Share

Bab 2 - wasiat?

Malam sudah semakin larut saat Chiara melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai pertama. Ia baru saja selesai mandi setelah makan malam bersama keluarga, calon Kakak ipar, serta sahabatnya tadi. Dan sekarang Chiara berencana untuk mencari ibu dan ayahnya, mau menonton televisi bersama di ruang keluarga.

Tapi sebelum kedua kakinya menjejak tangga, kedua mata gadis itu sudah lebih dulu melihat presensi Naomi dari celah pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Kakaknya itu terlihat sedang sibuk merapikan sesuatu di dalam sana. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Chiara urung untuk turun ke bawah, langkah kakinya memutar memasuki kamar kakaknya.

"Wah, Kakak rajin banget! Chia makin yakin, pasti pentas Kakak akan sukses besar nanti," ucap Chiara sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya.

Naomi menoleh, tersenyum ketika melihat Chiara menghampirinya dan bergegas duduk di sisinya pada tepi ranjang.

"Ameen. Semoga saja, ya ... lumayan, hitung-hitung buat beli tiket honeymoon." Naomi menimpali seraya memasukkan atribut menarinya ke dalam tas.

"Memangnya Kakak mau pergi berbulan madu ke mana?"

Gerakan Naomi terhenti setelah mendengar pertanyaan Sang adik. Ia terlihat tengah berpikir. "Sebenarnya Kakak masih bingung, sih. Menurut kamu, jauh lebih indah mana? Maldives atau Italia?" tanyanya.

Chiara menarik bola matanya ke atas seraya menggosokkan jari telunjuknya ke dagu seakan sedang berpikir keras.

"Hmm ... kalau menurut Chia, Paris lebih romantis dari keduanya deh, Kak. Nanti kalian bisa berfoto mesra di pinggir sungai Seine yang terkenal itu. Sambil berpelukan sama berciuman mungkin? Aaaa ...!" dan kalimat itu berakhir dengan teriakan heboh gadis itu ketika angannya terbang ke mana-mana, disertai dengan wajahnya yang sedikit merona.

Sedangkan Naomi segera menggetok kepala Chiara, menghentikan segala pemikiran liar adiknya. Hal itu berhasil menghadirkan pekikan kesakitan dari Chiara. Yah, meskipun aslinya tidak benar-benar sakit.

"Jangan berkhayal yang aneh-aneh, kamu masih kecil!" tegurnya dengan lirikan sebal. Hanya sejenak, karena selanjutnya ekspresi Naomi berubah penasaran ketika bertemu pandang dengan Chiara. "Eh, by the way ... kamu makin dekat sama Evan, ya?"

"Maksud Kakak?" Chiara mengerutkan dahinya tidak mengerti. Ia dan Evan memang sudah dekat dari dahulu. Jadi, apa masalahnya?

"Hati-hati ... Kakak cuma khawatir kalau nanti kamu akan jatuh cinta sama dia."

Sungguh, mendengar ucapan kakaknya, membuat Chiara tertawa terpingkal. Ia tidak menyangka kalau kakaknya akan berucap seperti itu padanya.

"Chia? Jatuh cinta sama Evan? Hahaha ... itu hal mustahil, Kak. Evan itu orangnya mesum, sama sekali bukan tipe cowok idamannya Chia."

Naomi menaikkan sebelah alisnya. "Terus, cowok idaman kamu itu yang seperti apa, hm?"

"Yah ... kira-kira sebelas dua belas lah sama kak Nardo. Jangan cemburu, ya ...." Chiara menghentikan tawanya. Ia kembali menatap Sang kakak dengan menyipitkan mata, namun tidak melunturkan senyumannya.

"Mana ada kakak cemburu? Justru kakak akan berharap hal yang sama." Naomi mempertemukan tatapan mata. "Mas Nardo memang tipe pria yang nyaris sempurna, kakak mengakui itu. Dia baik, tampan, perhatian, mapan. Wah, sangat suamiable sekali, bukan?"

Senyum Chiara berubah tulus mendengarnya. Sungguh, ia turut merasa bahagia ketika kakaknya terlihat begitu bahagia. "Kakak beruntung banget akan jadi istrinya suatu saat nanti."

"Dan Kakak sangat berharap kalau adik kakak yang manis ini suatu hari nanti akan mendapatkan suami yang baik seperti calon suami kakak."

Entah bagaimana dada Chiara berdegup kencang setelah mendengar ucapan Naomi. Ia membatu seiring suasana hatinya mulai tak menentu. Meskipun ucapan Naomi merupakan hal yang wajar sebagai bentuk dari kepeduliannya sebagai seorang kakak terhadap adiknya, namun entah kenapa ada sedikit perasaan takut di sudut hati Chiara.

Perkataan Sang kakak bagai sebuah wasiat untuknya.

"A-apa sih ... Chia masih dua puluh tahun, tahu! Jangan melantur, deh! Chia tidak berminat untuk menikah muda." Untuk mengalihkan suasana hati, Chiara segera mengelak dengan kekehan ringan. Yah, meskipun pipinya sedikit tampak kemarahan.

Dan nyatanya hal tersebut berhasil membuat Sang Kakak tertawa, sebab ia merasa berhasil menggoda adiknya.

"Hahaha ... kalau pacar bagaimana? Sudah punya belum? Mau kakak carikan?" ketika bertanya, Naomi menaik-turunkan alisnya.

"Mentang-mentang sudah mau nikah, suka banget menghina adikmu yang jomblo ini. Kakak menyebalkan!" Chiara melirik sinis kakaknya seraya mengerucutkan bibir lucu.

"Sama Evan saja kalau gitu. Kakak lihat Evan sepertinya suka sama kamu."

"Hah? Dia sukanya M** K******, bukan Chia!" sangkalnya dengan menyebutkan nama salah satu artis film dewasa, kemudian ia kembali tertawa.

***

Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 9 malam saat Chiara mendaratkan pantatnya di pinggiran ranjang. Dia baru saja mencuci muka berikut tangan dan kaki tadi, dan sekarang dirinya hendak mengistirahatkan badannya untuk menjemput mimpi.

Setelah mengatupkan kedua tangan di dada demi merapal doa, gadis manis itu memosisikan dirinya terbaring miring. Matanya sudah memberat, namun sebelum kantuk benar-benar merenggut kesadarannya, sebuah dering yang berasal dari ponselnya menyita atensi.

"Hm?" masih dengan separuh mata hazel yang menutup, Chiara mengangkat teleponnya.

"Tugas dari Mrs. Andin sudah siap?" tanya seseorang di ujung telepon. Tanpa perlu membaca kontaknya pun Chiara tahu bahwa penelepon adalah Evan.

"Kenapa? Kamu mau menyontek?" gadis itu menjawab dengan nada malas.

"Enak saja! Begini-begini aku masih punya otak yang cukup encer, tahu! Aku cuma mengingatkan, kamu kan pelupa. Takutnya kamu dihukum seperti kemarin." Gerutuan dari Evan menyambut telinga Chiara. Gadis itu membuka mata kemudian memutar bola matanya, pertanda bahwa dia sedang bosan atas ocehan Si pemuda. Evan benar-benar menganggu tidurnya.

"Memangnya kenapa kalau aku dihukum? Apa pedulimu, hm?"

"Serius kamu masih bertanya begitu? Aku kan sahabatmu, tentu saja aku peduli lah! Aku tidak mau kamu kenapa-kenapa, Chia."

Dan atas ucapan Evan, Chiara tertawa-tawa.

"Haha ... kamu terdengar seperti sedang khawatir sama pacar kamu loh, Van. Ah, jangan-jangan ...." gadis itu sengaja menggantung kata saat ucapan Sang kakak kembali teringat di kepala, tepatnya pada perkataan Naomi yang berkata bahwa Evan menyukainya.

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan apa yang dikatakan Kak Nao memang benar?" Chiara bertanya-tanya, terlebih pada dirinya sendiri.

Apakah hal itu memang benar?

Namun, logika Chiara selalu saja menyangkal. Rasa kantuknya pun menguap seketika.

"Memangnya Kak Nao bilang apa?" suara pemuda itu terdengar penasaran juga pada akhirnya.

"Ah, tidak. Tidak jadi. Haha." Di detik itulah Chiara memilih untuk menertawai pemikirannya. Bisa-bisanya dia terpengaruh ucapan Naomi, karena Evan yang menyukainya adalah hal yang sangat mustahil terjadi. Dan dia memilih untuk mengalihkan pembicaraan seraya menggeleng singkat. "Sudah, tidur sana! Sudah malam."

"Ya sudah. Selamat tidur, Chia. Mimpikan aku, ya?"

"Najis!" Chiara tertawa sebelum benar-benar mematikan sambungan teleponnya. Ah, ia akan mematikan ponselnya saja agar tak ada yang bisa lagi mengganggu tidurnya.

***

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status