Share

AJAKAN TETANGGA

"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya.

Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa.

"Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah.

“A--dek kesurupan,” kataku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Padahal tadi jantung rasanya hampir copot seakan hendak melompat ketika melihatnya mengamuk. Wajah ini pun nyaris terkena lemparan piring.

“Hah?! Kesurupan, Bang? Bagaimana ceritanya, kok, adek bisa kesurupan, sih, Bang?” tanya istriku yang tampak kebingungan. Kedua alisnya hampir saling bertautan.

Wanita berambut panjang itu masih berusaha mengingat yang baru saja terjadi. Bola matanya sesekali melirik ke atas juga ke bawah.

“Adek nggak ingat sama sekali dengan apa yang barusan adek alami?” tanyaku serius seraya menggenggam kedua tangannya, lalu duduk di tepi ranjang bersisian dengannya.

"Nggak, Bang," jawabnya lemah seraya menggelengkan kepala.

Bang Deni yang sedari tadi hanya diam melihat percakapan kami, beranjak dari kursi yang berada di samping pintu, perlahan ia berjalan menghampiri kami---aku dan Ani.

“Bang, namanya juga kesurupan jelas nggak ingatlah, Bang," ucap laki-laki pesilat yang berada di dekatku.

"Orang yang mudah kesurupan itu biasanya suka melamun, pikirannya kosong sehingga mudah dirasuki jin," ucapnya lagi menambahi.

"Terus gimana caranya supaya nggak gampang kesurupan?" tanyaku serius dan fokus melihat manik matanya.

"Begini, Bang. Yang pertama, karena jika pikiran kosong atau banyak pikiran orang itu mudah dirasuki, sebaiknya jika sedang ada masalah segeralah diungkapkan.

"Kedua, jangan sering marah-marah, sering-seringlah membaca istighfar lafalnya astaghfirullah al'adzim. Karena kalimat istighfar itu paling dibenci oleh setan.

"Ketiga, ketika marah ucapkan a'udzubillahiminassyaitonirrojim. Berlindung dari godaan setan yang diranjam.

"Keempat, sering-seringlah berzikir mengingat Allah.

"Kelima, setiap pagi dan sore bacalah tiga surat perlindungan yaitu: Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas dibaca tiga kali." Dengan jelas Bang Deni menjawab pertanyaan kami. Aku dan Ani menyimak dan sesekali manggut-manggut mendengar ucapannya.

"Diganggu Jin? maksud Abang, diganggu jin ... kerasukan begitu?" tanya istri tercinta kepada Bang Deni.

"Wallahu a'lam, hanya saja ciri-cirinya hampir mirip seperti apa yang tadi Mbak alami," jawab laki-laki berjaket hitam itu dengan mantap.

"Be-benar begitu, Bang?" Ani membalikkan badan ke arahku dan kini tatapannya beralih kepadaku.

"Iya, Dek," jawabku pelan.

"Jika masih kurang jelas atau belum tahu doanya datang saja ke rumahku, nanti aku ajarin doanya dan mangkuli doanya," imbuhnya.

Menit kemudian ada yang mengetuk pintu. Kami bertiga saling melihat ke arah pintu secara bersamaan.

"Assalamu'alaikum!" terdengar beberapa orang mengucapkan salam secara serempak dari luar kamar. Aku segera menjawab salam seraya membukakan pintu dengan perlahan.

"W*'alaikum--salam," suaraku agak terbata-bata karena ternyata yang ke sini rombongan tetangga. Mereka melempar senyum kepada kami. Aku tak mengira banyak tetangga yang peduli dengan keluargaku.

"Silakan masuk ibu-ibu," ucapku seraya mempersilakan mereka untuk mendekati Ani yang sedang duduk di ranjang.

Ada sekitar sepuluh orang yang menjenguk Ani, mereka berdesak-desakan di dalam ruangan kamar pasien kelas dua. Kebetulan ada dua bed sedang kosong, jadi masih agak lega tempatnya.

"Mbak Ani kesurupan, ya, Bang?" tanya mbak-mbak berbaju tosca. Kutafsir ia seumuran dengan istriku.

"Iya, Mbak," jawabku singkat dengan menyunggingkan senyum.

"Bang Andi, Mbak Ani, aku pamit pulang dulu, ya!" sela Bang Deni tiba-tiba. Ia yang sedari tadi hampir aku lupakan kehadirannya di sini.

"Eh, iya, Bang. Makasih banget udah bantuin aku dan keluargaku berkali-kali. Maafkan dianggurin nggak dijamu apa-apa," ucapku dengan rasa malu dan syukur seraya menjabat tangannya.

"Makasih, Bang. Udah peduli dengan kami," sahut Ani yang berusaha bangkit dari bed.

"Iya, sama-sama. Jangan lupa hubungi aku ke nomor W******p-ku—"

"Eh, iya, aku belum ngasih nomornya. Nomor Bang Andi berapa sini aku miscall!" pintanya seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket hitamnya.

Aku menyebutkan nomor dan sesaat kemudian ponselku berdering, lalu aku menyimpannya.

"Udah aku save ya, Bang. Baiklah aku pulang dulu! Assalamu'alaikum!"

"W*'alaikummussalam!" Kami semua yang berada di sini termasuk para tetangga yang sedang menjenguk hampir bersamaan menjawab salam Bang Deni. Aku segera mengantarkannya sampai depan pintu.

"Kasihan, ya, waktu itu Adel yang kesurupan, sekarang Mbak Ani. Besok siapa lagi, ya?" celetuk salah satu tetanggaku berambut sebahu.

"Sepertinya karena pohon asem itu. Sepertinya ... ada penunggunya," ucapnya lagi.

"Iya, kah?" sahut tetanggaku yang lain. Mbak berkacamata berhijab merah.

Mbak yang berbaju tosca tadi mendekati Ani.

"Sebaiknya Mbak ke orang pintar saja! Aku kasihan dengan keluarga Mbak Ani," Wanita itu berbisik kepada istriku sambil membenarkan posisi duduknya. Meskipun begitu aku tetap masih bisa jelas mendengarnya.

"Iya, Mbak Ani ke orang pintar saja!" sahut Mbak berambut sebahu. Aku belum mengetahui semua nama mereka---para tetangga.

"Em ... gimana, ya?" jawab Ani bingung. Ia melirikku.

"Ke sana saja, Mbak ... kalau mau ke sana nanti datang ke rumahku. Aku tau rumah orang pintar itu," sahut Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin dengan bangga.

Note: Dengarkan nasehat dari orang yang alim juga faqih agama. Kita harus saling ingat mengingatkan, saling nasehat menasehati sesama.

Maymey

Tinggalkan rate dan komen, yuk, agar aku semangat nulisnya. Terima kasih 🙏

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status