Hujan deras masih mengguyur pelataran Warung Kopi Dunia Bawah. Suaranya seperti genderang perang yang tak kunjung usai, mengetuk-ngetuk atap warung dan mengguyah tirai waktu. Di dalam, suasana warung tampak lebih sunyi dari biasanya. Karina duduk sendiri di pojok jendela, matanya menatap tetesan air yang berkejaran di balik kaca. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sebagian menutupi wajah yang kelihatan letih."Randi... belum pulang dari tadi sore," gumamnya pelan.Toyo yang sedang menyapu lantai, berhenti sejenak. "Masih di dunia atas, katanya. Ada kerjaan terakhir dari klien konten. Tapi katanya mau mampir malam ini."Karina mengangguk, meskipun pikirannya mengembara ke tempat lain. Sejak Randi pergi, ada sesuatu yang menggantung di udara. Bukan hanya kekhawatiran, tapi juga semacam firasat. Entah kenapa.Dimas muncul dari dapur dengan nampan berisi tiga cangkir kopi. Salah satunya dia letakkan di meja Karina. "Kopi hitam, tanpa gula. Biar bis
Dimas berdiri diam di depan etalase kaca warung kopi yang retak separuh. Matahari pagi menembus kabut tipis dunia bawah, menyinari genangan-genangan kecil dari sisa semalam yang ganjil. Toyo berdiri di belakangnya, sambil menggenggam teko kopi yang tak lagi mengepul."Mas... kamu yakin kita masih bisa buka hari ini?" tanya Toyo dengan suara pelan.Dimas tak menjawab segera. Matanya masih tertuju pada retakan kaca yang seolah menggambarkan kondisi pikirannya saat ini: rapuh, penuh cabang, dan mengarah ke mana-mana."Buka... atau tidak buka... itu urusan kecil sekarang," jawab Dimas akhirnya, suaranya serak. "Yang penting, kita masih di sini. Kita belum mati."Toyo menelan ludah, ragu. Ia menatap kursi-kursi yang tersisa, beberapa masih terbalik, satu ada yang patah. Karina muncul dari balik tirai dapur, wajahnya pucat, rambut hantu yang biasanya acak-acakan kini digelung rapi."Tamu-tamu dari Departemen Dimensi belum pergi, Mas. Mereka mas
Malam di Warung Kopi Dunia Bawah tidak pernah benar-benar tenang. Angin membawa aroma wangi kopi robusta bercampur bau asap dupa. Dimas sedang menyapu lantai kayu yang penuh jejak lumpur ketika Toyo berlari masuk dari pintu belakang dengan napas terengah."Mas Dimas! Dia datang lagi! Yang kemarin... yang bilang mau bakar warung!"Dimas menghentikan gerakan menyapunya, menoleh pelan dengan ekspresi datar. "Yang pakai jubah merah itu?""Iya! Tapi sekarang dia bawa pasukan... dan... dan... ada makhluk yang terbuat dari api!"Toyo gemetar. Karina yang sedang duduk di kursi pojok dekat rak buku, menyipitkan mata. “Kayaknya ini bukan cuma ancaman main-main.”Randi muncul dari dapur sambil membawa dua gelas kopi. “Kalau mau bikin rusuh, tunggu dulu. Setidaknya minum kopi dulu lah.”Karina berdiri. “Kalau kalian nggak siap, aku akan pergi ke atap. Lihat dari sana.”---Dari atap warung, Karina memandang ke arah gerbang dimensi yang tampak bergetar, seperti film layar lebar yang salah fokus. D
Senin pagi yang cerah mendadak berubah mendung ketika Toyo menemukan sebuah benda aneh tergeletak di meja kasir warung. Sebuah jam tangan logam dengan layar holografik yang berkedip-kedip tanpa henti, menampilkan angka waktu yang berjalan mundur: “00:12:48”.“Mas Dimas, ini jam siapa ya?” tanya Toyo sambil mengangkat benda itu dengan hati-hati.Dimas, yang sedang menyeduh kopi rempah pesanan pelanggan goblin, menoleh setengah malas. “Hah? Barang ketinggalan lagi? Mungkin pelanggan semalam. Taruh aja di laci—”Namun sebelum kalimat itu selesai, waktu di layar jam digital itu tiba-tiba berubah: “TRANSMISI DITERIMA. TARGET: WARUNG KOPI DIMENSI BAWAH. KODE: 001-VORTEX”Cahaya biru keperakan menyelimuti ruangan. Seluruh warung bergetar. Kopi di dalam gelas tumpah. Rak botol sirup rempah runtuh. Kursi bergoyang sendiri. Dan di tengah-tengah ruangan itu, sesosok pria muncul entah dari mana—rambut perak panjang, mengenakan mantel berlapis logam tipis berpendar biru, dan di punggungnya menempe
Suara gitar listrik meraung dari sudut panggung kecil yang didirikan di halaman belakang Warung Kopi Dunia Bawah. Lampu-lampu merah dan biru berkelap-kelip seperti mata iblis yang sedang menyaksikan pertunjukan. Asap dari dupa pemanggil semangat menguap ke langit yang retak seperti kaca pecah. Malam itu, konser band lintas dimensi pertama akan digelar."Cek satu dua tiga! Hei, setannya mana suaranya?!" teriak KuntiRock, vokalis utama band hantu dari alam Arwah Bimbang.Para penonton mulai berdatangan. Ada zombie berdasi, drakula tukang parkir, hingga nenek lampir yang membawa termos kopi susu. Mereka duduk dengan sopan—dengan tubuh separuh membusuk atau melayang-layang. Di antara penonton itu, tampak Dimas dan Toyo duduk di kursi kayu sambil memegangi catatan pesanan."Jadi konser ini... disponsori oleh siapa sih, Mas?" tanya Toyo sambil mengunyah donat isi lele."Nggak ada sponsor, Yo. Kita disponsori oleh utang dan niat baik aja," jawab Dimas sambil ngelus dada. "Tapi kalau malam in
Warung Kopi Dunia Bawah kembali ke suasana tenang. Setelah insiden malam sebelumnya yang melibatkan makhluk berkepala tiga dari dimensi cermin, pagi ini langit di atas gang sempit tempat warung itu berada tampak lebih suram dari biasanya. Awan-awan gelap berputar perlahan seolah menyimpan rahasia.Dimas berdiri di balik bar, menuang espresso untuk dirinya sendiri.“Pagi-pagi minumnya kopi pahit banget, Mas?” tanya Toyo sambil menyeret kaki masuk, masih mengenakan kaus bolong dan sarung melorot.“Daripada hidupmu yang pahit tapi nggak sadar-sadar, Yo,” balas Dimas santai.Toyo manyun. “Gue tuh orangnya optimis, Mas. Meski hidup kayak ini, gue yakin suatu hari warung ini bakal punya pelanggan dari planet Mars.”Dimas tertawa pendek. “Kalau dari planet Mars, mungkin udah mampir. Tapi dari jalur waktu yang buntu, itu baru aneh.”Tiba-tiba, lonceng di atas pintu berdenting. Namun yang masuk bukan manusia, bukan juga makhluk. Melainkan sebuah… bayangan.Bayangan itu membentuk siluet wanita.