"Kamu tidur, tapi matamu tidak pernah benar-benar tertutup."
Suara itu tak berasal dari luar. Ia bergetar di dalam kepala, langsung menusuk seperti arus listrik pada saraf paling dalam. Naira terbangun. Napas memburu. Mata menyapu ruangan. Masih di penthouse. Masih sendirian. Tapi sesuatu… terasa berubah. Cahaya pagi merambat dari celah tirai. Tapi bukan terang yang datang—melainkan bayang-bayang yang merayap perlahan. Ruangan itu sunyi, dingin… seperti jantung yang berhenti berdetak. Telapak kirinya terasa lengket. Darah. Kering. Seperti habis mencengkeram sesuatu yang tajam. Ia buru-buru menoleh ke tas kecilnya. Keris masih di sana. Tapi… Kain pembungkusnya bolong. Hangus. Seperti terbakar dari dalam. "Apa yang terjadi semalam?" Potongan-potongan memori datang acak: pintu terbuka sendiri… cermin yang berembun… foto kakek… dan… "Foto...?" Dia menoleh ke meja. Masih ada bingkai foto dirinya. Ia sedang tidur. Persis seperti posisi dan pakaian yang dikenakan sekarang. “Revan… kamu benar-benar mengawasiku.” Dengan tangan gemetar, dia membalik bingkai itu. Tulisan muncul baru pagi ini: "Hari Kedua: Aku akan bertanya. Kamu akan menjawab." TV menyala otomatis. Di layar: Revan. Duduk tenang, mengenakan kemeja hitam. “Selamat pagi, Naira.” Dia melompat kaget. “Apa kamu memantau aku sepanjang malam?” “Bukan cuma melihat,” jawab Revan datar. “Aku mempelajari kamu.” “Ini... bagian dari permainanmu?” “Permainan butuh pilihan. Kamu sudah tak punya.” Revan menyandarkan diri ke kursi. “Hari ini, aku ingin tahu apa yang kau sembunyikan. Warisan itu. Dan… mimpimu semalam.” Jantung Naira berdesir. Dia belum bilang soal mimpi. Tapi Revan tahu. “Mimpi apa?” “Yang tentang sawah. Tentang lelaki di belakang kakekmu.” Naira terdiam. Mulutnya kaku. “Siapa kamu sebenarnya?” “Hari Kedua baru dimulai,” balas Revan. “Nanti aku tanya lagi… saat kamu siap menjawab tanpa bohong.” Layar gelap. Naira terduduk. Dada naik turun. Otaknya tak bisa menata rasa takut yang mulai berubah jadi kecurigaan—atau lebih tepatnya: firasat. Dia tahu mimpi itu. Dia tahu isi pikiranku. Dan dia tahu... keris ini bukan sekadar benda. Naira meraih keris. Logamnya terasa panas. Lebih berat dari kemarin. Seolah menyerap energinya. Tiba-tiba—ketukan. Tiga kali. Lalu hening. Dia mendekati pintu. Di bawahnya… tergelincir sesuatu. Amplop hitam. Ia membukanya dengan jari gemetar. Satu kalimat tertera di dalam: "Malam ini, kamu akan melihat mereka juga." Kepala Naira menoleh spontan ke cermin. Dua bayangan. Padahal ia sendirian. Salah satunya… berdiri sangat dekat di belakangnya. Naira membalik cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi rasa dingin tetap menempel di tengkuk. Dia menutup pintu. Tubuhnya bergetar. Kata-kata dari amplop hitam menggema terus di kepalanya: "Mereka akan muncul malam ini." Dia meletakkan keris di meja. Menyentuh ujung bilahnya. Luka kecil di logam itu berdenyut. Seolah benda itu bisa… merasakan ketakutannya. “Kamu hidup, ya...?” Kilatan merah muncul singkat di bilahnya—lalu padam. Naira memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk mengingat… Kakeknya duduk di teras, membakar lembaran kalender pasar. Asap abu beterbangan di langit sore. Mantranya dilafalkan dengan pelan. "Gerbang akan terbuka pas angka jatuh. Tapi bukan kamu yang tentukan tanggalnya." “Angka apa, Kek?” Kakeknya menunjuk jam tua di dinding. "Kalau jarum kembar tiga kali berturut… jangan tidur. Itu bukan waktu manusia." Sekarang. Naira menoleh ke jam digital. 03:33 Jarum kembar. Tiga. Sekali. Nafasnya tercekat. Otaknya seolah tahu… malam ini bukan milik manusia. "Aku enggak boleh tidur. Tapi… kenapa harus aku?" Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal: REKANMU SUDAH LIHAT. SEKARANG GILIRANMU. PENTHOUSE 9C. JAM 4. Jantungnya menghantam keras. Rekan? Siapa? Kartu hitam di genggamannya menyala merah samar. “Aku enggak bisa diam di sini.” Ia ambil jaket. Selipkan keris ke balik pinggang. Langkahnya menuju lorong. Lantai 9 terasa... seperti ruang antara hidup dan mati. Pintu 9C terbuka sedikit. Menunggu. “Kalau ini jebakan... aku masuk dengan mata terbuka.” Dia dorong pelan. Ruangan kosong. Di tengah, kursi kayu. Seseorang duduk membelakangi. “Halo...?” Tak ada respon. Kursi itu berputar perlahan. Wajah yang muncul membuat darah Naira berhenti. “Linda…?” Adiknya. Tapi matanya kosong. Lehernya membiru. Tubuh itu tersenyum… …tapi bukan dengan mulut manusia. Speaker tersembunyi menyala. Suara Revan: “Sekarang kamu mengerti... hidupmu bukan cuma milikmu.” Tubuh itu berdiri. Kaku. Langkahnya terlalu lambat. Terlalu simetris. Seperti boneka. “Linda… ini aku,” suara Naira pecah. “Bukan Linda.” Suaranya berat. Tua. Seperti keluar dari dasar sumur. Mata itu menghitam. Lidah menjulur—panjang, basah, hitam. Keris di pinggang Naira berdetak. Panas. Nyala samar memanjang ke bilah. Dia mencabutnya. Mengayun ke udara. Udara terbelah. Seperti tirai robek. Tubuh “Linda” menjerit—jeritan bukan manusia. Lalu menghilang. Ruangan kembali kosong. Naira terhuyung mundur. Keringat dingin mengalir di pelipis. “Ini bukan sekadar permainan psikologis,” gumamnya. “Ini ritual. Ini… perang warisan.” Ia kembali ke 9B. Mengunci pintu. Kartu hitam di tangannya padam. TV sudah mati. Tapi selembar kertas baru muncul di meja. Tulisan tangan: "Hari Kedua belum selesai. Jam 6: Gerbang pertama akan dibuka." Suara berbisik terdengar di bawah tempat tidur. Pelan. Berulang. “Enam jam lagi… darahmu akan dipanggil.”" Cermin tidak sekadar memantulkan. Cermin memperlihatkan siapa yang menunggumu di baliknya." Naira terbangun dengan kepala berat. Pagi itu aneh. Jakarta masih ada di luar jendela, tapi langitnya seperti terbuat dari abu. Ia duduk di lantai, punggung menempel dinding, merasakan nadi di leher berdetak terlalu cepat. Ia menoleh ke cermin besar di sisi ranjang. Dadanya langsung mengencang. Di sana, berdiri sosok-sosok gelap. Awalnya kabur, tapi perlahan membentuk siluet tubuh manusia. Ada tujuh bayangan. Mata mereka tak punya bola mata—hanya lubang hitam. Dan salah satunya… mulai mendekat ke permukaan kaca. Wajahnya muncul samar. Kirana. Sahabatnya. Tapi bukan Kirana yang ia kenal. Wajah itu rata, bibirnya menyatu, dan suara yang keluar bukan suara manusia: “Enam lagi… lepaskan kami… atau kami lepaskanmu.” Naira terhuyung mundur, lututnya terbentur meja. “Pergi… ini nggak nyata… kalian bukan dia!” Ibunya muncul dari pintu kamar mandi, wajahnya pucat. “Mereka tidak perg
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. Naira membuka mata perlahan. Cahaya samar dari lampu darurat membuat penthouse terlihat seperti bangkai kapal yang
"Nama membuka pintu. Tapi darah yang membuatnya tetap terbuka." Pagi itu tidak terasa seperti pagi. Matahari memang muncul, tapi sinarnya tak masuk ke penthouse. Tirai berkibar pelan meski jendela tertutup rapat. Udara dingin seperti dari ruang bawah tanah. Naira duduk di lantai, memeluk lutut. Matanya merah. Semalam ia tidak tidur—bukan karena tidak bisa, tapi karena takut jika ia memejamkan mata, tangan-tangan dari cermin akan menjemputnya. Ibunya berdiri di dekat balkon, memandangi kota Jakarta yang kini tampak abu-abu. “Sudah dimulai, Na. Kamu sudah bukan manusia biasa. Kamu… pintu yang berjalan.” Naira menatap keris di tangannya. “Aku tidak mau jadi pintu. Aku cuma mau semuanya selesai.” “Terlambat.” TV menyala sendiri. Revan muncul. Duduk di kursi, berbalut jas hitam seperti siap menghadiri pemakaman. Senyumnya tipis, tapi matanya—tajam seperti pisau. “Kau kira memilih nama cukup, Naira?” “Aku sudah beri mereka apa yang mereka mau. Mereka puas.” “Untuk semalam.” Revan
"Setiap pintu yang dibuka… akan menagih darah. Bahkan kalau itu pintumu sendiri." Gedoran di pintu tak berhenti. DUK! DUK! DUK! Setiap hentakan membuat lantai bergetar. Asap hitam merembes dari celah, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Naira mundur. Keris di tangannya semakin berat, seperti menolak dipegang. “Apa yang mereka mau?” Ibunya menatapnya, mata kosong. “Harga.” “Untuk apa? Aku sudah melakukan yang kau minta!” “Tidak cukup.” DUK! Suara itu makin dekat. Seolah pintu bukan sekat, hanya kulit tipis antara dunia mereka dan dunia Naira. TV menyala sendiri. Revan duduk di sana, gelap di belakangnya, hanya wajahnya terlihat. “Kau pikir memutus satu rantai selesai? Tidak, Naira. Kau sudah memberi mereka jalan. Sekarang mereka lapar.” “Siapa mereka?!” “Yang menunggu di balik pintu. Yang kakekmu jaga. Yang menagih setiap penjaga baru.” Lampu-lampu padam. Tinggal cahaya merah samar dari simbol di tangan Naira. Bisikan mengisi ruangan. Suara anak-anak, peremp
"Orang pertama yang kau maafkan… harusnya yang paling ingin kau lupakan."Kertas di lantai masih basah oleh darah dari tangan Naira. Kata-kata di atasnya menyala samar, seperti ditulis dari dalam kertas dengan tinta yang masih hidup:“Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan.”Naira duduk di pojok ranjang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti ada banyak mata mengawasinya, walau kamar itu terlihat kosong.Ibunya—atau sosok yang mengambil bentuk ibunya—duduk di kursi dekat jendela. Tatapannya teduh tapi hampa. “Kau tahu apa artinya itu, kan?”“Tidak,” suara Naira pecah.“Kau harus memutus satu rantai. Melepaskan satu nama yang mengikatmu. Dan memaafkannya… sepenuhnya.”Naira memandang tangannya. Simbol merah itu berdetak seperti nadi. “Kalau aku memaafkan mereka… apa yang terjadi?”“Kau kehilangan mereka dari hatimu. Untuk selamanya. Ikatan itu terputus. Dan luka itu berhenti berteriak.”“Tapi… kalau aku nggak mau?”Ibunya menunduk. “M
"Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi." Naira terbangun. Penthouse lenyap. Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit. Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati. Di sudut ruangan, duduklah Revan. Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak. Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?” Revan tak menjawab. Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.” Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.” “Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.” Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-poto