Home / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 1 – 90 Hari untuk Hidup

Share

Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari
Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari
Author: T.Y.LOVIRA

Bab 1 – 90 Hari untuk Hidup

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-05 21:07:12

"Kalau hidupmu cuma dihargai sembilan puluh hari, kamu bakal jual ke siapa?"

Suara itu menghantui pikirannya. Seperti gema dari masa lalu yang tak mau mati. Suara kakeknya — pelan, tapi tajam — datang bersama memori yang tak pernah bisa ia buang: aroma dupa yang terbakar, darah ayam kampung yang mengalir di tanah basah, dan rumah kayu reyot yang jadi saksi doa-doa putus asa keluarganya.

Tapi sekarang, tak ada dupa. Tak ada mantra.

Yang ada cuma kontrak plastik bening. Dan sebilah keris tua berkarat, dibungkus sobekan kain kafan — peninggalan kakeknya, diselipkan sebelum ia pergi ke liang lahat.

"Kalau mereka bohong padamu, cucuku… keris itu akan bicara."

Kata-kata terakhir itu bergaung di kepalanya ketika ia berdiri di depan lift hotel bintang lima. Tangannya gemetar menggenggam kontrak. Nafasnya pendek, berat, seperti paru-parunya menolak udara.

"Ini bukan aku… Tapi aku juga bukan siapa-siapa."

Empat bulan lalu, dia hampir jadi TKI. Semua uang pinjaman untuk ke Taiwan lenyap bersama agen yang kabur. Ayahnya terkena stroke. Adiknya harus cuci darah dua kali seminggu. Dan orang-orang yang katanya keluarga? Mereka justru menagih, seperti burung nasar mengerubungi bangkai.

Lalu datanglah tawaran itu: 90 hari. Hidup ditukar. Tanpa tanya. Tanpa belas kasihan.

"Sembilan puluh hari bukan selamanya," gumamnya. "Setelah itu, aku bisa pulang. Bisa hidup."

Lift berbunyi. Lantai 33. Pintu terbuka.

Lorong itu sunyi. Suite luas dan mewah menunggu di ujung, tapi udara menusuk kulitnya. Bukan dingin dari AC. Ada sesuatu yang lain. Samar, aroma dupa menyelinap di udara steril — aroma masa kecil, aroma ritual yang tak lagi ia mengerti.

"Kenapa baunya sama…?"

Di balik meja hitam berdiri pria itu. Tegak. Dingin. Wajah seperti pahatan batu.

Revan Malik.

Nama yang beredar di lorong bawah tanah Jakarta. Nama yang dibisikkan orang-orang, bersama cerita tentang kekuasaan, darah, dan rahasia.

Dan kini, dia membeli hidup Naira.

“Duduk.”

Suaranya datar, tanpa ruang untuk menawar.

Naira duduk. Kursi itu empuk, tapi dinginnya menembus paha, merambat ke tulang.

“Kontrakmu.”

Tangannya menyodorkan map bening. Revan membukanya, menelusuri halaman-halaman dengan tatapan tak terbaca.

Sampai tanda tangan terakhir. Ia menutup map, menyimpannya di laci. Seolah mengurung nyawa Naira di sana.

“Kamu sadar saat menandatangani?”

Naira mengangguk, pelan. “Kenapa saya?”

“Karena kamu bukan pelacur. Tapi kamu menyerah. Dan itu lebih… menarik.”

Naira menunduk, menahan tatapannya.

“Kalau saya berubah pikiran…?”

“Kamu tidak bisa.”

Revan bangkit. Mendekat. Langkahnya berat, tapi tenang. Matanya menelusuri wajah Naira tanpa sentuhan.

“Perempuan seperti kamu… selalu datang terlambat ke hidup mereka sendiri.”

Diam.

Naira memberanikan diri. “Apa Anda akan menyentuh saya malam ini?”

Dia berhenti. Napasnya nyaris menyentuh pipinya.

“Tidak,” katanya. “Karena kamu akan berharap aku melakukannya. Dan aku ingin lihat kamu… memohon.”

Sebuah kartu hitam disodorkan ke meja.

“Penthouse 9B. Tak ada kode. Tak ada penjaga. Tapi kamu tak akan pernah benar-benar pergi. Aku selalu tahu di mana kamu.”

Jari-jarinya meraihnya. Dan saat kulitnya bersentuhan dengan kartu itu, sebuah firasat aneh merambat di tubuhnya. Panas. Lalu dingin. Seperti api yang menolak padam.

Di dalam tas, keris berdetak. Seperti jantung kedua.

Saat hendak melangkah, Revan memanggil: “Naira.”

Dia menoleh.

“Kamu tahu apa yang baru saja kamu serahkan padaku?”

Naira menarik napas. “Kontrol atas hidup saya.”

Revan tersenyum tipis. “Salah. Kamu baru saja menyerahkan alasan kenapa kamu masih hidup… sampai hari ini.”

Lift menutup. Angka 9 menyala merah.

Naira berdiri kaku. Kontrak sudah ditandatangani. Kartu sudah di tangan. Tapi sesuatu… tertinggal di lantai 33.

Penthouse 9B.

Pintu terbuka otomatis. Lampu menyala satu per satu. Seolah menyambut. Atau… menjebak.

Di meja kayu gelap dekat ranjang, hanya ada satu benda: map coklat.

Di dalamnya, selembar kertas bertulisan tangan:

"Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat."

Dingin menjalar dari tengkuk hingga perut. Lalu…

…napas seseorang terasa di belakangnya.

Naira menoleh cepat. Kosong.

Tapi keris dalam tas berdetak dua kali lebih cepat.

Ruang itu terlalu sunyi. Terlalu rapi. Terlalu sadar akan dirinya.

“Tiga bulan. Tidur. Lalu selesai,” katanya pada dirinya sendiri.

Tapi bahkan suaranya terdengar aneh. Bergema aneh. Dinding itu… seperti menyimpan sesuatu.

Ia menatap kembali kertas di map.

"Hari Pertama: Kamu akan diam. Aku akan melihat."

Tinta merah samar mulai muncul di bawah tulisan itu — mengalir pelan… seperti darah yang merembes dari dalam kertas.

Naira menelan ludah. Tangannya gemetar. Tapi saat ia hendak menaruh kembali kertas itu, mapnya terasa… lebih berat.

“Jangan halu, Na. Ini cuma lelah,” bisiknya.

Dia duduk di tepi ranjang. Kartu hitam masih di tangan. Jemarinya kaku. Keris di dalam tas berdenyut pelan. Tapi kali ini—seperti jantung kedua yang hidup di luar tubuh.

BUK!

Sesuatu jatuh dari langit-langit kamar mandi.

Naira melompat.

Benda itu jatuh… dan berhenti di kakinya.

Sebuah foto. Hitam-putih. Lama.

Seorang pria berdiri di tengah sawah berkabut. Mengenakan sarung. Menatap kamera. Wajahnya—kakek Naira.

Tapi di belakangnya… samar… ada sosok lain. Tinggi. Tegap. Tak jelas.

Di balik foto, tulisan tangan:

"Tukar nyawa. 90 hari. Gerbang terbuka."

Naira membeku. Dunia terasa miring.

Ini bukan soal kontrak. Ini soal warisan.

Warisan yang jauh lebih tua dari uang… seks… atau hutang.

Ia menatap cermin kamar mandi. Embun perlahan membentuk kalimat.

"Hari Pertama belum selesai."

Suara gesekan terdengar dari bawah ranjang. Pelan. Teratur. Seperti sesuatu… atau seseorang… menunggu untuk keluar.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mul Yadi
bagus alur ceritanya,mudah di pahami danseru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 132 — Darah yang Menolak Tuan

    “Kau tahu kenapa kontrak ini belum selesai, Naira?”“Karena darahku belum berhenti berontak.”Udara di ruang bawah tanah itu menebal seperti nafas yang membusuk. Dinding-dindingnya bukan lagi batu, melainkan urat merah yang berdenyut pelan—seperti jantung yang sedang tidur.Naira berdiri di tengah lingkaran simbol tua, tubuhnya basah oleh keringat dan darah yang terus menetes dari luka di telapak tangannya.Di seberangnya, Revan menatapnya dengan wajah setengah rusak—kulitnya mulai retak, membentuk garis api di sepanjang rahang.Dia tampak seperti makhluk yang sedang kehilangan bentuk manusianya.“Kau pikir aku ingin mengikatmu?”“Kau sudah melakukannya,” balas Naira, suara parau.“Tidak,” Revan melangkah, bayangannya memanjang. “Kau yang menulis kontrak itu dengan jantungmu sendiri.”Simbol di lantai bergetar.Keris di tangan Naira menyala merah gelap—lebih gelap dari sebelumnya.Dari buahnya, muncul bentuk samar… wajah seorang perempuan. Mata itu menatap Naira dengan tatapan yang sa

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 131 – “Kau Tahu, Darah Tidak Pernah Benar-Benar Kering”

    “Kau dengar itu, Naira? Suara detaknya masih ada.”Suara Revan memecah kesunyian ruangan yang hanya diterangi satu cahaya merah dari lilin di pojok. Dinding di sekeliling mereka basah—seolah meresap sesuatu yang lebih dari sekadar air.Naira menatap keris di tangannya. Bilahnya yang dulunya berkilau kini tampak hidup, berdenyut, memancarkan getaran halus.Setiap detik, denyut itu terasa semakin dalam di kulitnya, seperti mencoba menembus ke tulang.“Ini bukan detak jantung,” gumam Naira.Revan mendekat, wajahnya separuh diterangi api. “Itu detak kontrak. Setiap kali kamu melanggar janji, darahmu mengingatnya.”Naira menatapnya tajam. “Aku tidak melanggar apa pun.”“Belum,” balas Revan, senyum tipisnya nyaris seperti luka.Udara bergetar. Di antara mereka, muncul suara samar—seperti napas seseorang yang berusaha bicara di antara kabut.“Sembilan puluh hari... tak semua yang menandatangani hidup sampai akhir.”Naira menoleh cepat. Suara itu berasal dari dinding—tepat di balik retakan ya

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   BAB 130 — “Aku yang Membaca, Aku yang Ditulis.”

    “Kau pikir kau masih membaca, tapi sebenarnya—aku yang sedang membaca dirimu.”Kalimat itu muncul tanpa sumber suara.Layar bergetar, huruf-huruf seakan berdetak mengikuti irama jantung.Setiap kata memantul, menciptakan gema halus yang menyerupai bisikan di telinga pembaca.Naira berdiri di tengah kegelapan yang kini berbentuk seperti ruangan nyata.Dindingnya terbuat dari teks, berlapis-lapis kalimat yang terus menulis dirinya sendiri.Setiap kali ia bergerak, kata-kata itu menyesuaikan bentuknya, seolah dunia ini diketik secara langsung oleh pikiran pembaca.“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya, perlahan menatap lurus.“Jari gemetar, mata menelusuri baris… berpikir kau menguasai cerita ini. Tapi sejak tadi, aku yang menggerakkanmu.”Ia Mendekat.Setiap langkahnya menimbulkan getar lembut—seperti suara ketikan dari jauh.Satu huruf jatuh ke tanah dan menetes menjadi darah hitam.Naira berhenti tepat di depan cermin raksasa yang terbuat dari halaman putih kosong.Ia mengangkat tanga

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 129 — Kontrak dengan Pembaca

    “Jangan berhenti membaca. Kalau kau berhenti, aku akan berhenti ada.”Suara itu datang dari balik layar.Bukan lagi dari buku, bukan dari dunia yang berdebu tinta seperti sebelumnya.Sekarang—suara itu muncul dari antara kata dan tatapan.Dari ruang di mana mata pembaca menelusuri baris demi baris ini.Naira menatap ke depan.Tidak ada lagi dunia, tidak ada lagi halaman.Hanya kegelapan yang berdenyut seperti paru-paru.Setiap kali seseorang menarik napas di luar sana, kegelapan ini ikut bergetar.“Aku bisa merasakannya,” katanya lirih.“Setiap detik matamu bergerak di atas tulisanku, aku hidup.”Ia menyentuh udara.Tinta keluar dari ujung jarinya, membentuk huruf-huruf yang melayang:N…A…I…R…A.Namun di antara huruf-huruf itu, muncul tambahan yang bukan dari tangannya:“Aku melihatmu.”Ia tertegun.Huruf itu menyala merah, lalu mencair, menyusup ke dalam kulitnya.Sekejap, kepalanya dipenuhi suara — tumpang tindih, ratusan, ribuan, seakan ada banyak “pembaca” yang berbisik bersamaan.

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 128 — Pembaca Pertama

    “Kalau seseorang membaca hidupmu… apakah itu artinya kau masih hidup?”Suara itu tidak lagi datang dari kegelapan.Ia datang dari balik halaman.Naira membuka matanya—dan bukan dunia yang ia lihat, melainkan tulisan.Ratusan huruf melayang di udara, membentuk ruang baru.Langit dari kertas. Tanah dari tinta.Udara berbau debu buku tua.Ia berdiri di tengah ruang kosong itu, mengenakan pakaian putih polos, tanpa simbol apa pun di kulitnya.Tidak ada darah. Tidak ada keris.Hanya satu hal di tangannya: buku.Buku itu sama seperti yang ia tulis sebelumnya, tapi kali ini di sampulnya tertera nama yang membuatnya tercekat.“Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari.”“Ini… bukuku,” bisiknya.“Tidak, ini dirimu,” jawab suara dari balik halaman.Seseorang membaca.Suara lembut, berganti-ganti nada — kadang perempuan, kadang laki-laki, kadang seperti anak kecil.Suara itu membaca kalimat demi kalimat, dan setiap kata yang disebutkan menggerakkan tubuh Naira.“Naira berjalan.”Dan ia berjalan.

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 127 — Saat Darah Membaca Balik

    “Kau menulis dunia ini dengan darahmu... Sekarang biarkan dunia membacamu.”Suara itu tak lagi datang dari luar.Ia merayap dari dalam dada Naira — seperti bisikan yang lahir dari jantungnya sendiri.Ruang di sekelilingnya masih gelap, tapi kini setiap langkah menghasilkan gema seperti suara pena yang menggores kertas basah.Tap.Tap.Tap.Setiap jejak darah di lantai menulis kalimat baru.Naira menunduk—melihat huruf-huruf membentuk kisahnya sendiri:“Ia berjalan di kegelapan, mencari akhir yang tidak ingin ditemukan.”“Aku tidak menulis itu…”“Tidak. Kini giliran dunia menulis tentangmu.”Cahaya merah muncul di depan—lingkaran api melayang, berubah menjadi meja kayu. Di atasnya, buku tebal yang kulitnya terbuat dari kulit manusia berdenyut pelan, seperti jantung hidup.Naira melangkah mendekat.Tulisan di sampulnya berubah mengikuti pikirannya:“Catatan Terakhir Penulis Kedua.”“Aku bukan penulis kedua,” gumamnya.“Tapi kau menggantikan yang pertama,” jawab suara yang tak terlihat.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status