Share

Bab 6 – Luka Pertama

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 18:55:55

"Luka pertama bukan yang paling dalam. Tapi yang paling kamu tutupi."

Naira terbangun.

Penthouse lenyap.

Ia berdiri di rumah kayu tua. Aroma bambu basah dan tanah lapuk menusuk hidung. Dindingnya kusam, jendela berdebu, dan udara dingin merayap seperti tangan yang mencari kulit.

Tapi ada yang lebih mengganggu: semua warnanya kelabu, seperti dunia ini hanya bayangan yang gagal mati.

Di sudut ruangan, duduklah Revan.

Namun bukan Revan yang ia kenal. Wajahnya lebih muda, tatapannya tak setajam biasanya. Di pangkuannya, duduk Naira kecil—sekitar tujuh tahun—dengan pipi penuh bekas cakaran dan mata bengkak.

Naira tak bisa bergerak. “Apa… ini?”

Revan tak menjawab.

Naira kecil mengangkat wajah, menatapnya. “Kamu meninggalkan aku.”

Naira mundur setapak. “Aku… nggak pernah meninggalkan kamu.”

“Kamu berhenti dengar aku,” suara itu parau, tapi menusuk. “Kamu buang aku waktu pertama kali kamu disakiti.”

Tiba-tiba, dinding rumah berubah. Seperti layar film rusak, berganti potongan-potongan kejadian: ayahnya berteriak, ibunya menangis di dapur, suara benda pecah, lalu… kegelapan.

Gambar berhenti di satu momen: kakeknya memeluk Naira kecil, mengusap luka di tangan mungilnya.

"Luka ini harus kamu ingat," suara kakeknya menggema samar. "Karena kelak, dia jadi tamengmu."

Lalu dari kabut di lantai, muncul keris. Bersih. Tanpa noda.

“Ambil ini, kalau kamu mau mengingat,” kata Revan akhirnya, suaranya seperti datang dari balik air.

Naira menatapnya. “Kalau aku nggak mau?”

Revan mengangkat bahu. “Maka kamu akan hidup tanpa alasan. Dan gerbangmu akan dibuka dari luar.”

Langkah Naira berat. Tapi ia maju.

Naira kecil berdiri, menggenggam tangan dewasanya. “Kalau kamu mau kuat, jangan lari dari aku.”

Air mata jatuh tanpa sadar. “Tapi aku capek…”

“Kalau kamu benar capek, kamu nggak akan sampai di sini,” jawab gadis kecil itu. “Belum selesai. Baru mulai.”

Naira meraih keris.

Begitu jarinya menyentuh bilah dingin itu, rumah bergetar. Lantai retak. Dari celahnya keluar lembaran-lembaran tua: kertas mantra, foto lama ibunya, dan sebuah buku kecil.

Di sampulnya:

CATATAN PENJAGA KELIMA: NAIRA.

Tangannya gemetar membuka halaman pertama.

"Kalau kamu baca ini, itu artinya kakekmu sudah mati. Dan kamu sudah melihat wajah pertamamu."

Naira menatap jendela.

Refleksinya bukan dirinya—tapi wajah ibunya. Muda. Menangis.

“Kenapa… Mama?” suaranya pecah.

Ibunya berdiri di sudut ruangan. Diam. Tapi sorot matanya menjawab: aku pernah ada di posisi itu.

Naira membuka lembar demi lembar.

Lingkaran mantra. Simbol-simbol kuno. Catatan tentang “tumbal simpul”. Dan di pojok bawah, foto ibunya usia 17 tahun—berpakaian ritual, memegang keris yang sama.

“Jadi… ini warisan kita,” gumam Naira.

Keris di tangannya berdenyut. Bukan panas. Tapi hangat. Seperti ikut bernapas.

Revan mendekat. Wajahnya berubah: bagian kanannya hancur seperti kaca retak.

“Itu… bukan wajahmu,” kata Naira.

“Bukan,” jawab Revan. “Ini wajahku yang kamu bentuk. Karena kamu melihatku lewat lukamu.”

“Kenapa?”

“Karena setiap penjaga akan mempersonifikasikan ketakutannya. Dan kamu… takut ditinggalkan. Takut dikendalikan. Maka aku muncul sebagai pengendali.”

Naira berdiri tegak. “Tapi sekarang aku tahu… kamu cuma pantulan. Bukan penguasa.”

Revan tersenyum tipis. “Dan karena itu… kamu selangkah lebih dekat.”

Dia menunjuk halaman ke-33.

Sebuah simbol keris menusuk pohon.

Di bawahnya tertulis:

"Gerbang pertama terbuka bukan dari darah, tapi dari dendam."

Naira memejamkan mata. Ia tahu dendam mana yang dimaksud.

Kabut tebal menyelimuti rumah. Buku di tangannya meleleh, tapi tulisannya meresap ke kulitnya—membentuk simbol merah di punggung tangannya.

Saat kabut hilang, penthouse kembali.

Keris berdiri sendiri, menusuk lantai marmer.

Dan dari bawah pintu, tergelincir selembar kertas.

"Luka pertama diterima. Sekarang tentukan: siapa yang melukai—dan siapa yang harus disembuhkan."

Naira menatap cermin.

Untuk pertama kalinya, ia melihat wajahnya sendiri. Penuh luka, tapi nyata.

Dan ia menangis.

Naira berdiri kaku, menatap cermin. Matanya merah, wajahnya basah air mata. Tapi yang ia lihat di pantulan itu bukan hanya dirinya—ada bayangan samar di belakangnya.

“Siapa di sana?” suaranya parau.

Tidak ada jawaban.

Namun udara di penthouse berubah. Dingin. Berat.

Dari bawah pintu, asap hitam merayap masuk. Perlahan naik, memenuhi lantai seperti kabut rawa. Bau anyir menguar, menusuk hingga ke ulu hati.

Naira meraih keris. Bilahnya berdenyut cepat, seolah ikut merasakan ancaman.

Suara berbisik terdengar di sekitar: pelan, bercampur, sulit dimengerti. Tapi di antara desis itu, ada satu kalimat jelas:

“Kau sudah membuka satu. Enam lagi…”

Jantung Naira menghantam dadanya.

Enam lagi?

Ia menoleh ke tangannya. Simbol merah di punggungnya bercabang, membentuk angka samar: 6.

Pintu penthouse bergetar. Bukan karena angin—seperti ada sesuatu di luar yang menggedornya.

Naira mundur. “Apa… yang masuk bersamaku tadi?”

Suaranya sendiri terasa asing.

Tiba-tiba, TV menyala. Revan muncul, duduk di kursi gelap, wajahnya hanya setengah terlihat.

“Selamat datang di bagian paling jujur dari dirimu,” katanya.

“Apa yang terjadi?!” teriak Naira.

“Kau sudah menerima luka pertama. Tapi luka itu… rumah bagi sesuatu yang lama menunggu di balik pintu.”

“Aku nggak mau ini!”

“Kamu yang membuka. Kamu yang memanggil.”

Pintu bergetar lebih keras. Asap makin pekat.

Revan mendekat ke kamera, tatapannya menembus Naira.

“Siapakah yang melukaimu, Naira? Tentukan. Karena setiap nama yang kau lepaskan… membuat gerbangmu semakin terbuka.”

“Kalau aku nggak mau?”

“Kalau kau tak pilih… mereka yang akan memilih untukmu.”

Lampu penthouse berkedip.

Dari balik kabut, muncul sosok setinggi langit-langit. Wajahnya tak jelas, tapi matanya—enam pasang, terbuka bersamaan—menatap langsung ke Naira.

Keris di tangannya mendesis, seperti logam terbakar.

Suara itu kembali, menggema dari segala arah:

“Enam lagi… dan semua pintu akan terbuka.”

Naira menggenggam keris sekuat tenaga, walau tangannya berdarah.

“Aku… bukan pintu kalian.”

Tapi bahkan ia sendiri tak yakin kalimat itu benar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 70 – Pintu Inti

    “Bukankah kau takut, Naira?” suara Revan serak, bergetar bukan karena dingin, melainkan karena ngeri. “Takut? Aku sudah kehilangan wajah ibuku. Apa yang lebih menakutkan dari lupa pada orang yang melahirkanku?” Pintu kesepuluh berdenyut pelan. Seperti jantung raksasa yang baru saja terbangun. Urat-urat merah merambat di dinding, bercabang ke lantai, hingga menjalar kaki mereka. Setiap detaknya menyalurkan getaran ke tulang. Naira berdiri di depan pintu itu. Dadanya masih perih, luka tikaman belum menutup. Justru dari luka itu, darahnya menetes dan terserap langsung ke dalam urat-urat pintu. Suara berat, dalam, bergema dari balik daging yang berdenyut: “Wadah telah kosong. Saatnya warisan kembali.” Naira menelan ludah, keris di tangannya bergetar seperti mengenali suara itu. “Apa maksudnya… warisan kembali? Warisan siapa?” Revan memalingkan wajah, seolah tak sanggup menatap langsung ke arah pintu. “Warisan yang kakekmu sembunyikan. Warisan yang membuat keluargamu jadi target. K

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 69 – Menghunus ke Diri Sendiri

    “Apa yang lebih menakutkan dari kematian itu sendiri, Naira?” Suara itu datang dari kegelapan koridor. Revan menatap sekeliling, tapi Naira tahu itu bukan suara Revan—itu suara pintu kesembilan, suara kontrak yang bersemayam di dalam darahnya. Langkahnya berat. Lantai koridor licin, basah, seolah terbuat dari darah yang baru saja ditumpahkan. Setiap pijakan meninggalkan jejak kaki merah yang cepat menghilang. Di ujung koridor, pintu itu berdiri. Pintu kayu tua dengan simbol-simbol merah berdenyut seperti nadi. Dari celah-celahnya, terdengar suara lirih… tangisan ibunya, tawa Linda, batuk ayahnya. Semuanya bercampur, memanggil namanya. “Naira…” suara ibunya bergetar. “Tolong aku… jangan biarkan aku hilang.” Tangannya gemetar menggenggam keris. Revan berdiri di sampingnya, tapi wajahnya kali ini gelap, matanya seperti retak kaca. “Kalau kau masuk, tak ada jalan kembali,” katanya pelan. “Pintu kesembilan hanya membuka kalau kau sudah siap membayar dengan sesuatu yang tak bisa dikem

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 68 – Penjara Wajah

    “Kalau kau buka pintu itu… kau tak akan lagi mengenali siapa dirimu.” Suara Revan pelan, tapi gemanya terdengar dari segala arah. Naira menatap pintu raksasa berurat merah itu. Jantungnya berdetak seirama dengan denyut pintu. Luka di dadanya masih basah, tapi genggaman pada keris semakin kencang. “Aku sudah kehilangan semuanya, Revan. Apa lagi yang bisa diambil dariku?” Pintu berderit. Perlahan, akar merah yang menutupinya terurai, seakan membukakan jalan bukan karena kehendak Naira, tapi karena sesuatu di baliknya sudah menunggu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin menerpa, membuat tubuh Naira gemetar meski peluhnya masih menetes. Ia melangkah masuk. Ruangan itu bundar, dindingnya tinggi menjulang, dan di setiap sisi—menempel wajah-wajah manusia. Linda. Ayahnya. Ibunya. Revan. Bahkan wajah Naira sendiri. Mereka tertanam di dinding seperti ukiran hidup, mata mereka terbuka, mengikuti setiap langkahnya. Suara lirih bergema, ratusan bisikan menyatu: “Kenapa kau tinggalkan kami…?”

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 67 – Satu Simbol Tersisa

    “Apa kau tahu rasanya tinggal satu jiwa saja yang tersisa?” Suara Revan pecah di antara kabut, berat, tapi penuh kegetiran. Naira menoleh. Revan berdiri goyah, tubuhnya masih berdarah, tapi matanya tajam menatapnya. Simbol merah di bawah tulang selangka Naira berdenyut semakin cepat, seperti jantung kedua yang hendak meledak. “Jangan bicara seolah kau mengerti perasaanku,” balas Naira dengan suara bergetar. “Aku yang kehilangan—ibuku, adikku, bahkan wajah sendiri di cermin. Kau masih berdiri dengan bayangan-bayanganmu!” Revan tersenyum samar. “Justru karena itu aku tahu. Kau kira aku masih manusia penuh? Aku hanya sisa dari delapan bayangan yang kau bunuh.” Kabut di sekitar mereka bergerak liar, seperti tangan-tangan tak kasatmata meraih tubuh mereka. Dari jauh, terdengar suara gonggongan anjing bercampur tangisan bayi—suara yang tak masuk akal tapi menusuk ke kepala Naira. Dia menatap simbol merah di kulitnya. “Kalau pintu kesembilan terbuka… aku akan kehilangan apa lagi?” Rev

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 66 – Delapan Bayangan Revan

    “Kalau aku mati… apa kau masih percaya ada yang asli dariku?” Suara Revan terdengar di samping telinga Naira. Dia menoleh cepat—dan jantungnya hampir berhenti. Di ruangan itu, ada delapan Revan. Mereka berdiri melingkar, menatapnya dengan tatapan identik, dingin, menusuk. Wajah yang sama, pakaian yang sama, bahkan darah yang menetes di kemeja hitam itu pun identik. Naira mundur, punggungnya menempel ke pintu yang baru saja menelannya masuk. “Ini gila…” bisiknya. Salah satu Revan melangkah maju. “Aku yang asli.” Revan lain menyusul. “Bukan dia. Aku yang kau cari.” Yang ketiga menambahkan dengan nada lebih dingin, “Kalau kau salah pilih, kau akan terjebak di sini. Selamanya.” Delapan suara berbicara hampir bersamaan, bercampur, berlapis, membuat kepala Naira terasa pecah. Dia menutup telinga, tapi suara-suara itu justru bergetar dari dalam otaknya. “Aku kakakmu.” “Aku penjaga kontrak.” “Aku bayangan yang kau ciptakan.” “Aku janji terakhir kakekmu.” Semua bersuara dengan w

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 65 – Revan yang Retak

    “Revan…” Naira hampir tak percaya pada matanya. Di hadapannya berjejer delapan sosok Revan di balik cermin, masing-masing hidup, bergerak, berbicara. Satu mengenakan jas hitam rapi, berwibawa. Satu mengenakan pakaian lusuh, dengan tatapan iba. Satu lagi tersenyum hangat, seperti pria biasa. Tapi ada pula yang matanya merah, wajah retak, tubuhnya miring seperti boneka patah. “Mana… yang asli?” Pertanyaan itu keluar begitu saja. Suaranya pecah. Delapan Revan serempak berbicara, tapi kalimat mereka berbeda-beda: “Aku pelindungmu.” “Aku pencipta kontrak.” “Aku kakakmu.” “Aku bayanganmu.” “Aku yang akan membunuhmu.” “Aku lelaki yang mencintaimu.” “Aku hanya mimpi burukmu.” “Aku… satu-satunya pilihanmu.” Suara-suara itu bergema, menabrak kepala Naira. Ia mundur selangkah, keris di tangannya bergetar seperti tahu siapa musuhnya. “Cukup!!” teriak Naira, suaranya melawan gaung ruang cermin. “Aku hanya butuh satu Revan. Yang asli!” Delapan sosok itu tersenyum serempak, tapi b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status