Home / Horor / Warung Kopi Dunia Bawah / Bab 3: Karina Si Hantu Galau

Share

Bab 3: Karina Si Hantu Galau

Author: D.Arluna
last update Last Updated: 2025-06-12 09:00:42

Angin dini hari berdesir pelan melewati sela-sela kayu tua WarKoDuBa. Aroma kopi dan kayu manis belum benar-benar hilang dari udara. Lampu gantung yang menggantung miring di atas meja bar bergoyang perlahan, seolah warung itu sedang bernapas dalam tidur.

Dimas sedang mengepel lantai dengan gerakan lambat. Toyo tertidur di bangku panjang, masih mengenakan celemek. Sementara Randi... sibuk mengedit video yang dari tadi hanya menampilkan layar gelap dan suara detak jam yang terdengar dari alam lain.

"Mas Dimas," suara pelan menyapa dari sudut ruangan.

Karina duduk di kursi pojok, seperti biasa. Tubuhnya setengah tembus cahaya malam ini. Rambut panjangnya terurai kusut, dan matanya merah seperti habis menangis.

"Kamu belum tidur?" tanya Dimas sambil berhenti mengepel.

Karina menggeleng pelan. "Aku nggak tahu cara tidur. Sudah lama lupa rasanya."

Dimas meletakkan ember pelan, lalu duduk di kursi bar, menghadapnya. "Mau cerita?"

Karina diam beberapa saat. Lalu berkata, "Kalau hantu nangis, suaranya masih bisa terdengar nggak, Mas?"

"Tergantung. Kalau tangisnya buat didengar, pasti akan terdengar. Tapi kalau cuma untuk melegakan... biasanya cuma jadi embun."

Karina menunduk. "Aku belum bisa pergi. Tapi aku juga nggak tahu mau tinggal di mana. Di sini... cuma terasa sedikit lebih hangat dari dunia lain."

Randi yang tadinya diam, tiba-tiba ikut nimbrung dari belakang layar laptop. "Kalau kamu tinggal di sini aja gimana? Jadi pelanggan tetap. Atau... karyawan."

Karina menatapnya. Senyum kecil terbit di bibirnya. "Aku nggak bisa pegang barang. Nggak bisa nyeduh kopi. Tapi... aku bisa bantu mengingatkan."

"Mengingatkan apa?" tanya Toyo yang ternyata bangun dan mendengar dari balik meja.

"Bahwa semua orang pernah sendiri. Tapi nggak semua orang berani mengakui."

---

Pagi itu, mereka sepakat: Karina akan jadi bagian dari WarKoDuBa. Bukan barista, bukan kasir, bukan pelayan. Tapi penjaga meja pojok. Tempat curhat. Tempat mereka yang tak punya tempat pulang.

Toyo bahkan membuatkan tanda kecil dari kardus:

"Meja Karina – Untuk yang butuh didengar meski tanpa suara"

---

Malam berikutnya, pelanggan mulai berdatangan. Seorang lelaki setengah baya duduk dengan tangan gemetar, memesan kopi pahit dan menatap kosong ke lantai.

Dimas mengantar pesanannya, tapi tak berkata apa-apa. Karina yang mendekat. Duduk di meja sebelah tanpa menyentuh apapun.

"Istrimu nggak akan kembali hanya karena kamu menyesal sekarang," katanya pelan.

Lelaki itu menatapnya, matanya berkaca-kaca. Tapi tak bicara. Hanya menunduk dan menangis dalam diam.

"Tapi kamu bisa mulai minta maaf pada dirimu sendiri," lanjut Karina.

Lelaki itu mengangguk pelan, lalu pergi meninggalkan uang dan catatan kecil:

"Terima kasih, siapa pun kamu. Aku mulai bisa bernapas lagi."

---

Sejak itu, meja Karina selalu terisi. Entah oleh orang hidup yang patah, entah oleh roh yang tersesat. Kadang tidak ada siapa-siapa di kursi, tapi cangkirnya tetap kosong ketika diambil.

Randi bahkan membuat akun khusus: @MejaKarina. Isinya kutipan dari pengunjung tak kasat mata, dan ilustrasi yang dibuat berdasarkan cerita mereka.

Akun itu viral. Tapi komentar paling banyak bukan dari manusia.

"Terima kasih karena sudah mengingatkan aku pernah dicintai."

"Boleh aku duduk sebentar di meja itu?"

"Aku ingin ketemu Karina. Katanya dia bisa dengar hal yang bahkan kita lupa pernah katakan."

---

Suatu malam, Karina duduk sendirian, tatapannya menerawang. Dimas menghampiri dengan secangkir teh.

"Kali ini bukan kopi," katanya.

"Terima kasih..." Karina menatap uap teh itu. "Kadang aku lupa aku bukan manusia lagi."

"Tapi kamu masih merasa, kan?"

Karina mengangguk pelan. "Terlalu banyak malah. Makanya aku galau."

Toyo duduk di sebelahnya, membawa biskuit jahe. "Kak Karina... dulu kamu meninggal kenapa? Kalau nggak keberatan cerita."

Karina terdiam cukup lama.

"Karena aku menunggu seseorang terlalu lama. Dan dia... nggak pernah datang. Sampai aku nggak sadar kalau aku sendiri sudah pergi."

Suasana mendadak sunyi.

"Sekarang... kamu masih nunggu dia?" tanya Dimas.

"Nggak. Sekarang aku nunggu yang butuh aku."

---

Jam di dinding masih mati. Tapi hati mereka malam itu terasa berdetak serentak.

Dan WarKoDuBa... kini punya satu penjaga rasa baru. Tak terlihat, tak terpegang. Tapi sangat terasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 90 – Hujan Abu dan Jalan yang Menyempit

    Udara di balik pintu itu seperti menyambut mereka dengan tamparan dingin yang menusuk kulit. Cahaya abu-abu menyebar ke segala arah, tapi anehnya, tidak ada matahari, tidak ada bulan—hanya langit kelabu yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa.Toyo melangkah pertama, matanya menyapu dataran yang membentang. “Tempat ini…” suaranya serak, “kayak dunia yang pernah kita lihat lewat kursi, tapi lebih… hidup.”Karina memandangi tanah di bawah kaki mereka. Lapisan debu tipis menutupi permukaan, dan setiap langkah membuatnya beterbangan, berputar seperti kabut kecil. “Hidup? Toy… dunia ini nggak kelihatan hidup. Ini kayak… kuburan raksasa.”“Bukan,” Dimas membetulkan. “Tempat ini bernafas. Bumi di sini bukan tanah mati. Dia… memantau kita.”Rani merapatkan jaketnya, memandang sekeliling. Tak ada pepohonan, tak ada batu besar, hanya hamparan luas dengan gundukan-gundukan aneh yang bentuknya seperti tubuh-tubuh raksasa yang tidur. Beberapa bergetar halus, seperti otot yang berkedut d

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 89 – Kursi yang Memanggil Kembali

    Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah kembali berdetak normal.Tik… tok… tik… tok… seolah waktu sudah kembali pada jalurnya.Namun, di antara aroma kopi hangat dan cahaya lampu kuning yang temaram, ada sesuatu yang tetap menggantung—seperti bayangan yang belum selesai bercerita.Karina duduk menunduk, jari-jarinya mengelus bibir cangkir hitam yang kini kosong.“Kalau dipikir-pikir…” suaranya nyaris hanya gumaman, “kita tadi keluar dari dunia mereka, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bisa masuk lagi.”Toyo menjatuhkan diri ke kursi, memijat lehernya. “Dan kalau mereka punya akses… berarti kursi itu masih jadi jembatan.”Dimas mengangguk pelan. “Kursi itu bukan cuma jembatan, Toy. Dia itu sinyal. Kayak mercusuar. Setiap kali kita duduk, setiap kali kita menatapnya… mungkin mereka bisa ngelihat kita dari sana.”Rani menatap kursi itu lama. “Jadi… selama kursi ini ada, kita nggak pernah benar-benar aman.”Sima meletakkan sebuah palu besi di meja. “Kalau gitu, kita hancurin aja. Biar ku

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 88 – Jejak di Bantalan Kosong

    Suara detakan jam dinding yang kembali hidup terasa lebih seperti ancaman daripada tanda waktu normal.Tiap tik dan tok menyerupai hentakan sepatu yang perlahan-lahan mendekat dari lorong panjang yang tak terlihat.Udara di Warung Kopi Dunia Bawah seolah tertahan di antara dua napas.Karina menyandarkan tubuhnya pada meja, kedua tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Dia belum pergi,” ucapnya lirih, matanya tak lepas dari kursi seberang cangkir hitam.“Kalau memang belum pergi, kenapa cuma meninggalkan bekas duduk? Kenapa nggak nunjukkin wujud?” tanya Toyo, suaranya setengah kesal, setengah cemas.Dimas duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke arah sudut warung. “Mungkin wujudnya nggak bisa kita lihat… kecuali kita ada di waktunya dia.”“Waktunya dia?” Rani mengangkat alis.Dimas mengangguk. “Kita ini… hidup di lapisan waktu yang berbeda dari dia. Dia bisa menyentuh kita, memindahkan barang-barang, tapi kita nggak bisa langsung melihatnya kecuali masuk ke lapisan wak

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 87 – Waktu yang Tersesat di Kursi Sudut

    Fajar berikutnya datang seperti napas yang enggan. Langit memang berganti terang, tapi di Warung Kopi Dunia Bawah, cahaya pagi tidak pernah sepenuhnya masuk. Seolah di pintu warung ada tangan tak terlihat yang menyaring semua sinar, membiarkan hanya yang pucat dan tak bernyawa.Cangkir hitam itu kini berada di kursi sudut, bukan di meja bundar. Tidak ada yang memindahkannya. Atau setidaknya, tidak ada yang mengaku melakukannya.Karina duduk di bangku dekat jendela, memandangi kursi sudut itu dengan perasaan campur antara curiga dan terhisap.“Aku merasa,” ucapnya, “cangkir itu sedang menunggu seseorang duduk di depannya.”“Jangan-jangan… sudah ada yang duduk,” sahut Toyo pelan, sambil melirik kursi seberang cangkir yang kosong—kosong secara mata, tapi tidak secara udara.Waktu di warung hari itu terasa tersendat. Jam dinding tua yang biasanya tetap berdetak meski jarumnya beku, kini sama sekali tak mengeluarkan suara. Gelas-gelas kopi di rak seperti kehilangan pantulan, seakan isi rua

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 86: Langkah yang Datang dari Arah yang Tak Ada

    Fajar kelima sejak cangkir retak ditinggalkan oleh sosok kabut itu datang tanpa warna. Langit di luar warung tidak merah, tidak biru, bahkan tidak kelabu—hanya datar, seperti selembar kain putih yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, semua orang terjaga, meskipun belum ada yang memesan kopi atau membuka mulut. Cangkir retak itu diletakkan di tengah meja bundar, menghadap ke semua arah seakan sedang mengawasi. Karina memandanginya lama. "Dia tidak hilang," katanya akhirnya. "Dia meninggalkan bagian dari dirinya di sini. Retakan itu... mungkin peta." "Peta ke mana?" tanya Rani. "Ke bagian dari kita yang ingin dia ganti," jawab Aluna, suaranya datar seperti lantai kayu warung yang sudah tak menyalakan gema sejak pertemuan kemarin. Mereka memutuskan untuk memeriksa cangkir itu lebih dekat. Toyo, yang selama ini paling paham tentang bahasa benda mati, mengangkatnya dengan hati-hati. Retakannya membentuk garis berkelok yang tidak aca

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 85: Kedai Tanpa Musim

    Warung Kopi Dunia Bawah telah kembali membuka pintunya, bukan dengan dentang lonceng atau papan "buka" yang menyala terang, tetapi dengan aroma yang menggamit dan suara-suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan arah. Langit di atasnya tetap menggantung sebagai halaman kosong, menunggu untuk diisi.Tak ada musim di warung itu. Waktu berjalan dengan cara yang tidak bisa dihitung. Pagi dan malam datang seperti tamu tak diundang, kadang bersama, kadang saling menunggu. Tapi bagi Karina dan kawan-kawan, kedai itu sudah tak lagi beroperasi dalam kerangka waktu biasa. Ia menjadi tempat lintasan: bagi yang tersesat, yang menunggu, dan yang belum lahir dalam kenangan.Pagi hari itu, seorang tamu baru datang. Ia tidak membuka pintu. Tidak melangkah. Ia seperti muncul begitu saja di kursi dekat jendela, tempat cahaya biasanya enggan menyentuh.Rani yang melihatnya lebih dulu. Wajahnya bukan wajah asing, tapi juga tak dikenal. Seperti wajah dari mimpi yang pernah dilupakan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status