Langit sore di luar warung tampak mendung, namun di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, cuaca jauh lebih kacau. Bukan karena hujan atau petir, melainkan karena emosi yang tak tertata.Sima duduk termenung di kursi rotan dekat rak buku, memegang secarik kertas usang yang baru saja ia temukan terselip di balik cermin retak di ruang belakang. Kertas itu berisi tulisan tangan seseorang—seseorang yang sangat dikenalnya, tapi tidak bisa ia ingat siapa.Tulisan itu berbunyi:> "Jika kau membaca ini, artinya aku sudah gagal. Tapi kau belum. Dan aku yakin kau bisa menyatukan ingatan yang tak pernah diceritakan… bahkan oleh waktu."Sima menatap kosong ke dinding. Dimas duduk di meja bar, menyeduh kopi sambil mencuri pandang padanya. Toyo berdiri di belakang Karina, yang tengah membaca ulang buku harian milik seseorang bernama Rani Azalia—nama yang baru saja muncul di daftar pengunjung warung, padahal Karina yakin ia pernah menghapus nama itu dari registri warung bertahun-tahun lalu.“Ada yang aneh d
Hujan deras mengguyur Kota Surya sepanjang malam, seolah langit sendiri hendak mencuci bersih apa pun yang telah melihat terlalu banyak. Warung Kopi Dunia Bawah tetap berdiri dalam diam, diterangi lampu kuning redup dan secangkir teh melati yang belum disentuh. Di dalamnya, Dimas dan timnya duduk melingkar di sekitar meja bar, di tengah tumpukan kertas, buku tamu misterius, dan catatan-catatan realitas yang mulai menyusun dirinya sendiri."Entah ini kutukan atau berkah," bisik Randi sambil membaca salah satu halaman. "Ini tulisan tangan kita... tapi kita nggak pernah nulis ini."Karina menimpali, "Buku ini mulai menulis dari ingatan yang bukan kita miliki. Dari kemungkinan yang belum terjadi. Dari masa depan yang belum memilih jalannya."Toyo, dengan mata setengah mengantuk tapi dipaksa melek oleh rasa takut, menunjuk salah satu entri yang baru muncul: 'Terima kasih atas kopi terakhir sebelum saya hilang. Saya akan mencoba bertahan di antara retakan waktu.' Namanya ditulis: Sima, frag
Hening menyelimuti ruangan belakang warung yang kini terlihat lebih asing daripada biasanya. Meja ritual yang biasanya dipakai Karina untuk merapal mantra kini kosong, hanya tersisa lilin yang sudah meleleh separuh dan secarik kertas lusuh bertuliskan aksara tua.Dimas duduk bersila, matanya kosong menatap lantai. Napasnya naik-turun, seperti sedang mencoba memahami kejadian beberapa jam sebelumnya — pertemuan dengan Suara yang bukan berasal dari dimensi mana pun yang pernah ia kenal.“Ada sesuatu yang salah…” gumamnya. “Bukan hanya portal yang terbuka. Realitas... ikut retak.”Toyo duduk di ujung ruangan, memeluk bantal dengan ekspresi waswas. “Mas... aku mimpi tadi malam. Kita semua—kayak... meledak. Tapi bukan tubuh kita. Jiwa kita yang kayak... pecah. Terbelah jadi serpihan kecil yang beterbangan ke... ke tempat yang bukan tempat.”Dimas memutar kepala pelan. “Kamu juga dengar suara itu, Toy?”Toyo mengangguk cepat. “Tapi suara itu ngomongnya pakai bahasa kayak... kertas sobek. Ak
Malam keempat sejak surat Kementerian Realitas Alternatif tiba, Warung Kopi Dunia Bawah menjadi lebih sunyi dari biasanya. Suara pintu kayu yang berderit pun terdengar seperti ledakan di keheningan itu. Lampu gantung redup menggantung di tengah ruangan, menciptakan bayangan panjang dari setiap benda. Dimas duduk di kursi kayu panjang, tangan kirinya menopang kepala. Pola akar di lengan kirinya kini sudah menjalar ke bahu."Kopi hitam, panas, dua sendok kesetiaan," ujar suara dari arah pintu.Karina yang sedang mengatur rak rempah-rempah menoleh. Sosok yang memesan adalah pria dengan wajah terbelah dua: satu sisi tampak muda dan bersih, sisi lainnya keriput dan penuh bekas luka. Ia duduk dengan tenang, tapi matanya seperti kabut yang menyimpan puluhan kehidupan."Kesetiaan dicampur pahit bisa bikin kau menyesal, Pak," jawab Karina sambil menuang air mendidih."Justru itu yang kucari. Aku datang bukan untuk rasa, tapi untuk ingatan yang tertinggal dalam setiap tegukan."Dimas berdiri pe
Warung Kopi Dunia Bawah kembali beroperasi seperti biasa, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Namun Dimas tahu, sejak ia menyerahkan namanya kepada hutan, dunia telah bergeser sedikit dari poros biasanya. Pelanggan memang masih berdatangan—hantu penasaran, arwah yang belum move on, makhluk asing dari dimensi samping—semua itu masih terjadi. Tapi nuansa di warung berubah. Ada aura lain yang seakan menunggu sesuatu terjadi.Karina memperhatikan Dimas lebih sering sekarang. Tatapannya penuh tanya dan khawatir. Kadang Dimas bisa mendengar akar-akar bicara dalam mimpinya, membisikkan nama-nama lama, perjanjian kuno, dan masa depan yang belum terjadi."Lo yakin baik-baik aja?" tanya Karina suatu malam saat warung sepi. Ia menyeduh teh melati, aroma wanginya melawan dingin udara malam.Dimas mengangguk pelan. "Kadang ngerasa kayak... aku udah bukan aku yang dulu. Tapi sejauh ini, aku masih bisa bercanda, masih bisa ngeluh soal pelanggan yang minta kopi pake air sungai suci. Jadi, masih oke la
Mobil tua milik Randi melaju perlahan di jalanan berkabut menuju Gunung Sura Langit. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam sendiri sedang mengingatkan mereka bahwa tempat yang akan dituju bukan sekadar wilayah angker biasa.Karina duduk di kursi depan, diam. Ia sudah tak bicara sejak mereka meninggalkan Warung Kopi Dunia Bawah satu jam lalu. Tatapannya kosong menembus jendela. Di pangkuannya, ia menggenggam batu segel tua berbentuk seperti mata, berdenyut perlahan dengan cahaya biru samar.“Lo yakin tempat ini aman?” tanya Toyo dari bangku belakang, memeluk tas berisi jimat dan peta kuno.“Tidak,” jawab Karina datar.Toyo menelan ludah. “Keren… keren… jadi kenapa kita ke tempat yang gak aman, dong?”“Karena kadang,” sela Dimas dari kursi sopir, “satu-satunya tempat yang bisa bantu kita… adalah tempat yang juga bisa membinasakan kita.”“Motivasi yang… ngeri,” celetuk Randi sambil merekam dengan ponselnya. “Tapi cocok buat vlog pembuka: ‘Kami mendatangi hutan t