Hujan turun sejak sore, membasahi atap seng WarKoDuBa dengan denting-denting halus seperti ketukan jemari yang rindu. Di dalam warung yang hangat dan remang itu, Dimas sedang menyeka meja bar dengan tenang. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara.
Toyo, asisten muda yang belum genap sebulan bekerja di sana, meletakkan baskom berisi cangkir-cangkir kotor sambil menatap jam tua yang tergantung di dinding. "Mas... ini jamnya mati lagi? Dari tadi nggak berubah, masih jam sebelas lewat sebelas terus," katanya ragu. Dimas menoleh sebentar dan tersenyum. "Mungkin jamnya cuma bergerak kalau yang nungguin punya harapan." Toyo mengernyit. "Lah, maksudnya?" "Di warung ini, waktu kadang berhenti untuk yang hatinya mandek." Tepat saat itu, pintu warung terbuka dengan keras. Randi muncul dengan payung rusak dan kamera DSLR tergantung di lehernya. "Mas Dimas! Toyo! Kalian nggak bakal percaya apa yang aku lihat barusan!" Dimas melirik santai. "Kucing kawin di kuburan?" "Bukan! Anak kecil! Telanjang! Lari-lari di belakang komplek pemakaman tua! Mukanya item, matanya nyala merah!" Toyo langsung berdiri. "Itu tuyul, Mas. Serius. Di desa aku dulu ada yang bilang, tuyul bisa muncul kalau pemiliknya mulai lalai kasih upah." Randi duduk, napasnya masih ngos-ngosan. "Tapi tuyul ini nggak nyolong. Dia malah duduk di bangku taman, nunduk, terus kayak sedih banget gitu. Kayak... patah hati." Dimas terdiam sejenak, lalu beranjak menyiapkan satu gelas kopi susu. "Toy, ambilkan kayu manis. Sedikit aja." "Untuk siapa, Mas?" "Untuk pelanggan yang belum tahu caranya dicintai." Toyo dan Randi saling pandang, bingung tapi tak berani bertanya lebih lanjut. Dimas meletakkan gelas itu di meja nomor dua. Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba, kursi di depan gelas itu terdorong sendiri. Sangat pelan, nyaris tak terdengar. Gelas bergetar sedikit, tapi tidak tumpah. Toyo menahan napas. "Mas... dia datang ya?" "Mungkin. Atau dia memang sudah di sini dari tadi," jawab Dimas. --- Setengah jam berlalu. Randi akhirnya memberanikan diri mendekat dan memotret meja itu diam-diam. Tapi layar kameranya mendadak hitam. "Mampus... kameraku ngeblank. Tadi waktu motret Karina juga gini." Dimas duduk di kursi bar, menatap meja dua. "Beberapa tamu kita datang bukan buat kopi. Mereka datang karena ingin didengar." Toyo menggigit bibir. "Tapi tuyul patah hati tuh... gimana ceritanya? Kan katanya mereka nggak punya hati." "Siapa bilang? Justru karena mereka nggak punya hati, mereka jadi lebih gampang jatuh cinta. Tapi nggak pernah tahu gimana caranya dicintai balik." --- Tak lama, pintu warung terbuka lagi. Karina masuk. Rambut panjangnya basah oleh gerimis, tapi langkahnya tetap ringan dan senyap. "Kalian bicara soal tuyul ya? Aku denger dari luar," katanya sambil duduk di pojok langganannya. "Kok bisa denger? Kita pelan ngomongnya," tanya Randi. "Kalau isi hatinya kuat, bisikan pun terdengar seperti teriakan." Karina menatap gelas di meja dua. "Dia masih di situ ya?" Dimas mengangguk pelan. "Masih. Tapi sebentar lagi mungkin pergi." "Ke mana?" "Ke tempat yang lebih hangat. Atau ke hati orang lain yang siap nyeduh rasa baru." --- Pukul tiga dini hari, gelas kopi itu kosong. Tapi hangatnya masih terasa. Di sampingnya, ada satu koin seribu rupiah. Bersih, mengkilap, dan baru. Seolah baru dicetak tadi malam. Randi menatapnya dengan ngeri. "Tuyulnya... bayar?" Dimas hanya tertawa pelan. "Mungkin itu bukan bayar. Tapi terima kasih." Toyo tersenyum kaku. "Mas... aku jadi pengen ngasih selimut buat kursi itu. Kasihan dia kedinginan." Karina memandang mereka bertiga. "Warung ini... makin aneh tiap malam. Tapi aku suka." Dimas tersenyum. "Aneh itu cuma kata lain dari: belum dimengerti." Dan malam itu, mereka membiarkan meja dua tetap kosong. Tapi tidak benar-benar kosong. Karena beberapa rasa memang hanya bisa duduk... lalu pergi.Udara di balik pintu itu seperti menyambut mereka dengan tamparan dingin yang menusuk kulit. Cahaya abu-abu menyebar ke segala arah, tapi anehnya, tidak ada matahari, tidak ada bulan—hanya langit kelabu yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa.Toyo melangkah pertama, matanya menyapu dataran yang membentang. “Tempat ini…” suaranya serak, “kayak dunia yang pernah kita lihat lewat kursi, tapi lebih… hidup.”Karina memandangi tanah di bawah kaki mereka. Lapisan debu tipis menutupi permukaan, dan setiap langkah membuatnya beterbangan, berputar seperti kabut kecil. “Hidup? Toy… dunia ini nggak kelihatan hidup. Ini kayak… kuburan raksasa.”“Bukan,” Dimas membetulkan. “Tempat ini bernafas. Bumi di sini bukan tanah mati. Dia… memantau kita.”Rani merapatkan jaketnya, memandang sekeliling. Tak ada pepohonan, tak ada batu besar, hanya hamparan luas dengan gundukan-gundukan aneh yang bentuknya seperti tubuh-tubuh raksasa yang tidur. Beberapa bergetar halus, seperti otot yang berkedut d
Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah kembali berdetak normal.Tik… tok… tik… tok… seolah waktu sudah kembali pada jalurnya.Namun, di antara aroma kopi hangat dan cahaya lampu kuning yang temaram, ada sesuatu yang tetap menggantung—seperti bayangan yang belum selesai bercerita.Karina duduk menunduk, jari-jarinya mengelus bibir cangkir hitam yang kini kosong.“Kalau dipikir-pikir…” suaranya nyaris hanya gumaman, “kita tadi keluar dari dunia mereka, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bisa masuk lagi.”Toyo menjatuhkan diri ke kursi, memijat lehernya. “Dan kalau mereka punya akses… berarti kursi itu masih jadi jembatan.”Dimas mengangguk pelan. “Kursi itu bukan cuma jembatan, Toy. Dia itu sinyal. Kayak mercusuar. Setiap kali kita duduk, setiap kali kita menatapnya… mungkin mereka bisa ngelihat kita dari sana.”Rani menatap kursi itu lama. “Jadi… selama kursi ini ada, kita nggak pernah benar-benar aman.”Sima meletakkan sebuah palu besi di meja. “Kalau gitu, kita hancurin aja. Biar ku
Suara detakan jam dinding yang kembali hidup terasa lebih seperti ancaman daripada tanda waktu normal.Tiap tik dan tok menyerupai hentakan sepatu yang perlahan-lahan mendekat dari lorong panjang yang tak terlihat.Udara di Warung Kopi Dunia Bawah seolah tertahan di antara dua napas.Karina menyandarkan tubuhnya pada meja, kedua tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Dia belum pergi,” ucapnya lirih, matanya tak lepas dari kursi seberang cangkir hitam.“Kalau memang belum pergi, kenapa cuma meninggalkan bekas duduk? Kenapa nggak nunjukkin wujud?” tanya Toyo, suaranya setengah kesal, setengah cemas.Dimas duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke arah sudut warung. “Mungkin wujudnya nggak bisa kita lihat… kecuali kita ada di waktunya dia.”“Waktunya dia?” Rani mengangkat alis.Dimas mengangguk. “Kita ini… hidup di lapisan waktu yang berbeda dari dia. Dia bisa menyentuh kita, memindahkan barang-barang, tapi kita nggak bisa langsung melihatnya kecuali masuk ke lapisan wak
Fajar berikutnya datang seperti napas yang enggan. Langit memang berganti terang, tapi di Warung Kopi Dunia Bawah, cahaya pagi tidak pernah sepenuhnya masuk. Seolah di pintu warung ada tangan tak terlihat yang menyaring semua sinar, membiarkan hanya yang pucat dan tak bernyawa.Cangkir hitam itu kini berada di kursi sudut, bukan di meja bundar. Tidak ada yang memindahkannya. Atau setidaknya, tidak ada yang mengaku melakukannya.Karina duduk di bangku dekat jendela, memandangi kursi sudut itu dengan perasaan campur antara curiga dan terhisap.“Aku merasa,” ucapnya, “cangkir itu sedang menunggu seseorang duduk di depannya.”“Jangan-jangan… sudah ada yang duduk,” sahut Toyo pelan, sambil melirik kursi seberang cangkir yang kosong—kosong secara mata, tapi tidak secara udara.Waktu di warung hari itu terasa tersendat. Jam dinding tua yang biasanya tetap berdetak meski jarumnya beku, kini sama sekali tak mengeluarkan suara. Gelas-gelas kopi di rak seperti kehilangan pantulan, seakan isi rua
Fajar kelima sejak cangkir retak ditinggalkan oleh sosok kabut itu datang tanpa warna. Langit di luar warung tidak merah, tidak biru, bahkan tidak kelabu—hanya datar, seperti selembar kain putih yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, semua orang terjaga, meskipun belum ada yang memesan kopi atau membuka mulut. Cangkir retak itu diletakkan di tengah meja bundar, menghadap ke semua arah seakan sedang mengawasi. Karina memandanginya lama. "Dia tidak hilang," katanya akhirnya. "Dia meninggalkan bagian dari dirinya di sini. Retakan itu... mungkin peta." "Peta ke mana?" tanya Rani. "Ke bagian dari kita yang ingin dia ganti," jawab Aluna, suaranya datar seperti lantai kayu warung yang sudah tak menyalakan gema sejak pertemuan kemarin. Mereka memutuskan untuk memeriksa cangkir itu lebih dekat. Toyo, yang selama ini paling paham tentang bahasa benda mati, mengangkatnya dengan hati-hati. Retakannya membentuk garis berkelok yang tidak aca
Warung Kopi Dunia Bawah telah kembali membuka pintunya, bukan dengan dentang lonceng atau papan "buka" yang menyala terang, tetapi dengan aroma yang menggamit dan suara-suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan arah. Langit di atasnya tetap menggantung sebagai halaman kosong, menunggu untuk diisi.Tak ada musim di warung itu. Waktu berjalan dengan cara yang tidak bisa dihitung. Pagi dan malam datang seperti tamu tak diundang, kadang bersama, kadang saling menunggu. Tapi bagi Karina dan kawan-kawan, kedai itu sudah tak lagi beroperasi dalam kerangka waktu biasa. Ia menjadi tempat lintasan: bagi yang tersesat, yang menunggu, dan yang belum lahir dalam kenangan.Pagi hari itu, seorang tamu baru datang. Ia tidak membuka pintu. Tidak melangkah. Ia seperti muncul begitu saja di kursi dekat jendela, tempat cahaya biasanya enggan menyentuh.Rani yang melihatnya lebih dulu. Wajahnya bukan wajah asing, tapi juga tak dikenal. Seperti wajah dari mimpi yang pernah dilupakan.