Langit Jakarta sore itu kelabu. Mendung tebal bergantung seperti rahasia yang tak ingin terucap. Hujan baru reda meninggalkan genangan di trotoar dan aroma tanah basah. Di sebuah kafe, di sudut Thamrin, Andreas Wirawan duduk sendirian dekat jendela. Pria 38 tahun itu mengenakan kemeja putih digulung hingga siku, dasi birunya terlepas dan tergeletak di meja. Mata menatap kosong ke arah cangkir kopi yang dingin. Pikirannya terperangkap diantara laporan keuangan perusahaan.
Pintu kafe berderit pelan saat seorang wanita masuk. Usianya sekitar 29 tahun, dengan rambut yang sedikit basah menempel di pipi karena sisa hujan. Ia mengenakan mantel cokelat tua dan celana jeans sederhana, namun ada sesuatu dalam caranya berjalan—anggun dan penuh percaya diri—yang membuat Andreas melirik sekilas. Wanita itu memesan sesuatu di kasir, lalu berjalan kea rah meja kosong tak jauh dari Andreas. Kursi bergoyang saat wanita itu duduk. Secarik kertas jatuh dari tas-nya tanpa disadari.
Andreas memungutnya, lalu menyodorkan kertas tersebut. “Milikmu?” tanyanya sambil tersenyum.
Wanita itu menoleh sedikit terkejut. Mata cokelat tua, tajam namun hangat. “Oh, terima kasih,” katanya membalas senyum. “Aku bahkan nggak sadar itu jatuh.”
“Kalau nggak diambil, mungkin bakal diinjak orang-orang lewat,” balas Andreas.
Wanita itu tertawa ringan, kemudian duduk rapi sambil mengangguk kepada waiter. “Pahlawan kertas kecil ya?” tanyanya. “Ngomong-ngomong namaku Lara, salam kenal dan terima kasih.”
“Aku Andreas,” jawabnya singkat. Andreas menyesap kopi, meski sudah tak terlalu hangat. “Kamu sering ke sini?”
“Baru pertama kali sih. Aku tadi meeting di sini, terus hujan turun. Jadi mampir buat nunggu reda.” Lara memandang keluar jendela, lalu kembali ke Andreas. “Kamu … kelihatannya nggak terlalu menikmati kopi itu.”
Andreas tersenyum tipis dan menanggapi secara kalem. “Aku nggak di sini untuk kopinya. Sama sepertimu butuh tempat duduk diam.”
“Berat hari ini?” tanya Lara terdengar tulus.
Andreas menatapnya, ragu apakah harus menjawab. Tapi ada sesuatu dalam cara Lara bertanya—hanya ingin membuatnya bicara lebih jauh. “Bisa dibilang … pekerjaan dan orang-orang—membuat sedikit stress dan bosan.”
Lara mengangguk pelan. “Aku ngerti, karena kadang aku juga ngerasa begitu,” katanya. “Tapi aku cuma desainer freelancer, jadi mungkin skalanya berbeda. Memang apa yang kamu kerjain? Kok sampe frustasi begitu.”
Andreas terdiam sesaat.
Dia rasa Lara tak perlu tahu profesinya sebagai CEO. Lelaki itu ragu menjawab, berhubung baru bertemu wanita ini perdana. “Aku adalah pegawai swasta,” jawab Andreas. “Pekerjaan kantoran biasa bisa memberatkan juga. You know?” katanya.
“Ha ha ha, indeed,” jawab Lara. “Tapi di mataku kamu nggak kelihatan kayak pegawai biasa. Dengan kemeja digulung dan dasi dilepas—kayak orang pulsating kerja seharian.”
Andreas tertawa kecil, menyadari radar wanita ini kuat juga dalam mengenali orang-orang besar. “Enough about me. Daripada gabut menunggu hujan reda, certain soal kamu juga. Kamu sendiri desainer freelancer atau bagaimana kok membawa pentabe drawing.”
Tebakan Andreas ternyata tepat sasaran.
“Betul,” kata Lara santai. “Aku pakai ini untuk membuat logo kafe kecil. Minggu lalu juga dapat order kemasan dari perusahaan start-up,”imbuhnya. “Siapa aja yang bayar pasti kujabanin. In this economy, menjadi wanita yang tak berpenghasilan bisa diinjak jahatnya society.” Dia bicara penuh percaya diri.
Tiba-tiba waiter datang memberikan seluruh pesanan Lara. Obrolan mereka pun terjeda sesaat karena sejumlah makanan berat dan keik lucu mulai menghiasi meja. Lara mengucapkan terima kasih lalu kembali fokus ke Andreas.
“So, pegawai swasta biasanya tidur berapa jam? Soalnya melihatmu selelah ini jadi merasa beruntung aku kerja di bidang seni,” kata Lara. “Dulu pernah ingin menjadi orang berseragam dengan gaji konsisten. Tapi entahlah … begitu aku menekuni skill desain rasanya tak buruk juga,” akunya.
“Dua jam, kadang,” jawab Andreas. Ia hampir tak sadar mengungkapkan profil pribadi karena terbawa suasana. “Kamu?”
“Aku lima jam kalau santai, dan tiga jam kalau deadline,” kata Lara. “Kita sama-sama kurang tidur ya ternyata. Namun kurasa, kerjaanmu sepertinya tetap lebih berat.”
Andreas menggeleng pelan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Sejujurnya kamu terlihat aneh. Karena tak biasanya sesantai itu menanggapi orang baru.”
Lara pun membalas santai. “Aku nggak perlu takut kepada orang yang kelihatan capek kan?” Dia terkekeh. “Lagipula kantung matamu yang menghitam itu, pertanda butuh istirahat daripada menjahati seseorang.”
Andreas pun mengulum senyum tanpa tahu hari itu sebenarnya tonggak awal yang dapat mengubahnya di masa depan.
Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke