Universitas Nusa Bangsa merupakan sebuah perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, didirikan pada tahun 1924. Universitas ini adalah universitas berkelas dunia yang menjadi pelopor perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang unggul dan inovatif. Perguruan tinggi inilah tempat Chiara, Evan, beserta teman-temannya menimba ilmu.
Suasana di salah satu ruang kelas yang terletak di lantai 2 itu masih cukup lengang pagi ini. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi. Salah satunya adalah bangku paling depan paling pojok sebelah kanan, tempat Chiara dan salah satu teman perempuannya sedang bergurau ria.Gadis itu memang berangkat lebih pagi karena hari ini merupakan jadwalnya melakukan piket kelas. Tentu dia berangkat bersama Evan, seperti biasanya. Mereka memang seringkali kedapatan tengah bersama berdua, sehingga jika ada yang tidak tahu tentang keakraban keduanya pasti akan mengira bahwa mereka adalah pasangan kekasih."Menurut Diana, lebih tampan yang mana? Hyunjin Straykids atau Jin BTS?" sambil menunjukkan beberapa koleksi foto Idol Korea di dalam galeri ponselnya, Chiara bertanya. Sedangkan yang ditanya segera menggeserkan layar ponsel Chiara dengan jarinya pada gambar yang gadis itu perlihatkan sebelumnya."Aku pikir yang ini lebih tampan. Aaaa! Senang sekali andaikan bisa jadi pacarnya ya, Chia," jawab gadis bernama Diana. Gadis bermata gelap dengan rambut yang dicat kemerahan itu menjerit tertahan seraya menyentuh kedua pipinya yang sedikit merona.Mendapati respons temannya, Chiara bergegas menjauhkan layar ponselnya dari hadapan Diana kemudian menyimpannya di dada. "Huss ... mana bisa! Yang ini calon pacar aku! Kamu mending sama cowok yang di sana saja." Chiara menunjuk seseorang di sisi bangkunya, seorang pemuda yang notabenenya paling cerdas di angkatan mereka, tetapi dia juga yang terlihat paling pemalas. "Noh, Si Abi masih jomblo.""Sialan!" merasa menjadi bahan omongan, Abigail mengangkat jari tengahnya sambil menguap pelan. Dia kembali menaruh kepalanya di atas permukaan meja, kembali menjemput mimpi. Meladeni ucapan-ucapan gadis seperti mereka tidak akan pernah ada habisnya bagi Si pemuda.Dari arah bangku paling belakang, Evan berjalan cepat lalu berdiri di depan bangku Chiara dan Diana secara tiba-tiba. Kedua lengannya ia tumpukan di atas permukaan meja. Dia bosan juga sedari tadi hanya menjadi pendengar dari celotehan kedua gadis itu."Yuk, pacaran sama aku saja, Chia," ucap pemuda itu seraya mengedipkan sebelah mata pada Chiara.Sedangkan Chiara menghadiahinya dengan dengkusan kesal kemudian memutar kedua bola mata. Bagi gadis itu, candaan Evan sangat tidak lucu. Dia sama sekali tidak menganggap serius ucapan Si pemuda, kendati mungkin saja Evan berkata sesuai keinginan hatinya."Jelas-jelas aku yang lebih tampan dan macho dari mereka berdua." Evan sejenak memandang remeh layar ponsel Chiara yang masih menampilkan foto salah satu member boyband Korea yang namanya sedang mendunia, menyombongkan dirinya."Ciieee ... kode keras, Van." Seakan paham akan situasi, Diana segera menggodanya. Gadis itu menaik-turunkan alisnya, menatap bergantian antara Evan dan juga gadis yang duduk di sisinya."Dih, ogah!" menanggapi hal itu, Chiara memukul kepala kedua temannya dengan buku tulis di tangan kanannya bergantian, tentu saja tidak kencang. Mereka hanya bercanda. Mata gadis itu beralih ke arah Evan setelah itu. "Baru datang langsung nyambar, kamu mirip gledek tahu tidak? Sana kamu pacaran sama M**** O**** saja. Aku lihat banyak banget video dia di folder rahasia di ponsel kamu.""Eh? Yang benar, Van?" Diana membelalakkan mata, lalu menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan dengan gerakan dramatis yang dibuat-buat saat nama seorang aktris film panas disebut oleh Chiara. "Wah, wah ... aku terkejut!"Wajah Evan berubah panik seketika, bisa hancur reputasinya sebagai pangeran kampus kalau aibnya yang satu itu sampai terbongkar."Jangan dengarkan dia, Di! Fitnah lebih kejam dari pembunuhan ya, Chia!" dia lantas menatap tajam penuh peringatan pada Chiara.Sedangkan yang ditatap hanya menaikkan kedua bahunya acuh. "Itu realita, Van ... kamu mau aku membuktikannya?""T-tidak perlu.""Panik tidak? Panik tidak? Panik, dong. Hahaha." Dan tawa kedua gadis di depannya mengudara, semakin meramaikan suasana pagi di kelas mereka."Apa sih!" karena kehabisan bahan bahan pembelaan, Evan memilih untuk membuang muka. Hanya sebentar, karena setelah itu mata sehitam jelaga pemuda itu kembali mencari mata Chiara, menemukan tatapan. "By the way, nanti pulang bareng aku lagi, 'kan?"Yang ditanya tampak menggelengkan kepala. "Kak Nao sama Kak Nardo yang akan menjemputku setelah pentas Kak Nao selesai nanti sore. Mereka mau mengajak makan-makan.""Yah ... aku tidak diajak?" Evan menampilkan raut wajah kecewa."Tentu saja tidak. Kamu makannya banyak, nanti Kakakku bisa bangkrut.""Sialan kamu, ya!"Chiara tergelak sejenak. Tapi setelahnya raut wajah jelita gadis itu berubah menyendu, entah kenapa. "Doakan pentas menari Kak Nao lancar ya, Van ... entah kenapa aku merasa tidak tenang. Jantungku berdebar-debar dari tadi," ungkapnya kemudian.Sebenarnya sudah sejak semalam Chiara memiliki firasat buruk terhadap kakaknya, bahkan ia sempat bermimpi tak baik mengenai pentas tari yang hari ini dilakukan Naomi. Namun, gadis manis itu berusah berpikiran positif. Mimpi hanyalah bunga tidur, dan dia berharap bahwa kenyataan akan jauh lebih indah, berbanding lurus dari mimpi semalam.Dan pengakuan yang lolos dari mulut Chiara membuat Evan merasa khawatir seketika. "Apakah sakit? Sesak tidak dada kamu?""Tidak kok." Chiara membuang napas, mengukir senyum kecil. "Semoga saja tidak terjadi apa-apa."Evan menghela napas lega, sedangkan Diana tampak tersenyum penuh arti melihat gelagat Evan yang kelewat perhatian pada sahabatnya. Ah, gadis itu sepertinya mencium sesuatu tentang perasaan Sang pemuda yang sebenarnya terhadap Chiara.Meskipun tak pernah terungkap, segala sikap yang Evan tunjukkan pada Chiara sangat menggambarkan perasaannya. Rasa sayang yang kadarnya lebih tinggi lagi dari sekedar sahabat ataupun teman dekat. Rasa sayang itu sangat tergambar jelas dari tatapan mata hitam pemuda itu, tatapan penuh ketertarikan dari seorang lelaki kepada seorang perempuan.Yah, meskipun Si perempuan tidak pernah menyadarinya.Tak lama setelahnya, ponsel yang sedari tadi ada dalam genggaman Chiara bergetar, layarnya menampilkan sebuah panggilan masuk dari Naomi, Kakaknya."Nah, baru saja dibicarakan padahal." Mencoba melupakan segala pemikiran buruk, senyuman Chiara kembali terkembang sempurna. Ia kedapatan menghela napas cukup panjang sebelum menempelkan ponselnya pada salah satu daun telinganya. "Hallo, Kak ... bagaiman—""...."Ketika suara dari ujung telepon sana menyapa indera rungunya, wajah gadis itu menegang, diikuti senyumannya yang turut menghilang. Kalimat yang bahkan belum selesai Chiara ucapkan menggantung di udara. Sesuatu yang terucap dari ujung telepon sana telah sukses membuat tubuh gadis remaja itu terkaku, dunianya seakan runtuh saat itu juga."A-apa?!"***Tbc...Tepat jam sebelas menjelang siang ketika Evan memarkirkan motor vespa antiknya di parkiran rumah sakit yang Chiara sebutkan. Seakan tak mau membuang waktu, Chiara segera turun dari boncengannya, melepas helm bogo di kepalanya, lalu menaruhnya asal pada jok motor Evan.Langkahnya tergesa, tertatih. Namun Chiara tetap terus berjalan, terus mengayunkan kedua kakinya menuju bangunan di muka rumah sakit tempat Naomi berada; instalasi gawat darurat. Tangannya tak berhenti memegangi dada kiri, tempat jantungnya bersarang. Di titik itu rasanya sangat sakit, sangat menyesakkan. Saat ini bukan hanya jantungnya saja yang nyeri, hati dan perasaannya juga. Dia masih sulit untuk percaya ketika tadi menerima telepon dari nomor Naomi, tetapi bukan suara Sang Kakak yang menyapa telinganya. Seseorang di ujung telepon sana berkata bahwa Naomi mengalami kecelakaan lalu lintas, menghubungi dirinya karena nomornya adalah nomor terakhir yang Naomi hubungi. Setelah menghubungi kedua orang tuanya, dia dan Eva
Linglung. Naomi tidak pernah menyangka akan bernasib seperti ini. Padahal karirnya sedang bagus-bagusnya, namun malapetaka malah dengan kejam menimpa dirinya, menghancurkan segala mimpi yang ia bangun semenjak masih balita. Kehilangan fungsi kedua kaki, artinya mau tidak mau ia harus merelakan karir menarinya berakhir cukup sampai di sana.Hatinya belum juga merasa lebih baik meskipun di sisi ranjangnya Nardo dengan setia menggenggam tangan kirinya, menciumnya kadang-kadang. Kedua calon mertuanya baru saja datang, mereka berdiri di sisi lain ranjang, menatap dirinya dengan simpati. Sejujurnya, Naomi paling tidak suka dikasihani."Bagaimana keadaan kamu, Nak?" Karina, Sang calon ibu mertua bertanya mengawali pembicaraan. Suara wanita itu begitu lembut, penuh kasih sayang. "Nao baik, Ma." Mau tak mau, Naomi memaksakan sebuah senyuman untuk memberikan respons pada pertanyaan calon ibu mertuanya, mengingkari apa yang ia rasa."Jangan bersedih, ya ... Mama dan Papa juga akan membantu Nard
Jam dinding yang tergantung pada dinding putih ruang Instalasi Gawat Darurat sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Naomi memasukinya menggunakan kursi roda. Di belakang tubuhnya, Nardo tampak begitu setia mendorong kursi roda yang dinaiki calon istrinya itu.Setelah sekali lagi mengusap air mata, sudut bibir Naomi ia paksa tarik untuk mencipta senyuman. Sosok adiknya masih berada di atas ranjang di depan sana, lengkap dengan alat bantu hidup yang terpasang di mana-mana. Hal tersebut berhasil mencipta sesak di dada, namun dirinya pun tak bisa berbuat apa-apa. "Hai, Chia ..." Naomi bersusah payah untuk tidak membuat suaranya bergetar ketika menyapa sang adik. Dan perlahan kedua mata Chiara terbuka saat sapaan halus kakaknya membelai telinga. "Kakak.""Bagaimana kondisimu?""Kakak dulu. Bagaimana kondisi Kakak?" meskipun dengan suara lirih nyaris tak terdengar, Chiara justru balik bertanya."Seperti yang kamu lihat, Kakak baik-baik saja. Yah, meskipun Kakak belum bisa menggerakk
Beberapa piagam penghargaan dan berbagai bentuk piala yang terpajang di dalam lemari kaca hanya akan menjadi kenangan bagi Naomi, sebagai simbol jika dirinya pernah memiliki bermacam prestasi di dalam dunia tari-menari, dunia yang telah membesarkan namanya. Naomi menatap semua itu dengan tatapan hampa, sebab ia tahu jika puncak kejayaannya kini telah habis tak bersisa. Setelah menghela napas panjang satu kali, kedua tangannya kembali memutar roda di sisi kanan dan kiri kursi roda yang ia duduki, menggerakkan tempat duduk beroda yang hampir dua minggu ini menjadi teman akrabnya menuju meja rias tempat yang beberapa hari ini ia gunakan untuk merias wajah di kamar barunya. Setelah tidak lagi bisa berjalan, ia memang pindah kamar ke lantai dasar.Dari laci yang berada di sisi kiri, tangan kanan kurus itu meraih sebuah album foto yang tampak usang di makan usia. Sebuah album foto khusus yang berisi segala potret ketika dirinya sedang berlatih menari semenjak masih belia. Air mata itu men
"Serius, ini buatan Diana?" Chiara berucap tak percaya ketika kedua matanya menatapi banyak sekali bangau kertas di dalam kotak di atas pangkuannya, kotak berbahan kardus yang baru saja Evan berikan padanya. Kata pemuda itu, ada seribu jumlah bangaunya."Untuk apa aku bercanda, hm? Tidak ada untungnya." Nada bicara Evan terdengar malas, ia bersedekap menatap Chiara. "Dia berkata, jika kamu menggantung seribu bangau kertas, maka segala keinginanmu akan segera terkabulkan. Makanya dia dan teman-teman yang lain membuat itu banyak-banyak untuk kamu, agar keinginan kamu untuk segera sembuh bisa segera terwujud.""Aku terharu." Mata indah itu berkaca, namun senyuman justru terpetak di wajah ayunya. Sungguh, Chiara merasa tersentuh mendengar kalimat yang Evan lontarkan. Ternyata teman-temannya begitu peduli padanya.Melihatnya, dada pemuda itu menghangat tanpa mampu ia kira. Ia tersenyum, ia begitu bahagia bisa kembali melihat senyuman Chiara. "Banyak orang yang sayang dengan kamu, termasuk
Ada sesuatu yang berbeda dari Naomi hari ini. Wajah jelita itu tampak lebih murung dari biasanya, lebih muram dari sebelumnya. Bahkan gadis itu seakan tak menyadari ketika Nardo beberapa kali memberinya pertanyaan. Sebagai calon suami, tentu Nardo merasa khawatir. Banyak hal yang terlintas di kepalanya, namun satu hal yang paling mendominasi; Naomi marah padanya setelah insiden malam di mana ia menolak untuk 'tidur bersama'.Sedikit menggelengkan kepala, Nardo kembali mendorong kursi roda Naomi menuju bangsal rawat inap Chiara, calon adik iparnya. Nardo adalah seseorang yang paling tahu bagaimana Naomi, tidak mungkin gadis itu menjadi benci padanya hanya karena hal sepele seperti itu, apalagi setelahnya Naomi sempat mengutarakan cinta. Maka dari itu ia mencoba berpikir positif, barangkali Naomi hanya merasa gugup dan kelelahan setelah beberapa jam ini mengecek segala persiapan karena upacara pernikahan mereka akan dilaksanakan keesokan harinya. "Nah, kita udah sampai." Senyuman Nardo
"Kamu jangan begadang malam ini." Nardo memberikan nasihatnya pada sang calon istri. Mereka sudah ada di teras rumah Naomi sekarang, mengantarkan gadis itu pulang. Posisi pria itu berjongkok di depan kursi roda si calon istri, menatap dalam-dalam mata indah yang selalu mampu membuat dadanya bergetar."Siap, kamu juga." Naomi memberikan senyum seadanya. Ia memejamkan mata ketika Nardo memberikan sebuah ciuman di keningnya. "Aku pulang dulu kalau begitu.""Mas Nardo ..."Pria itu urung bangkit berdiri ketika Naomi menyebut namanya. Ketika ia kembali menatap mata sang calon istri, terdapat berbagai macam emosi yang mampu tertangkap oleh kedua mata birunya. Emosi yang entah mengapa tak mampu Nardo mengerti.Sedangkan Naomi tak langsung mengucapkan maksudnya, sesaat gadis itu tampak meragu. Namun, tepat di detik ke sepuluh, pada akhirnya sebuah kalimat mengalir begitu saja dari mulutnya. "Aku mencintaimu. Apa pun yang terjadi nanti, tolong jaga dirimu baik-baik."Janggal.Sungguh, Nardo s
Nardo sudah memiliki firasat tidak enak saat calon ayah mertuanya menelepon dirinya di pagi buta, padahal dirinya sedang berlatih dan bersiap-siap untuk upacara pernikahan. Ia sudah menduga bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Pikirannya memburuk, namun ia berusaha membuangnya jauh-jauh. Meskipun sukar, ia tetap berusaha berpikir positif. Selama perjalanan ia hanya diam, sedangkan ayah dan ibunya yang duduk di kursi mobil depan tampak menunjukkan raut wajah tegang. Kepala kedua orang tua si calon mempelai pria tentu sedang menerka-nerka apa yang akan mereka temui di dalam gedung putih yang cukup besar di depan sana."Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa pihak besan meminta kita untuk ke rumah sakit? Apakah ini ada hubungannya dengan kondisi adiknya Naomi?" Karina membuka suara saat suaminya sedang melajukan mobil dengan teramat pelan menuju parkiran. Wajah ayunya menunjukkan kebingungan."Papa juga tidak tahu, Ma. Namun, Papa rasa bukan karena Chiara." Sembari memutar kemudi M