Share

Rintihan

Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….

Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur.

"Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya.

"Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.

Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.

Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang berada di seberang kontrakan. Ketika menyeberang jalan, sekilas pandanganku tertuju pada Bang Udin yang sedang sibuk melayani pelanggannya.

Sesampainya di rumah sakit, aku berjalan  terburu-buru menuju ruang UGD. Aku melihat perawat yang sedang berbincang di depan ruang UGD.

“Tolong istri saya, Sus!” ucapku setengah berteriak dan sangat panik kepada perawat yang sedang berbincang di depan ruang UGD hingga membuat para perawat sigap membantuku.

Perawat-perawat itu mendorong bed pasien dan menyuruhku untuk menurunkan Ani. Setelah menurunkannya, perawat menyuruhku untuk mendaftarkan pasien.

“Bapak, mohon melakukan administrasi pendaftaran terlebih dahulu, kami akan menangani istri Bapak!” kata perawat sambil mengarahkanku untuk menuju ke ruang pendaftaran.

Aku segera berjalan menuju pada bagian pendaftaran untuk melakukan adminstrasi pasien. Setelah semuanya beres, aku buru-buru kembali ke ruang UGD dan mendapati Ani sedang diperiksa oleh dokter.

“Bapak, kami akan melakukan tes lab untuk melihat kemungkinan infeksi,” kata perawat. 

Aku mengiyakan agar istri tercinta segera bisa diberikan penanganan maksimal. Perawat mengambil darah dari tangan istriku untuk sampel laboratorium. Ani masih merasakan kesakitan. Badannya menggelepar seperti ikan kekurangan air. Saat kupegang lengannya, terasa panas sekali. Sungguh aku tak tega melihatnya.

“Tadi sudah kami berikan obat untuk meredakan panasnya, Pak. Tunggu saja reaksinya untuk beberapa saat,” jelas perawat perempuan itu.

Setelah hasil lab datang, ternyata tidak ada masalah pada tubuh Ani. Perawat dan dokter pun ikut bingung. Semalaman aku menunggu Ani di sini. Ba'da subuh, saat aku kembali dari mushola kecil yang berada di dalam area rumah sakit, tepatnya di dekat parkiran. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku.

"Assalamu'alaikum, Bang Andi!" seru suara seorang laki-laki.

Aku menoleh, ternyata Bang Deni. Aku menghampirinya yang sedang memarkirkan motor.

"Wa'alaikumsalam, Bang," jawabku sambil menjabat tangannya.

"Tadi sepulang dari Tasikmadu aku melihat Adel sama tetangga sebelah rumah Abang,  duduk di teras, aku menghampirinya dan menanyakan keberadaan Abang."

"Setelah mendengar penjelasan tentang  apa yang terjadi pada Ani, aku langsung  saja tancap gas ke sini, Bang," imbuhnya.

"Iya, Bang ... makasih," ucapku dengan melengkungkan bibir.

"Ayo Bang, aku ingin segera melihat keadaan Mbak Ani," ajaknya.

"Iya, Bang," kami bersama-sama berjalan menuju ruang di mana istriku dirawat.

Ketika hampir sampai di depan pintu UGD,tiba-tiba perawat perempuan yang menangani istriku lari tergopoh-gopoh mendatangi kami.

"Pak, istri Bapak seperti orang kesurupan. Meskipun sudah kami usahakan tindakan dengan melakukan pembiusan tetap tidak bisa membuatnya tenang. Pasien mengamuk mengobrak-abrik ruangan, Pak!" ucap perawat panik, wajahnya ketakutan.

Bang Deni langsung berjalan cepat menuju kamar di mana Ani sedang dirawat. Benar saja, ruangan ini sudah seperti kapal pecah. Seprai, bantal berhamburan di lantai. Ranjang letaknya sudah tak beraturan lagi. Bahkan hordeng rumah sakit dirobeknya. Aku mengarahkan netra sekeliling dengan tatapan kaget dan tak percaya kalau istriku bisa berbuat rusuh seperti ini.

"Bang, tolong ambilkan segelas air!" perintah Bang Deni dengan mengulurkan tangannya.

Tidak ada air ataupun gelas berada di nakas, yang ada hanya sebotol air mineral. Gegas aku memberikan kepadanya.

"Adanya ini, Bang," ucapku panik.

"Ya udah nggak apa-apa, Bang!" ucapnya tetap dengan wajah tenang dan teduh. Ia membuka tutup botol itu dan kemudian mulutnya komat-kamit merapal doa. Jadi teringat waktu Adel kesurupan malam itu.

Laki-laki kekar berjaket hitam itu segera mendekati istriku setelah selesai membaca sesuatu dan sedikit meludah ke air minum tadi.

"Sini, Bang! Tolong Abang saja yang meminumkan pada Mbak Ani ya. Aku takut menyenggolnya karena kami bukan mahram," ucapnya seraya menyodorkan botol air mineral.

Aku mengambilnya, lalu berdiri di samping Ani. Aku berusaha keras agar bisa memegangnya karena ia masih mengamuk dan mencakar-cakar tembok. Saat aku hendak memegang tangannya, ia menepisnya.

"Ini Abang, Dek ...," Aku mencoba mengajaknya berbicara. Namun, ia tetap tak menggubrisku.

"Dek—" ucapku terpotong ketika sebuah piring terbang melayang mengarah ke wajahku. Dengan gerakan kilat Bang Deni berusaha menjegalnya.

Seketika terdengar suara piring jatuh dan pecah berkeping-keping yang akhirnya berserakan di lantai. Akhirnya, laki-laki pelatih silat yang baru kemarin pagi aku mengetahuinya melangkah dengan hati-hati agar tidak terkena pecahan piring. Ia berjalan mendekatiku dan Ani.

Bang Deni membaca sesuatu, Ani nampak kepanasan. Beberapa menit kemudian, aku berhasil menguasai tubuh Ani. Aku memegang tubuhnya kuat-kuat. Setelah amukannya agak reda, buru-buru kusodorkan botol air tadi ke mulutnya agar ia meminumnya. Aku sampai memaksanya supaya airnya benar-benar masuk ke dalam tenggorokannya.

"Basuh mukanya pakai air itu, Bang!" kata Bang Deni.

Aku segera membasuh wajah Ani secara merata. Saking paniknya bajuku sampai ketumpahan air. 

"Waktu itu Adel ... sekarang Ani. Apakah aku harus mengakhiri usaha ini?" batinku.

"Bang! Bang Andi! Tiba-tiba tangan Bang Deni mengibas di depan wajahku. Sontak aku tersadar.

"Itu Bang, istrinya udah sadar," ucapnya.

Tatapannya kosong, ia bergantian melihatku kemudian melihat Bang Deni dengan wajah yang menunjukkan kebingungan.

Note: Ruqyah itu dengan cara membacakannya ayat-ayat suci Al-Qur'an serta meniup sambil sedikit meludah ke dalam segelas atau sebotol air. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status