Udara malam di gang sempit belakang pasar tua itu selalu lembap dan wangi rempah. Entah dari mana asalnya, tapi setiap orang yang melintas pasti akan menoleh. Di ujung gang, tepat di samping tembok berlumut, berdiri sebuah warung kopi sederhana dengan papan kayu tua yang tergantung miring. Tulisan di papan itu terbaca samar:
“WarKoDuBa – Warung Kopi Dunia Bawah.” Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang pertama kali memberi nama warung itu. Tapi sejak Dimas membuka kembali warisan pamannya, Kang Bowo, warung itu pelan-pelan kembali hidup. Meski kadang yang datang ke sana... bukan orang hidup. “Toy, tolong angkat kursi-kursi ini ke luar. Kita pasang lagi lampu tali di pagar.” Dimas berdiri di balik meja bar, mengenakan celemek lusuh dan topi rajut. Tangannya sibuk menggiling biji kopi dengan gerakan halus dan konsisten. “Siap, Mas!” sahut Toyo sambil tergopoh-gopoh membawa kursi rotan ke luar warung. Bocah itu polos, ceroboh, dan penakut. Tapi sejak dua minggu jadi asisten, ia mulai terbiasa melihat gelas bergerak sendiri atau pintu terbuka tanpa angin. Dimas melirik jam dinding yang tak pernah tepat. “Lima menit lagi jam tujuh. Biasanya pelanggan pertama nongol sebelum azan magrib.” “Pelanggan manusia, kan, Mas?” tanya Toyo dengan nada cemas. Dimas hanya tertawa pelan. “Nggak semua orang yang datang ke sini kelihatan, Toy. Tapi semua pernah ngerasain sepi.” Belum sempat Toyo bertanya lagi, lonceng pintu berdenting sendiri. Pintu kayu itu terbuka pelan tanpa ada yang menyentuhnya. Angin dingin menyelinap masuk. Aroma belerang samar menyebar di udara. Mereka berdua saling menatap. Tak ada yang masuk secara fisik, tapi meja nomor tiga mulai bergetar ringan. “Mas… itu… kursinya…” Toyo menunjuk kursi rotan yang perlahan bergerak mundur, seperti sedang ditarik seseorang yang tak kasat mata. “Tenang.” Dimas menuang air panas ke gelas kecil dari keramik hitam. “Itu pelanggan tetap.” Toyo membelalak. “Yang kayak gimana, Mas?” “Hantu tukang kredit. Dulu sempat berjualan di pasar sini. Meninggalnya katanya waktu narik setoran, ditabrak bajaj. Tapi dia belum puas, karena masih banyak yang belum bayar.” Toyo menelan ludah. “Lha, kita harus nyediain kopi juga buat yang begitu?” Dimas menyerahkan gelas kecil ke arah kursi kosong itu, dengan gerakan tenang dan sopan. “Pelanggan tetap, Toy. Kita nggak bisa pilih-pilih rasa kehilangan.” --- Beberapa saat kemudian, seseorang tergesa masuk sambil menyeret kamera besar dan ransel. Randi, si karyawan konten sekaligus videografer amatir yang lebih sibuk mengedit meme daripada menyeduh kopi. “MAS DIMAS! Tadi saya liat pocong naik ojek! Sumpah! Dia nyuruh ngebut karena takut subuh!” Dimas nyengir sambil mengelap meja. “Naik ojek ya, bukan naik haji.” Randi meletakkan kameranya di meja. “Saya serius! Saya udah dapet footage-nya. Tapi entah kenapa hasilnya malah blur semua. Mirip emoji.” “Makanya, jangan pakai filter lucu kalau rekam dunia bawah,” sahut Toyo, ikut duduk sambil memegangi lututnya yang gemetar. Randi menatap sekeliling, lalu berkata, “Warung ini... makin aneh tiap malam.” Dimas tertawa kecil. “Justru makin jujur. Nggak semua yang jujur itu kelihatan, Ran.” --- Saat malam makin dalam, pelanggan mulai berdatangan. Seorang ibu tua yang setiap malam duduk di kursi paling dekat dapur—katanya menunggu anaknya yang belum pulang dari tahun 1998. Seorang lelaki tua dengan topi lusuh yang selalu pesan kopi hitam dan bicara sendiri dalam bahasa Belanda. Dan tentu saja, sosok-sosok tak terlihat yang hanya meninggalkan gelas kosong dan bekas embun dingin. “Kita ini warung kopi, tapi yang datang bukan cuma haus,” ujar Dimas pada Toyo sambil mengisi ulang termos air panas. “Terus mereka datang karena…?” “Karena lelah.” Toyo mengangguk pelan, walau masih bingung. Tapi malam itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Pintu kembali terbuka. Kali ini, yang masuk adalah seorang perempuan. Rambut panjangnya tergerai, kulitnya pucat seolah jarang kena matahari, dan mata tajamnya memandang lurus ke meja pojok yang belum pernah dipakai siapa pun. “Aku Karina,” katanya pelan. Dimas mengangguk sopan. “Meja nomor lima kosong. Kalau mau duduk, silakan.” Karina berjalan perlahan. Langkahnya tidak menimbulkan suara. Toyo yang memperhatikannya dari balik meja berbisik ke Randi, “Dia… kelihatan kayak bukan manusia, ya?” Randi mengangguk. “Atau terlalu manusia.” Dimas mengambil cangkir paling bersih dan mulai menyeduh. “Kopi hitam pahit, tapi jangan terlalu panas,” kata Karina. “Aku nggak tahan panas. Pernah… meleleh.” Ucapan itu membuat Toyo menggigil. Randi reflek menyalakan kamera, tapi lensanya langsung gelap. “Aduh, kenapa langsung mati sih...” Karina duduk, menyentuh meja, dan menghembuskan napas panjang. Dimas menyerahkan kopi dengan tangan stabil. “Diminum pelan-pelan, ya.” Karina menatap cangkir itu, lalu tersenyum kecil. “Aromanya seperti hujan pertama. Tapi juga kayak… perpisahan terakhir.” Malam itu, mereka bertiga hanya bisa diam. --- Pukul tiga dini hari, Dimas mematikan satu per satu lampu gantung. Warung mulai sepi. Toyo mengepel lantai sambil mengintip ke bawah kursi, takut ada makhluk tertinggal. Randi sibuk menyalin rekaman yang entah bisa ditonton atau tidak. Karina masih duduk di pojok. “Warungnya tutup?” tanyanya pelan. Dimas mengangguk. “Untuk sementara. Tapi pintu ini nggak pernah benar-benar dikunci.” Karina berdiri. Lalu perlahan tubuhnya mulai kabur, seperti kabut yang pelan-pelan menghilang. Hanya cangkirnya yang tertinggal. Masih hangat. Masih ada bekas lipstik pucat di pinggirnya. --- “Mas…” bisik Toyo. “Warung ini… sebenernya warung apa sih?” Dimas menatap meja nomor tiga yang dingin. Gelas kosongnya masih mengepul samar. “Kita cuma tempat istirahat, Toy. Untuk mereka yang belum benar-benar pergi. Dan mereka yang belum benar-benar kembali.” Toyo tak menjawab. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, dia tidak takut. WarKoDuBa tutup, tapi hanya untuk sementara. Karena rasa... tak pernah benar-benar selesai. ---Pagi di WarKoDuBa dibuka dengan kebiasaan baru: Toyo menyapu lantai sambil menyanyikan lagu daerah versi dangdut remix, Dimas menyeduh kopi untuk dirinya sendiri (karena pelanggan belum ada yang datang), dan Randi sibuk merekam semua aktivitas itu dari sudut-sudut absurd untuk konten “Behind the Beans.”Namun pagi itu berbeda. Semua kegiatan terhenti saat suara isak tangis terdengar dari meja pojok.Karina menangis.Diam-diam. Perlahan. Tapi nyata.Padahal ia tidak sedang meminum kopi rasa ‘kehilangan’ atau ‘penyesalan’. Cangkirnya hanya berisi kopi susu biasa—resep nostalgia dari hidupnya dulu. Tapi air mata mengalir begitu saja. Tanpa sebab, tanpa aba-aba.---“Ada apa ini?” Dimas mendekat sambil menaruh lap di bahunya.Karina buru-buru menyeka matanya, meski itu sia-sia.“Gak tau. Aku... nangis aja. Tiba-tiba.”Toyo ikut mendekat, wajah polosnya bingung. “Kak Karina habis nonton drama Korea dimensi sebelah ya?”Karina menggeleng. “Nggak nonton apa-apa. Nggak mikirin siapa-siapa.”R
WarKoDuBa selalu punya aroma khas: campuran kopi robusta panggang, kemenyan sisa ritual pelanggan, dan sedikit bau kenangan yang belum reda. Tapi malam itu, ada aroma lain menyusup di antara semuanya. Aneh. Lembut. Seperti... ingatan akan tempat yang belum pernah dikunjungi.“Mas Dimas, ini apa ya?” tanya Toyo sambil mencium udara di belakang mesin espresso. “Kok kayak bau... anggrek yang pernah mimpi?”“Bau anggrek mimpi apaan?” Randi mencibir. “Itu pasti sisa seduhan kopi rasa rindu-dalam-tidur.”Namun Dimas hanya diam, matanya tajam menatap pintu belakang.“Mas,” bisik Karina, “bau itu... datang dari dimensi lain. Aku kenal baunya. Itu... aroma transisi.”---Mereka berkumpul di belakang warung, tempat dinding tua dan jendela kecil menghadap ke gang buntu yang biasa dilalui makhluk-makhluk ‘bukan pelanggan’. Tapi malam ini, gang itu tidak sepi. Temboknya berdenyut pelan. Seperti napas. Dan dari sana, aroma aneh itu semakin kuat.Tiba-tiba, suara ketukan tiga kali terdengar. Bukan d
Pagi di WarKoDuBa selalu punya suara unik: dengkuran tuyul yang baru tidur setelah semalaman keluyuran, suara mesin penggiling kopi kuno yang batuk-batuk, dan kadang dentingan sendok yang jatuh sendiri padahal tak ada yang menyentuh. Tapi pagi ini, semua itu tenggelam oleh satu suara: ketukan di pintu warung.Toyo membuka pintu dengan semangat. Ia baru pulang dari semedi pelatihan “mengerti rasa lewat mimpi” selama dua hari. “Selamat pagi! Silakan masuk—eh?”Tak ada siapa pun.Di depan pintu hanya ada satu koper besar berwarna hitam dengan stiker dunia: ‘Dunia Bawah’, ‘Ruang Mimpi Retak’, ‘Zona Transit Kenangan’, bahkan satu dari ‘Lapisan Ketujuh Kekecewaan’. Di atas koper itu... secarik kartu nama.Karina mengambilnya.Tertulis:> “Tuan X. Tamu Sementara. Profesional dalam Rasa yang Tak Terdefinisi.”Dimas menatapnya lama. “Kayaknya ini bakal jadi hari yang panjang.”---Dua menit kemudian, seseorang muncul dari balik bayangan pojok warung. Tingginya sedang. Rambutnya bergelombang, s
WarKoDuBa memiliki banyak benda aneh yang tidak bisa ditemukan di warung kopi biasa: teko yang pernah menangis, mesin espresso yang terkadang menyeduh lagu sedih, dan piring-piring yang hanya retak kalau pemiliknya sedang jatuh cinta. Tapi dari semua benda aneh itu, tak ada yang lebih misterius daripada Kursi Nomor Empat.Kursi itu terletak di pojok dekat rak buku tua, tepat di bawah lukisan kabur yang selalu bergoyang sendiri meski tak ada angin. Sejak awal warung ini berdiri, kursi itu sudah ada. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang ingat kapan pertama kali dibawa masuk.Dimas pernah bilang, “Kursi itu... bukan kita yang beli.”Toyo, si asisten polos yang kembali dari pelatihan magang di dimensi lain, pernah mencoba duduk di kursi itu waktu awal-awal magang. Lima menit kemudian dia menangis tersedu-sedu karena tiba-tiba merasa bersalah pada ayam kampung yang pernah ia usir saat kecil.Setelah kejadian itu, kursi nomor empat dibiarkan kosong. Selalu kosong.---Suatu sore, warung m
Karina duduk sendirian di meja pojok WarKoDuBa. Biasanya, ia menjadi pusat kehangatan aneh: mengomentari pelanggan dari dunia lain, mengganggu Randi dengan cerita horor romantis, atau membantu Dimas menyesuaikan suhu air agar pas dengan suhu hati. Tapi malam itu, ia hanya diam.Matanya menatap cangkir kosong di hadapannya. Tangan kirinya memainkan sendok kecil berwarna perak kusam, hadiah dari pelanggan tak kasat mata bernama Bu Enti yang dulu suka menceramahi orang bahkan setelah meninggal.Tetesan air jatuh ke cangkir.Air mata.“Karina?”Suara lembut Dimas memecah keheningan.Karina menunduk lebih dalam. “Aku... nggak tahu kenapa nangis, Mas.”Dimas duduk perlahan di seberangnya. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatap sahabatnya, yang sejak dulu menolak untuk mengaku rapuh.Randi muncul membawa dua donat rasa takdir — donat yang hanya bisa dimakan oleh mereka yang sedang bingung dengan hidup. “Ini... gratis, kalau kamu bilang alasannya kenapa nangis.”Karina tertawa kecil, tapi ju
Malam itu WarKoDuBa sepi. Bukan karena tidak ada pengunjung, tapi karena semua pengunjung malam itu... sedang tertidur. Tidak, bukan tertidur karena ngantuk biasa. Tapi karena kopi yang mereka minum malam itu kebetulan tercampur biji “Tenang Abadi” — racikan langka yang disimpan Dimas untuk keadaan darurat.“Mas... kita beneran nyeduh biji itu?!” Randi berbisik panik sambil melihat sekeliling, tempat pelanggan manusia dan non-manusia sedang mendengkur damai. Bahkan arwah yang biasanya melayang-layang pun sedang ngorok di sudut plafon.Dimas mengangguk santai, menggulung lengan bajunya dan mulai membersihkan mesin seduh. “Kita butuh waktu untuk ngobrol tanpa interupsi dari tuyul galau atau hantu bucin, Ndii.”“Ngobrol soal apa?”Karina muncul dari balik rak rempah dengan secangkir teh bunga kenangan yang hanya bisa diseduh oleh mereka yang pernah menangis tengah malam.“Gerbang sebelah mulai bergetar lagi,” ujarnya pelan.Randi langsung duduk tegak. “Gerbang sebelah? Gerbang dimensi?!