Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku.
"Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus.
"Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri.
"Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Kasih rate dan langganan, yuk! Agar aku semangat update-nya. Terima kasih 😊🙏
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
"Woiii ... kamu jualan apa?!Berani-beraninya, ya, jualan di sini!" Kudengar ada seseorang berbicara dengan volume yang begitu keras dari seberang jalan. Aku hendak melihat, tapi hanya mengangkat muka. Tidak menghiraukan karena sedang sibuk.Lagi-lagi ada suara orang berteriak, aku mencari suara itu, ternyata si abang penjual nasi uduk. Ia menyeberang jalan berdiri di atas pembatas jalan raya yang ditanami pohon palem sambil berkacak pinggang."Kamu, jualan apa?! Dengar nggak, sih, kamu?!" Matanya melotot, rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin yang terhempas akibat kendaraan yang sedang lalu-lalang di jalan raya tepat di depan warungku.“Kamu nggak tau apa aku juga jualan nasi! Ngapain kamu ikut-ikutan!" sambungnya lagi.Aku masih berkutat dengan pekerjaan. Pelangganku sudah lama mengantri, kasihan kalau tidak segera dilayani. Bang Udin yang kuketahui namanya semenjak menyewa kontrakan ini, tiba tiba menghampiri dan menggebrak meja. R
Ternyata bungkusan ini isinya tanah sama bunga, Dek," ucapku sembari merapikannya kembali. Saking isinya kepenuhan jadi berantakan ketika dibuka. Buru-buru aku membungkusnya kembali."Kenapa juga tadi aku membukanya di kasur?" gumamku dalam hati sambil menepuk jidat. Tanganku mengambil pasir dan bunga yang sempat berserakan di kasur.Ani yang sedari tadi duduk di sebelahku menjadi penasaran sampai memajukan sedikit kepalanya ke arah bungkusan, Adel yang dalam gendongannya sambil sesekali ditepuk-tepuknya pelan karena belum begitu pulas tidurnya."Astaghfirullah, Bang Andi! Itu maksudnya apa coba!" seru Ani. Matanya membulat sempurna, tangannya sambil mengelus dada. Matanya tak lepas memandangi bungkusan yang sedang kupegang."Nggak tau, Dek," Aku mengerutkan dahi menatap penuh tanya seraya memasukkan ke dalam kantong kresek."Sepertinya ini ... apakah ... ah ...." Lagi-lagi aku hanya membatin."Besok pagi aja, Dek, akan Abang bakar di depan
Tolong siapkan segelas air dong, Bang!" pinta Bang Deni. Adel masih menangis, anehnya ia menangis, tapi tidak mengeluarkan air mata. Tatapannya fokus pada satu tempat."Iya, Bang," jawabku singkat.Lekas aku ke dapur mengambil gelas di rak piring lalu menuangkan air dari teko. Napasku ngos-ngosan karena sangat panik."Ini, Bang!" ucapku seraya menyodorkan segelas air putih kepada Bang Deni.Sambil memegang gelas Bang Deni menggendong Adel yang masih menangis kejang-kejang dan mulutnya mulai komat-kamit seperti membaca ayat Al-Quran. Entah apa yang dibacanya akupun tak mengetahuinya.Ani gemetaran, buliran-buliran kristal meluncur dari netranya. Sambil menyeka air matanya dengan kain jarik yang masih disampirkan di bahunya. Setelah selesai membaca Bang Deni meniup juga sedikit meludah ke dalam gelas lalu segera meminumkan kepada Adel. Laki-laki kekar itu menuangkan air di tangannya kemudian membasuh wajah Adel.Tak berselang lama putri
"Dek tadi denger nggak Kak Mira ngomong apa?" tanyaku serius.Ani mengambil kain jarik di dalam lipatan keranjang. Lalu menggendong Adel. Ia menatapku dengan wajah kebingungan."Nggak, Bang. Tadi Adek fokus nyusuin, jadi nggak begitu dengar," jawabnya datar sembari mengambil uang yang semalam diletakkan di bawah kasur, memasukkannya ke dompet lalu dimasukkan lagi ke dalam saku bajunya. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal."Coba inget-inget lagi, Dek," pintaku sambil terus menatapnya."Enggak, Bang. Emang Kak Mira ngomong apa, Bang?" Ani berbalik tanya. Kini ia sudah berdiri di balik pintu."Eeem, eh, nggak papa, Dek." Sepertinya aku diam saja tidak ingin membuatnya kepikiran. Kasihan semalam kurang tidur kurang istirahat."Ih, Abang gitu!" ucap Ani agak sedikit manyun, tapi tampak menggemaskan dan tambah cantik."Ya udah, Adek ke depan dulu ya, Bang." ucapnya agak kesal, tapi suaranya masih terdengar lembut. Ani melangkah ke luar da
Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya."Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang."Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena me