"CUT!"
Nardo berteriak cukup keras, menghentikan segala adegan para pemain dalam set yang telah ia rancang di depannya. Raut tampan pria itu terlihat tak puas. Baginya, akting aktor dan aktrisnya kali ini belum mencapai titik sempurna, tidak sesuai dengan ekspektasinya.Nardo adalah seorang Sutradara muda yang terkenal perfeksionis. Lewat tangan dinginnya, telah lahir beberapa judul film yang meledak di pasaran, mengantarkan dirinya beserta para pemain yang tergabung di dalamnya mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi.Dan kali ini Nardo tengah mengerjakan sebuah project film horor. Ia menggandeng banyak aktor dan aktris yang namanya tengah berkibar di blantika perfilman Indonesia. Salah satunya adalah Almera, aktris yang tergabung dalam naungan MK Entertainment; sebuah agency yang didirikan oleh kedua orang tua Nardo. MK merupakan singkatan dari nama keduanya, Manfredo Austerlitz dan Karina Wibisono.Kedua pemain film berbeda jenis kelamin di sana terlihat membungkukkan badannya sejenak sebagai tanda hormat sebelum kembali menatap ke arah sutradara mereka, menanti kata yang selanjutnya akan terucap dari mulut Nardo. Sedangkan Nardo hanya menatap lurus pada salah satunya, yaitu si aktris cantik yang kedapatan sering kali mencuri pandang padanya. Hal itulah yang menurut Nardo membuat akting gadis itu menjadi kurang maksimal di matanya."Harap fokus, Al. Tatapan kamu harusnya tertuju ke lawan mainmu, bukan ke arah sini." Setelah mengucapkan kalimat serupa teguran pada aktrisnya, Nardo mengalihkan atensi ke layar periksa kamera, melihat ulang scene yang sudah diambil. Lagi-lagi ia berdecak kesal."Maaf, Kak." Cuma kata itu yang mampu Almera ucapkan sambil menundukkan kepala. Ah, lagi-lagi ia tidak mampu menahan perasaan yang ia punya. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan para kru dan pemain film tentang dirinya yang memendam rasa pada Sang sutradara muda.Di tempatnya, Nardo kedapatan menarik napas panjang, sepertinya dia sedang mencoba bersabar. Selanjutnya pria itu menoleh pada seorang make-up artist yang berdiri tak jauh dari posisinya, memberikan perintah. "Tolong rok Nona Almera yang sebelah kanan kamu rapikan, sekalian pertegas luka di pipinya agar terlihat lebih natural.""Baik, Kak." Dan anggukan beserta tindakan cepat segera Nardo dapatkan darinya."Oke, kita break dulu. Tiga puluh menit." Setelah berucap begitu, Nardo kembali duduk di kursinya. Tentu para kru dan pemain satu-persatu mulai membubarkan diri dari lokasi.Mengawasi jalannya proses syuting tidak semudah yang banyak orang pikirkan, terkadang Nardo menemui stres berat ketika apa yang sudah tergambar dalam benak tidak sesuai dengan realita. Salah satu tangannya terlihat mengurut kepala, sedangkan tangannya yang lain tampak mengambil sebuah kotak rokok dari dalam saku celana.Kini sebatang rokok sudah terselip di antara celah bibir Nardo. Ketika dia hendak menyalakan ujungnya dengan pemantik, seseorang menarik paksa benda silinder itu. Tentu saja hal tersebut dihadiahi tatapan protes Si pria meskipun ia terlihat sedikit terkejut ketika kedua mata birunya mendapati presensi Sang pelaku."Kan aku sudah bilang kalau rokok itu nggak baik untuk kesehatan kamu, Sayang. Pernikahan kita tinggal sebentar lagi, aku nggak mau kalau kamu sakit nanti." Suara feminin teralun dari celah bibir perempuan itu. Betul, dia adalah Naomi, calon istri Si sutradara muda."Oh, ayolah ... cuma sebatang saja, Liebling. Aku sedang pusing, syuting kali ini tidak berjalan terlalu lancar," ujar Nardo, berusaha bernegosiasi ketika sebatang nikotin miliknya telah berpindah tangan.Naomi menggelengkan kepala seraya memejamkan mata, menolak tegas permintaan calon suaminya. "No, no, no ... kamu tetap tidak boleh. Ganti dengan ini saja, Mas." Lalu dia menyerahkan sesuatu yang ia bawa di tangan kiri."Hah?" Nardo mengerutkan dahinya, bergantian menatap benda di depannya kemudian beralih pada wajah cantik Sang kekasih hati. Sesuatu yang memancing Naomi untuk memutar kedua bola mata."Lollipop. Jangan bilang kamu tidak tahu benda apa itu?""Tentu aku tahu," jawab Nardo. Tentu saja dirinya tahu jika benda bulat, manis, dan bergagang itu adalah permen lollipop. Yang tidak ia mengerti adalah alasan kenapa Naomi justru memberinya benda itu."Sini, biar aku bukakan." Merasa tidak mendapatkan respons, Naomi kembali menarik tangan kanannya, membuka pembungkus permen itu, lalu memasukkannya ke dalam mulut Nardo begitu saja.Dan yah ... tidak ada penolakan dari pria itu, meskipun alis pirang Nardo tampak naik salah satu."Nah, begini lebih baik. Mr. Lollipop, eh? Hihi." Naomi tersenyum puas kemudian terkikik geli melihatnya. Ekspresi datar Nardo tampak begitu lucu ketika sebuah permen loli terselip di antara kedua belah bibir merah kecoklatan pria itu."Aku merasa seperti anak kecil. Ini sangat tidak macho, Sayang." Tentu saja Nardo melayangkan sebuah bentuk protes, namun tetap tidak membuang benda manis itu dari mulutnya. Ketika berucap, gagang permen di mulutnya tampak bergerak-gerak.Melihatnya, Naomi tertawa merdu lalu memeluk leher calon suaminya. Dirinya merasa gemas. "Tidak. Kamu justru terlihat manis, Sayang. Aku jadi tambah cinta." Karena posisi Nardo yang sedang duduk di kursi sutradara, membuat Naomi menduduki pangkuannya dengan manja, mengabaikan fakta jika interaksi keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang masih tersisa di sekitarnya."Omong-omong, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu ada pentas menari hari ini?" Nardo bertanya setelah mencabut permen loli dari mulutnya."Aku cuma mau mampir, apa tidak boleh?"Ya, Naomi memang sengaja mampir ke lokasi syuting kekasihnya sebelum menuju ke tempat ia akan melakukan pementasan tari di gedung Teater Dirgantara. Kebetulan lokasi gedung teater tersebut memang dekat dengan lokasi syuting yang berada di salah satu gedung tua dekat Stasiun kota."Tentu saja boleh, Liebling." Kali ini Nardo yang terkekeh. Melihat wajah Sang kekasih yang sedang cemberut dalam jarak begitu dekat membuat dirinya pun merasa gemas. Salah satu tangan pria itu bahkan sudah melingkari pinggang Naomi."Aku sengaja menemuimu lebih dulu untuk meminta ini." Tanpa disangka-sangka, Naomi menyatukan bibirnya dengan bibir Nardo dengan tiba-tiba. Walaupun sedikit terkejut, Nardo tetap membalasnya."Kenapa tiba-tiba, hm?" tanya pria itu setelah tautan bibir mereka terlepas.Naomi tidak langsung menjawabnya, ada jeda beberapa detik yang ia gunakan untuk menarik napas dalam-dalam. "Sejujurnya aku sedang demam panggung. Pentas kali ini berskala besar, aku hanya sedang butuh suntikan semangat dari kamu."Mendengar alasan dari mulut Naomi, senyum Nardo kembali terkembang sempurna. "Kamu akan mendapatkannya sebanyak yang kamu mau. Mau lagi?" dan kalimatnya diakhiri oleh sebuah tawaran."Yes." Ketika satu jawaban lolos dari mulut Naomi, kedua belah bibir mereka kembali bertemu. Nyatanya berciuman tidak hanya membuat kegugupan Naomi sirna, bahkan rasa stres Nardo pun turut lenyap seketika.***Tbc...Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykid
Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk
Ada sesuatu yang berbeda dari Naomi hari ini. Wajah jelita itu tampak lebih murung dari biasanya, lebih muram dari sebelumnya. Bahkan gadis itu seakan tak menyadari ketika Nardo beberapa kali memberinya pertanyaan. Sebagai calon suami, tentu Nardo merasa khawatir. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, namun satu hal yang paling mendominasi; Naomi marah padanya setelah insiden malam di mana ia menolak untuk 'tidur bersama'.Sedikit menggelengkan kepala, Nardo kembali mendorong kursi roda Naomi menuju bangsal rawat inap Chiara, calon adik iparnya. Nardo adalah seseorang yang paling tahu bagaimana Naomi, tidak mungkin gadis itu menjadi benci padanya hanya karena hal sepele seperti itu, apalagi setelahnya Naomi sempat mengutarakan cinta. Maka dari itu ia mencoba berpikir positif, barangkali Naomi hanya merasa gugup dan kelelahan setelah beberapa jam ini mengecek segala persiapan karena upacara pernikahan mereka akan dilaksanakan keesokan harinya. "Nah, kita udah sampai." Senyuman Nardo
"Kamu jangan begadang malam ini." Nardo memberikan nasihatnya pada sang calon istri. Mereka sudah ada di teras rumah Naomi sekarang, mengantarkan gadis itu pulang. Posisi pria itu berjongkok di depan kursi roda si calon istri, menatap dalam-dalam mata indah yang selalu mampu membuat dadanya bergetar."Siap, kamu juga." Naomi memberikan senyum seadanya. Ia memejamkan mata ketika Nardo memberikan sebuah ciuman di keningnya. "Aku pulang dulu kalau begitu.""Mas Nardo ..."Pria itu urung bangkit berdiri ketika Naomi menyebut namanya. Ketika ia kembali menatap mata sang calon istri, terdapat berbagai macam emosi yang mampu tertangkap oleh kedua mata birunya. Emosi yang entah mengapa tak mampu Nardo mengerti.Sedangkan Naomi tak langsung mengucapkan maksudnya, sesaat gadis itu tampak meragu. Namun, tepat di detik ke sepuluh, pada akhirnya sebuah kalimat mengalir begitu saja dari mulutnya. "Aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi nanti, tolong jaga dirimu baik-baik."Janggal.Sungguh, Nardo s