Langit Jakarta cerah untuk pertama kalinya dalam seminggu, meski kabut tipis masih menggantung di udara. Andreas melangkah masuk ke kantor di gedung bertingkat di kawasan Kuningan. Setelah absen lama, ia mengenakan jas abu-abu tua sedikit longgar—berat badannya turun beberapa kilo sejak kematian Maya. Dasi biru tua yang dipilih Rina tadi pagi ikut dipakai. Mata Andreas masih sayu dengan lingkar hitam di bawahnya tak bisa disembunyikan. Andreas memaksa diri melangkah, dan kata-kata Maharani serta Rina terus bergema di kepalanya: Kamu harus bangkit perlahan-lahan.
Lift terbuka di lantai 23, pada markas perusahaan teknologi yang ia pimpin. Karyawan yang biasanya menyapa antusias kini hanya mengangguk hati-hati. Mereka tak yakin bagaimana harus menyambut bos yang baru kembali. Bima, asistennya langsung mendekat dengan tablet di tangan. “Pak Andreas, selamat pagi! Senang Bapak akhirnya masuk lagi. Jadwal hari ini—”
“Nanti aja, Bim,” potong Andreas, suaranya serak tapi tegas. “Aku mau duduk dulu. Apa yang urgent kasih tahu saja sekarang.”
Bima mengangguk cepat. “Ada peresntasi dari tim promosi jam sepuluh, Pak. Mereka mengundang desainer freelancer buat logo produk baru kita, SmartGrid. Bapak nggak perlu ikut kalau nggak mau. Tapi mereka minta approval akhir dari Bapak.”
“SmartGrid?” Andreas mengerutkan kening, mencoba mengingat. Proyek itu sudah direncanakan sebelum Maya meninggal, tapi detailnya kabur dari kepala. “Siapa yang ngurus?”
“Bu Rika dari tim promosi, Pak,” jawab Bima. “Beliau meng-handle semuanya sejak awal. Sekarang pengerjaannya sudah separuh perjalanan.”
“Ya sudah, aku hadir,” kata Andreas. Ia tahu harus mulai kembali, meski langkahnya terasa berat. “Kasih tahu lima menit sebelum dimulai.”
Bima mengangguk dan bergegas pergi, dia meninggalkan Andreas di ruangan, duduk di kursi kulit besar. Memandang meja yang masih penuh kertas dan laptop mati. Ia menyalakan layar tak sempat membaca e-mail karena pikirannya melayang ke ranjang kosong Maya. Andreas pun mengusap wajah, mencoba fokus.
***
Jam sepuluh kurang lima, Bima mengetuk pintu. “Pak, waktunya.”
Andreas mengangguk, berdiri, dan berjalan ke ruang rapat di ujung koridor. Di dalam, tim promosi sudah berkumpul—Rika, kepala divisi bersama tiga staff-nya duduk di kursi sudut bersama seorang wanita yang membuat Andreas terhenyak sesaat. Lara, rambutnya yang basah dulu kini terlihat rapi nan csntik. Ia mengenakan blazer cokelat dan membawa tablet beserta sketsa di tangan. Lara tak langsung melihat Andreas karena sibuk menata meja dan peralatan.
“Pak Andreas, selamat pagi,” sapa Rika ceria. Tak menyadari keterkejutan di wajah bos-nya. “Kami senang Bapak bisa hadir. Ini Lara desainar yang kami undang untuk presentasi logo SmartGrid.”
Lara menoleh dan matanya membesar saat mengenali Andreas. “Oh … kamu?” katanya spontan menutup mulut, tersenyum kikuk. “Maksud saya selamat pagi.”
Andreas mengangguk kaku. “Pagi, saya nggak tahu kamu yang datang,” ucapnya langsung switch berbahasa formal juga.
“Saya malah tidak menyangka kamu di sini,” balas lara dengan perasaan takjub. “Pegawai swasta biasa ya Pak?” usilnya.
Rika mengerutkan kening, bingung. “Apakah kalian berdua kenal?” tanyanya.
“Kami sempat ngobrol di kafe minggu lalu waktu hujan,” jawab Andreas singkat. Dia pun duduk di kursi utama. “Lanjut aja, Rika. Aku cuma pengen rapat cepat selesai,” katanya.
Rika mengangguk, memberi isyarat kepada Lara. “Oke, silahkan dimulai, Lara.”
Lara berdiri menyalakan proyektor dan menampilkan sketsa pertama. “Jadi, ini konsep awal buat SmartGrid. Saya ambil tema ‘koneksi dan energi’—garis simpel tapi dinamis berwarna biru sama hijau membuat kesan modern sustainable. Ini draft satu, kalian bisa lihat di sini.”
Tim promosi mengangguk. Rika mencatat sesuatu, tapi Andreas menatap layar tanpa benar-benar fokus. Pikirannya terpecah antara logo di hadapan dan kebetulan aneh ini. Lara yang membuatnya tertawa kecil di kafe, kini berdiri di ruang rapatnya.
“Menurut Anda bagaimana, Pak?” tanya Rika tiba-tiba, membuat Andreas tersadar.
“Eh … bagus,” jawabnya cepat, lalu menambahkan. “Maksudku garisnya clean, tapi mungkin warnanya dibikin lebih bold karena produk ini harus kelihatan eyecatching.”
Lara mengangguk, tersenyum tipis. “Noted, saya akan revisi birunya menjadi lebih tajam. Hijau-nya bagaimana, Pak? Terlalu soft?”
“Tidak, hijaunya Pas,” kata Andreas, nadanya mulai stabil. “Cuma pastikan tidak hilang ketika dicetak kecil.”
“Deal,” balas Lara, lalu melanjutkan ke sketsa berikutnya. “Ini konsep kedua, lebih minimalis dan saya memainkan bentuk grid supaya makin nyambung dengan nama produk.”
“Hm, oke.”
Rapat berlangsung tiga puluh menit dan Andreas mulai terlibat. Ia bertanya soal font, kontras, dan aplikasi logo di media digital. Hal-hal yang dulu ia kuasai dengan mudah. Lara menjawab dengan santai, tapi professional. Sesekali melempar senyum kecil yang entah kenapa tak membuat Andreas sepenuhnya acuh.
Begitu rapat selesai, tim promosi berpencar, tapi Lara masih membereskan barang. Andreas berdiri, lalu mendekat meskipun ragu. Ia rasa perlu menyapa wanita ini karena memang pernah bersua.
Lara tertawa ringan. “Ini kebetulan banget ya? Aku kira kamu beneran hanya pegawai biasa. Ternyata … apa, bos besar?” godanya jahil.
Andreas tersenyum tipis, untuk pertama kalinya ia merasa bebannya agak terangkat semenjak Maya meninggal. “Aku nggak berharap kamu percaya juga, tapi lebih amannya bilang begitu di hadapan orang asing. Aku rasa tidak penting juga seseorang tahu bahwa aku bekerja ini dan itu.”
“Salahku sendiri,” balas Lara mengangkat bahu. “Tapi serius, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini. Logo yang kubikin penting buat kamu ya?”
Andreas mengangguk pelan. “Iya, produk ini harus berhasil. Aku nggak boleh gagal lagi.”
Lara memandangnya dengan mata cokelat tua seolah membaca sesuatu. “Kamu nggak kelihatan kayak orang gampang gagal,” katanya. “Capek iya, tapi gagal sepertinya nggak cocok buat kamu. Inget itu.”
Andreas terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Lara mengambil tas selempangnya, lalu berkata. “Aku revisi logonya, terus kirim ke tim kamu besok. Kalau ada masukan lagi, bilang aja ya?”
“Ya,” jawab Andreas singkat. Lalu menambahkan. “Terima kasih udah datang.”
Lara tersenyum lebar. “Sama-sama, dan jangan lupa ngopi biar capeknya ilang,” katanya. “Bos besar harusnya penuh semangat biar anak buah tertular oleh visi misimu.” Tangan mengepal kecil seolah menyemangati balita belajar jalan. Ia berjalan keluar meninggalkan Andreas dengan perasaan aneh—campur lega, kagum, dan sesuatu yang tak bisa dia definisikan.
Hari itu Andreas merasakan kantor bukan lagi sebuah tempat dengan beban. Ada garis baru yang mulai terbentuk, meski kabur di hatinya belum sepenuhnya hilang.
Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke