. “Tidak…” Naira memeluk dirinya. “Apa yang terjadi padaku?” Suara Revan datang dari belakang. Ia sudah kembali dengan wajah manusiawinya. “Itu bukan luka. Itu rantai. Dan setiap rantai menandakan ikatan baru dengan pintu.” “Aku tidak mau ini!” “Tidak ada yang mau. Tapi kau sudah memilih ketika masuk.” Naira meraba bahunya. Pola itu panas, menyengat seperti dibakar. Di bawah kulitnya, sesuatu bergerak, menjalar ke tulang. “Kenapa sekarang?!” “Karena kau sudah membuka gerbang pertama. Kau mulai mengerti apa artinya jadi simpul—jembatan antara dunia ini dan mereka.” “Kalau aku potong ini dengan keris—”
"Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah masa depanmu… kalau kau berhenti melawan." Gelap. Naira berdiri di ruang tanpa dinding. Tidak ada lantai, tidak ada langit—hanya kabut hitam pekat yang menempel di kulitnya seperti cairan kental. “Ini… di mana?” suaranya menggema, seperti berbicara di dalam tengkorak kosong. Dari kabut, muncul cahaya merah samar. Satu langkah. Dua langkah. Revan. Tapi bukan Revan seperti yang ia kenal. Wajahnya pecah-pecah seperti cermin retak, sebagian menampakkan kulit manusia, sebagian lagi… kosong, seperti topeng hitam yang hidup. “Selamat datang di inti pintu, Naira,” katanya. Suaranya bergema, terdengar dari segala arah. “Ini bukan tempat manusia. Ini tempat di mana semua perjanjian ditulis ulang.” “Kenapa kau di sini?!” Naira mundur, keris terangkat. “Kau bukan manusia, kan?” Revan terkekeh. “Aku manusia. Atau… dulu pernah. Sama sepertimu.” “Berhenti bicara berputar-putar! Siapa kau sebenarnya?!” Revan mendekat. Setiap langkahnya membuat kabut be
"Darahmu adalah kuncimu. Tapi ingat… kunci bisa membuka, atau mengurungmu selamanya." Langit di luar penthouse berubah warna—merah tua, seperti darah yang membeku. Jam digital di meja menunjukkan 18:00. Senja. Gerbang telah memilih. Naira berdiri di tengah ruangan, kakinya gemetar. Ibunya duduk di pojok, memeluk diri sendiri. “Na… kau dengar itu?” Dari balik dinding, suara bergema. Bukan hanya bisikan—tapi jeritan. Teriakan berlapis, dari banyak mulut. Seperti seluruh lantai 9 berubah jadi rumah penyiksaan. Darah merembes dari celah lantai marmer. Mengalir cepat, membentuk pola lingkaran di sekitar mereka. Penthouse tak lagi seperti hotel. Tapi seperti altar kuno. TV menyala. Revan muncul, kali ini berdiri di ruangan gelap yang penuh simbol. “Selamat datang di malam darah, Naira. Di sinilah kontrakmu diuji.” “Apa maksudmu?!” Naira menjerit. “Gerbang sudah mengambil pilihannya. Tapi kau masih punya kesempatan. Jalani labirinnya. Kalau kau bisa sampai ke inti sebelum tengah mala