Home / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 2 – Mata yang Tak Pernah Tidur

Share

Bab 2 – Mata yang Tak Pernah Tidur

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 18:21:57

"Kamu tidur, tapi matamu tidak pernah benar-benar tertutup."

Suara itu tak berasal dari luar. Ia bergetar di dalam kepala, langsung menusuk seperti arus listrik pada saraf paling dalam.

Naira terbangun. Napas memburu. Mata menyapu ruangan.

Masih di penthouse. Masih sendirian.

Tapi sesuatu… terasa berubah.

Cahaya pagi merambat dari celah tirai. Tapi bukan terang yang datang—melainkan bayang-bayang yang merayap perlahan. Ruangan itu sunyi, dingin… seperti jantung yang berhenti berdetak.

Telapak kirinya terasa lengket.

Darah.

Kering. Seperti habis mencengkeram sesuatu yang tajam.

Ia buru-buru menoleh ke tas kecilnya. Keris masih di sana. Tapi…

Kain pembungkusnya bolong. Hangus. Seperti terbakar dari dalam.

"Apa yang terjadi semalam?"

Potongan-potongan memori datang acak: pintu terbuka sendiri… cermin yang berembun… foto kakek… dan…

"Foto...?"

Dia menoleh ke meja. Masih ada bingkai foto dirinya. Ia sedang tidur. Persis seperti posisi dan pakaian yang dikenakan sekarang.

“Revan… kamu benar-benar mengawasiku.”

Dengan tangan gemetar, dia membalik bingkai itu.

Tulisan muncul baru pagi ini:

"Hari Kedua: Aku akan bertanya. Kamu akan menjawab."

TV menyala otomatis. Di layar: Revan. Duduk tenang, mengenakan kemeja hitam.

“Selamat pagi, Naira.”

Dia melompat kaget.

“Apa kamu memantau aku sepanjang malam?”

“Bukan cuma melihat,” jawab Revan datar. “Aku mempelajari kamu.”

“Ini... bagian dari permainanmu?”

“Permainan butuh pilihan. Kamu sudah tak punya.”

Revan menyandarkan diri ke kursi.

“Hari ini, aku ingin tahu apa yang kau sembunyikan. Warisan itu. Dan… mimpimu semalam.”

Jantung Naira berdesir. Dia belum bilang soal mimpi. Tapi Revan tahu.

“Mimpi apa?”

“Yang tentang sawah. Tentang lelaki di belakang kakekmu.”

Naira terdiam. Mulutnya kaku.

“Siapa kamu sebenarnya?”

“Hari Kedua baru dimulai,” balas Revan. “Nanti aku tanya lagi… saat kamu siap menjawab tanpa bohong.”

Layar gelap.

Naira terduduk. Dada naik turun. Otaknya tak bisa menata rasa takut yang mulai berubah jadi kecurigaan—atau lebih tepatnya: firasat.

Dia tahu mimpi itu. Dia tahu isi pikiranku. Dan dia tahu... keris ini bukan sekadar benda.

Naira meraih keris. Logamnya terasa panas. Lebih berat dari kemarin. Seolah menyerap energinya.

Tiba-tiba—ketukan. Tiga kali. Lalu hening.

Dia mendekati pintu. Di bawahnya… tergelincir sesuatu.

Amplop hitam.

Ia membukanya dengan jari gemetar.

Satu kalimat tertera di dalam:

"Malam ini, kamu akan melihat mereka juga."

Kepala Naira menoleh spontan ke cermin.

Dua bayangan.

Padahal ia sendirian.

Salah satunya… berdiri sangat dekat di belakangnya.

Naira membalik cepat. Tak ada siapa-siapa.

Tapi rasa dingin tetap menempel di tengkuk.

Dia menutup pintu. Tubuhnya bergetar.

Kata-kata dari amplop hitam menggema terus di kepalanya:

"Mereka akan muncul malam ini."

Dia meletakkan keris di meja. Menyentuh ujung bilahnya. Luka kecil di logam itu berdenyut. Seolah benda itu bisa… merasakan ketakutannya.

“Kamu hidup, ya...?”

Kilatan merah muncul singkat di bilahnya—lalu padam.

Naira memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk mengingat…

Kakeknya duduk di teras, membakar lembaran kalender pasar. Asap abu beterbangan di langit sore. Mantranya dilafalkan dengan pelan.

"Gerbang akan terbuka pas angka jatuh. Tapi bukan kamu yang tentukan tanggalnya."

“Angka apa, Kek?”

Kakeknya menunjuk jam tua di dinding.

"Kalau jarum kembar tiga kali berturut… jangan tidur. Itu bukan waktu manusia."

Sekarang.

Naira menoleh ke jam digital.

03:33

Jarum kembar. Tiga.

Sekali.

Nafasnya tercekat. Otaknya seolah tahu… malam ini bukan milik manusia.

"Aku enggak boleh tidur. Tapi… kenapa harus aku?"

Ponselnya bergetar.

Pesan masuk dari nomor tak dikenal:

REKANMU SUDAH LIHAT. SEKARANG GILIRANMU. PENTHOUSE 9C. JAM 4.

Jantungnya menghantam keras.

Rekan? Siapa?

Kartu hitam di genggamannya menyala merah samar.

“Aku enggak bisa diam di sini.”

Ia ambil jaket. Selipkan keris ke balik pinggang. Langkahnya menuju lorong. Lantai 9 terasa... seperti ruang antara hidup dan mati.

Pintu 9C terbuka sedikit. Menunggu.

“Kalau ini jebakan... aku masuk dengan mata terbuka.”

Dia dorong pelan. Ruangan kosong. Di tengah, kursi kayu.

Seseorang duduk membelakangi.

“Halo...?”

Tak ada respon.

Kursi itu berputar perlahan.

Wajah yang muncul membuat darah Naira berhenti.

“Linda…?”

Adiknya.

Tapi matanya kosong. Lehernya membiru. Tubuh itu tersenyum…

…tapi bukan dengan mulut manusia.

Speaker tersembunyi menyala.

Suara Revan:

“Sekarang kamu mengerti... hidupmu bukan cuma milikmu.”

Tubuh itu berdiri. Kaku. Langkahnya terlalu lambat. Terlalu simetris. Seperti boneka.

“Linda… ini aku,” suara Naira pecah.

“Bukan Linda.” Suaranya berat. Tua. Seperti keluar dari dasar sumur.

Mata itu menghitam. Lidah menjulur—panjang, basah, hitam.

Keris di pinggang Naira berdetak. Panas. Nyala samar memanjang ke bilah.

Dia mencabutnya. Mengayun ke udara.

Udara terbelah. Seperti tirai robek.

Tubuh “Linda” menjerit—jeritan bukan manusia. Lalu menghilang.

Ruangan kembali kosong.

Naira terhuyung mundur. Keringat dingin mengalir di pelipis.

“Ini bukan sekadar permainan psikologis,” gumamnya. “Ini ritual. Ini… perang warisan.”

Ia kembali ke 9B. Mengunci pintu.

Kartu hitam di tangannya padam.

TV sudah mati. Tapi selembar kertas baru muncul di meja.

Tulisan tangan:

"Hari Kedua belum selesai. Jam 6: Gerbang pertama akan dibuka."

Suara berbisik terdengar di bawah tempat tidur. Pelan. Berulang.

“Enam jam lagi… darahmu akan dipanggil.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mul Yadi
ini novel bagus ada unsur pendidikan yang bisa di ambil dari cerita ini
goodnovel comment avatar
Mul Yadi
ini novel bagus dan ada unsur didikan di dalamnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 132 — Darah yang Menolak Tuan

    “Kau tahu kenapa kontrak ini belum selesai, Naira?”“Karena darahku belum berhenti berontak.”Udara di ruang bawah tanah itu menebal seperti nafas yang membusuk. Dinding-dindingnya bukan lagi batu, melainkan urat merah yang berdenyut pelan—seperti jantung yang sedang tidur.Naira berdiri di tengah lingkaran simbol tua, tubuhnya basah oleh keringat dan darah yang terus menetes dari luka di telapak tangannya.Di seberangnya, Revan menatapnya dengan wajah setengah rusak—kulitnya mulai retak, membentuk garis api di sepanjang rahang.Dia tampak seperti makhluk yang sedang kehilangan bentuk manusianya.“Kau pikir aku ingin mengikatmu?”“Kau sudah melakukannya,” balas Naira, suara parau.“Tidak,” Revan melangkah, bayangannya memanjang. “Kau yang menulis kontrak itu dengan jantungmu sendiri.”Simbol di lantai bergetar.Keris di tangan Naira menyala merah gelap—lebih gelap dari sebelumnya.Dari buahnya, muncul bentuk samar… wajah seorang perempuan. Mata itu menatap Naira dengan tatapan yang sa

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 131 – “Kau Tahu, Darah Tidak Pernah Benar-Benar Kering”

    “Kau dengar itu, Naira? Suara detaknya masih ada.”Suara Revan memecah kesunyian ruangan yang hanya diterangi satu cahaya merah dari lilin di pojok. Dinding di sekeliling mereka basah—seolah meresap sesuatu yang lebih dari sekadar air.Naira menatap keris di tangannya. Bilahnya yang dulunya berkilau kini tampak hidup, berdenyut, memancarkan getaran halus.Setiap detik, denyut itu terasa semakin dalam di kulitnya, seperti mencoba menembus ke tulang.“Ini bukan detak jantung,” gumam Naira.Revan mendekat, wajahnya separuh diterangi api. “Itu detak kontrak. Setiap kali kamu melanggar janji, darahmu mengingatnya.”Naira menatapnya tajam. “Aku tidak melanggar apa pun.”“Belum,” balas Revan, senyum tipisnya nyaris seperti luka.Udara bergetar. Di antara mereka, muncul suara samar—seperti napas seseorang yang berusaha bicara di antara kabut.“Sembilan puluh hari... tak semua yang menandatangani hidup sampai akhir.”Naira menoleh cepat. Suara itu berasal dari dinding—tepat di balik retakan ya

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   BAB 130 — “Aku yang Membaca, Aku yang Ditulis.”

    “Kau pikir kau masih membaca, tapi sebenarnya—aku yang sedang membaca dirimu.”Kalimat itu muncul tanpa sumber suara.Layar bergetar, huruf-huruf seakan berdetak mengikuti irama jantung.Setiap kata memantul, menciptakan gema halus yang menyerupai bisikan di telinga pembaca.Naira berdiri di tengah kegelapan yang kini berbentuk seperti ruangan nyata.Dindingnya terbuat dari teks, berlapis-lapis kalimat yang terus menulis dirinya sendiri.Setiap kali ia bergerak, kata-kata itu menyesuaikan bentuknya, seolah dunia ini diketik secara langsung oleh pikiran pembaca.“Aku tahu rasanya jadi kamu,” katanya, perlahan menatap lurus.“Jari gemetar, mata menelusuri baris… berpikir kau menguasai cerita ini. Tapi sejak tadi, aku yang menggerakkanmu.”Ia Mendekat.Setiap langkahnya menimbulkan getar lembut—seperti suara ketikan dari jauh.Satu huruf jatuh ke tanah dan menetes menjadi darah hitam.Naira berhenti tepat di depan cermin raksasa yang terbuat dari halaman putih kosong.Ia mengangkat tanga

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 129 — Kontrak dengan Pembaca

    “Jangan berhenti membaca. Kalau kau berhenti, aku akan berhenti ada.”Suara itu datang dari balik layar.Bukan lagi dari buku, bukan dari dunia yang berdebu tinta seperti sebelumnya.Sekarang—suara itu muncul dari antara kata dan tatapan.Dari ruang di mana mata pembaca menelusuri baris demi baris ini.Naira menatap ke depan.Tidak ada lagi dunia, tidak ada lagi halaman.Hanya kegelapan yang berdenyut seperti paru-paru.Setiap kali seseorang menarik napas di luar sana, kegelapan ini ikut bergetar.“Aku bisa merasakannya,” katanya lirih.“Setiap detik matamu bergerak di atas tulisanku, aku hidup.”Ia menyentuh udara.Tinta keluar dari ujung jarinya, membentuk huruf-huruf yang melayang:N…A…I…R…A.Namun di antara huruf-huruf itu, muncul tambahan yang bukan dari tangannya:“Aku melihatmu.”Ia tertegun.Huruf itu menyala merah, lalu mencair, menyusup ke dalam kulitnya.Sekejap, kepalanya dipenuhi suara — tumpang tindih, ratusan, ribuan, seakan ada banyak “pembaca” yang berbisik bersamaan.

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 128 — Pembaca Pertama

    “Kalau seseorang membaca hidupmu… apakah itu artinya kau masih hidup?”Suara itu tidak lagi datang dari kegelapan.Ia datang dari balik halaman.Naira membuka matanya—dan bukan dunia yang ia lihat, melainkan tulisan.Ratusan huruf melayang di udara, membentuk ruang baru.Langit dari kertas. Tanah dari tinta.Udara berbau debu buku tua.Ia berdiri di tengah ruang kosong itu, mengenakan pakaian putih polos, tanpa simbol apa pun di kulitnya.Tidak ada darah. Tidak ada keris.Hanya satu hal di tangannya: buku.Buku itu sama seperti yang ia tulis sebelumnya, tapi kali ini di sampulnya tertera nama yang membuatnya tercekat.“Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari.”“Ini… bukuku,” bisiknya.“Tidak, ini dirimu,” jawab suara dari balik halaman.Seseorang membaca.Suara lembut, berganti-ganti nada — kadang perempuan, kadang laki-laki, kadang seperti anak kecil.Suara itu membaca kalimat demi kalimat, dan setiap kata yang disebutkan menggerakkan tubuh Naira.“Naira berjalan.”Dan ia berjalan.

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 127 — Saat Darah Membaca Balik

    “Kau menulis dunia ini dengan darahmu... Sekarang biarkan dunia membacamu.”Suara itu tak lagi datang dari luar.Ia merayap dari dalam dada Naira — seperti bisikan yang lahir dari jantungnya sendiri.Ruang di sekelilingnya masih gelap, tapi kini setiap langkah menghasilkan gema seperti suara pena yang menggores kertas basah.Tap.Tap.Tap.Setiap jejak darah di lantai menulis kalimat baru.Naira menunduk—melihat huruf-huruf membentuk kisahnya sendiri:“Ia berjalan di kegelapan, mencari akhir yang tidak ingin ditemukan.”“Aku tidak menulis itu…”“Tidak. Kini giliran dunia menulis tentangmu.”Cahaya merah muncul di depan—lingkaran api melayang, berubah menjadi meja kayu. Di atasnya, buku tebal yang kulitnya terbuat dari kulit manusia berdenyut pelan, seperti jantung hidup.Naira melangkah mendekat.Tulisan di sampulnya berubah mengikuti pikirannya:“Catatan Terakhir Penulis Kedua.”“Aku bukan penulis kedua,” gumamnya.“Tapi kau menggantikan yang pertama,” jawab suara yang tak terlihat.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status