Malam sudah semakin larut saat Chiara melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai pertama. Ia baru saja selesai mandi setelah makan malam bersama keluarga, calon Kakak ipar, serta sahabatnya tadi. Dan sekarang Chiara berencana untuk mencari ibu dan ayahnya, mau menonton televisi bersama di ruang keluarga.
Tapi sebelum kedua kakinya menjejak tangga, kedua mata gadis itu sudah lebih dulu melihat presensi Naomi dari celah pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Kakaknya itu terlihat sedang sibuk merapikan sesuatu di dalam sana. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Chiara urung untuk turun ke bawah, langkah kakinya memutar memasuki kamar kakaknya."Wah, Kakak rajin banget! Chia makin yakin, pasti pentas Kakak akan sukses besar nanti," ucap Chiara sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya.Naomi menoleh, tersenyum ketika melihat Chiara menghampirinya dan bergegas duduk di sisinya pada tepi ranjang."Ameen. Semoga saja, ya ... lumayan, hitung-hitung buat beli tiket honeymoon." Naomi menimpali seraya memasukkan atribut menarinya ke dalam tas."Memangnya Kakak mau pergi berbulan madu ke mana?"Gerakan Naomi terhenti setelah mendengar pertanyaan Sang adik. Ia terlihat tengah berpikir. "Sebenarnya Kakak masih bingung, sih. Menurut kamu, jauh lebih indah mana? Maldives atau Italia?" tanyanya.Chiara menarik bola matanya ke atas seraya menggosokkan jari telunjuknya ke dagu seakan sedang berpikir keras."Hmm ... kalau menurut Chia, Paris lebih romantis dari keduanya deh, Kak. Nanti kalian bisa berfoto mesra di pinggir sungai Seine yang terkenal itu. Sambil berpelukan sama berciuman mungkin? Aaaa ...!" dan kalimat itu berakhir dengan teriakan heboh gadis itu ketika angannya terbang ke mana-mana, disertai dengan wajahnya yang sedikit merona.Sedangkan Naomi segera menggetok kepala Chiara, menghentikan segala pemikiran liar adiknya. Hal itu berhasil menghadirkan pekikan kesakitan dari Chiara. Yah, meskipun aslinya tidak benar-benar sakit."Jangan berkhayal yang aneh-aneh, kamu masih kecil!" tegurnya dengan lirikan sebal. Hanya sejenak, karena selanjutnya ekspresi Naomi berubah penasaran ketika bertemu pandang dengan Chiara. "Eh, by the way ... kamu makin dekat sama Evan, ya?""Maksud Kakak?" Chiara mengerutkan dahinya tidak mengerti. Ia dan Evan memang sudah dekat dari dahulu. Jadi, apa masalahnya?"Hati-hati ... Kakak cuma khawatir kalau nanti kamu akan jatuh cinta sama dia."Sungguh, mendengar ucapan kakaknya, membuat Chiara tertawa terpingkal. Ia tidak menyangka kalau kakaknya akan berucap seperti itu padanya."Chia? Jatuh cinta sama Evan? Hahaha ... itu hal mustahil, Kak. Evan itu orangnya mesum, sama sekali bukan tipe cowok idamannya Chia."Naomi menaikkan sebelah alisnya. "Terus, cowok idaman kamu itu yang seperti apa, hm?""Yah ... kira-kira sebelas dua belas lah sama kak Nardo. Jangan cemburu, ya ...." Chiara menghentikan tawanya. Ia kembali menatap Sang kakak dengan menyipitkan mata, namun tidak melunturkan senyumannya."Mana ada kakak cemburu? Justru kakak akan berharap hal yang sama." Naomi mempertemukan tatapan mata. "Mas Nardo memang tipe pria yang nyaris sempurna, kakak mengakui itu. Dia baik, tampan, perhatian, mapan. Wah, sangat suamiable sekali, bukan?"Senyum Chiara berubah tulus mendengarnya. Sungguh, ia turut merasa bahagia ketika kakaknya terlihat begitu bahagia. "Kakak beruntung banget akan jadi istrinya suatu saat nanti.""Dan Kakak sangat berharap kalau adik kakak yang manis ini suatu hari nanti akan mendapatkan suami yang baik seperti calon suami kakak."Entah bagaimana dada Chiara berdegup kencang setelah mendengar ucapan Naomi. Ia membatu seiring suasana hatinya mulai tak menentu. Meskipun ucapan Naomi merupakan hal yang wajar sebagai bentuk dari kepeduliannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya, namun entah kenapa ada sedikit perasaan takut di sudut hati Chiara.Perkataan Sang kakak bagai sebuah wasiat untuknya."A-apa sih ... Chia masih dua puluh tahun, tahu! Jangan melantur, deh! Chia tidak berminat untuk menikah muda." Untuk mengalihkan suasana hati, Chiara segera mengelak dengan kekehan ringan. Yah, meskipun pipinya sedikit tampak kemarahan.Dan nyatanya hal tersebut berhasil membuat Sang Kakak tertawa, sebab ia merasa berhasil menggoda adiknya."Hahaha ... kalau pacar bagaimana? Sudah punya belum? Mau kakak carikan?" ketika bertanya, Naomi menaik-turunkan alisnya."Mentang-mentang sudah mau nikah, suka banget menghina adikmu yang jomblo ini. Kakak menyebalkan!" Chiara melirik sinis kakaknya seraya mengerucutkan bibir lucu."Sama Evan saja kalau gitu. Kakak lihat Evan sepertinya suka sama kamu.""Hah? Dia sukanya M** K******, bukan Chia!" sangkalnya dengan menyebutkan nama salah satu artis film dewasa, kemudian ia kembali tertawa.***Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 9 malam saat Chiara mendaratkan pantatnya di pinggiran ranjang. Dia baru saja mencuci muka berikut tangan dan kaki tadi, dan sekarang dirinya hendak mengistirahatkan badannya untuk menjemput mimpi.Setelah mengatupkan kedua tangan di dada demi merapal doa, gadis manis itu memosisikan dirinya terbaring miring. Matanya sudah memberat, namun sebelum kantuk benar-benar merenggut kesadarannya, sebuah dering yang berasal dari ponselnya menyita atensi."Hm?" masih dengan separuh mata hazel yang menutup, Chiara mengangkat teleponnya."Tugas dari Mrs. Andin sudah siap?" tanya seseorang di ujung telepon. Tanpa perlu membaca kontaknya pun Chiara tahu bahwa penelepon adalah Evan."Kenapa? Kamu mau menyontek?" gadis itu menjawab dengan nada malas."Enak saja! Begini-begini aku masih punya otak yang cukup encer, tahu! Aku cuma mengingatkan, kamu kan pelupa. Takutnya kamu dihukum seperti kemarin." Gerutuan dari Evan menyambut telinga Chiara. Gadis itu membuka mata kemudian memutar bola matanya, pertanda bahwa dia sedang bosan atas ocehan Si pemuda. Evan benar-benar menganggu tidurnya."Memangnya kenapa kalau aku dihukum? Apa pedulimu, hm?""Serius kamu masih bertanya begitu? Aku kan sahabatmu, tentu saja aku peduli lah! Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa, Chia."Dan atas ucapan Evan, Chiara tertawa-tawa."Haha ... kamu terdengar seperti sedang khawatir sama pacar kamu loh, Van. Ah, jangan-jangan ...." gadis itu sengaja menggantung kata saat ucapan Sang kakak kembali teringat di kepala, tepatnya pada perkataan Naomi yang berkata bahwa Evan menyukainya."Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan apa yang dikatakan Kak Nao memang benar?" Chiara bertanya-tanya, terlebih pada dirinya sendiri.Apakah hal itu memang benar?Namun, logika Chiara selalu saja menyangkal. Rasa kantuknya pun menguap seketika."Memangnya Kak Nao bilang apa?" suara pemuda itu terdengar penasaran juga pada akhirnya."Ah, tidak. Tidak jadi. Haha." Di detik itulah Chiara memilih untuk menertawai pemikirannya. Bisa-bisanya dia terpengaruh ucapan Naomi, karena Evan yang menyukainya adalah hal yang sangat mustahil terjadi. Dan dia memilih untuk mengalihkan pembicaraan seraya menggeleng singkat. "Sudah, tidur sana! Sudah malam.""Ya sudah. Selamat tidur, Chia. Mimpikan aku, ya?""Najis!" Chiara tertawa sebelum benar-benar mematikan sambungan teleponnya. Ah, ia akan mematikan ponselnya saja agar tak ada yang bisa lagi mengganggu tidurnya.***Tbc..."CUT!" Nardo berteriak cukup keras, menghentikan segala adegan para pemain dalam set yang telah ia rancang di depannya. Raut tampan pria itu terlihat tak puas. Baginya, akting aktor dan aktrisnya kali ini belum mencapai titik sempurna, tidak sesuai dengan ekspektasinya.Nardo adalah seorang Sutradara muda yang terkenal perfeksionis. Lewat tangan dinginnya, telah lahir beberapa judul film yang meledak di pasaran, mengantarkan dirinya beserta para pemain yang tergabung di dalamnya mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Dan kali ini Nardo tengah mengerjakan sebuah project film horor. Ia menggandeng banyak aktor dan aktris yang namanya tengah berkibar di blantika perfilman Indonesia. Salah satunya adalah Almera, aktris yang tergabung dalam naungan MK Entertainment; sebuah agency yang didirikan oleh kedua orang tua Nardo. MK merupakan singkatan dari nama keduanya, Manfredo Austerlitz dan Karina Wibisono.Kedua pemain film berbeda jenis kelamin di sana terlihat membungkukkan badannya
Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykid
Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk
Ada sesuatu yang berbeda dari Naomi hari ini. Wajah jelita itu tampak lebih murung dari biasanya, lebih muram dari sebelumnya. Bahkan gadis itu seakan tak menyadari ketika Nardo beberapa kali memberinya pertanyaan. Sebagai calon suami, tentu Nardo merasa khawatir. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, namun satu hal yang paling mendominasi; Naomi marah padanya setelah insiden malam di mana ia menolak untuk 'tidur bersama'.Sedikit menggelengkan kepala, Nardo kembali mendorong kursi roda Naomi menuju bangsal rawat inap Chiara, calon adik iparnya. Nardo adalah seseorang yang paling tahu bagaimana Naomi, tidak mungkin gadis itu menjadi benci padanya hanya karena hal sepele seperti itu, apalagi setelahnya Naomi sempat mengutarakan cinta. Maka dari itu ia mencoba berpikir positif, barangkali Naomi hanya merasa gugup dan kelelahan setelah beberapa jam ini mengecek segala persiapan karena upacara pernikahan mereka akan dilaksanakan keesokan harinya. "Nah, kita udah sampai." Senyuman Nardo