Share

Wasiat Turun Ranjang 3

Bi Darsih mengangguk pilu.

"Alangkah baiknya, Ibu bicarakan soal ini dengan Pak Mughni. Kalau saya kan tidak punya kuasa apa-apa, takutnya nanti mereka tidak percaya dengan amanah Ibu yang disimpan di saya."

"Aku sudah membicarakan ini dengan Mas Mughni, Bi! Tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya kami selalu bertengkar, Mas Mughni selalu menghindar."

"Makanya Ibu jangan nyuruh-nyuruh Bapak menikah lagi. Bapak pasti kesal karena disuruh-suruh. Gimana kalau seandainya Bapak mengabulkan keinginan Ibu untuk menikah lagi? Apa Ibu tidak sakit hati? Apa Ibu tidak cemburu suami Ibu sama orang lain?"

Rahma terdiam. Kemudian ia berkata, "Kalau soal itu. Pasti aku sakit hati, cemburu juga. Cuma aku kasihan sama Mas Mughni yang sudah bersabar terlalu lama."

Bi Darsih mengangguk. "Bibi mengerti perasaan Ibu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan. Bapak juga pasti berpikir mana yang baik dan tidaknya untuk dilakukan." Rahma mengangguk.

"Do'akan aku ya, Bi! Semoga ada keajaiban Allah menyembuhkan aku yang sudah tak berdaya ini."

Bi Darsih mengangguk kembali. "Aammiin."

Setelah menemani Rahma, kini Bi Darsih sedang membereskan dapur bekas memasaknya. Sedangkan Dahayu sudah pergi menuju toko dari sejam yang lalu.

*

*

"Om!"

Mughni yang baru saja sampai di toko setelah menemui mamanya pun menutup pintu mobilnya, lalu menoleh ke arah sumber suara yang ia kenali.

"Maaf, telat!" Dahayu menghampiri omnya yang sedang berdiri di depan mobilnya.

"Tidak apa-apa. Om juga baru sampai, tadi Om dari rumah mama Om." Dahayu mengangguk. Kemudian mengikuti Mugni menuju toko sembako miliknya.

Mughni memang terlihat hanya memiliki toko sembako. Namun, siapa sangka pria yang berusia 35 tahun itu, memiliki kebun berhektar-hektar yang ia titipkan pada ahlinya di kampung.

Ditambah lagi dengan kos-kosan sebanyak 50 pintu, serta freelance yang tidak ada seorang pun yang tahu, termasuk istrinya. Bahwa Mughni seorang penulis best seller dengan nama pena palsunya.

Mughni duduk di ruangan pribadi yang diikuti oleh Dahayu, kemudian Mughni beranjak kembali untuk mengambil air mineral lalu disodorkan kepada Dahayu. Tanpa banyak bicara, Mughni menyuruh Mang Asep untuk menemuinya.

"Ini Dahayu, keponakan istri saya. Mau belajar katanya. Tolong diajarin sebagai pelayan toko."

Mang Asep mengangguk, kemudian mengajak Dahayu untuk mengikunya.

"Neng! Namanya siapa tadi? Dahayu atau Rahayu"

"Dahayu, Mang! Bisa juga dipanggil Dayu."

"Oiya Neng! Tidak apa-apa ya, Mamang ajarin yang mudah-mudah dulu. Kalau sudah terbiasa nanti sama Pak Bos bakal dikasih kerjaan yang lebih."

Dahayu mengangguk. "Tidak apa-apa Mang. Lagian Dayu juga belum mengerti."

"Bentar ya! Mamang panggilkan dulu Neng Elva-nya. Neng Dayu duduk dulu di kursi saja, agar tidak pegal berdiri terus."

Dahayu mengangguk. Mang Asep pun pergi meninggalkan Dahayu seorang diri. Dahayu melihat-lihat toko sembako milik om-nya, terlihat sangat besar, dan serba ada. Tidak lama setelah itu, Mang Asep membawa seorang perempuan berparas ayu yang ia tebak mungkin berusia sekitar 20 tahunan.

"Neng! Ini Neng Elva namanya. Nanti Neng Dayu belajar sama Neng Elva ya!"

Mang Asep memberi arahan kepada Dahayu untuk menuruti apapun yang Elva suruh. Setelah sekian jam berlalu, azan magrib mulai terdengar. Dahayu menghampiri ruangan Mughni yang sedari tadi omnya tidak keluar dari ruangan pribadinya.

Tok! Tok!

"Om! Sudah magrib!" Tidak ada jawaban dari dalam sana. Dahayu mencoba sekali lagi mengetuk pintu ruangan itu. Namun, lagi lagi tidak ada jawaban yang terdengar dari dalam. Dahayu berdecak kesal, pasalnya dirinya ingin pulang karena merasa lelah setelah melayani pelanggan.

"Om!"

Ceklek!

Dahayu mematung. Ketika pintu itu terbuka menampilkan Mughni dengan penampilan yang ... entah lah! Baru pertama kalinya Dahayu melihat omnya memakai baju koko serta peci yang menghiasi kepalanya.

'Mungkin baru selesai melaksanakan salat magrib.' pikir Dahayu. Mughni yang berpenampilan seperti itu, membuat Dahayu terpana dan terlihat lebih berwibawa.

"Ada apa?"

Pertanyaan Mughni membuyarkan lamunan Dahayu. Dahayu mengejapkan matanya, kemudian ia bersikap seperti biasa.

"Kapan pulang, Om?"

"Udah mau pulang?" Dahayu mengangguk pasrah. "Bentar, Om ganti baju dulu."

Dahayu menunggu Mughni di kursi yang berada di depan ruangan sembari membuka ponsel yang sedari tadi tidak dilihatnya. Tidak lama dari itu, Mughni keluar dengan memakai outfit sebelumnya, lalu berpamitan kepada karyawannya untuk pulang lebih awal.

"Om! Aku kira Om di toko melayani pelanggan. Ternyata dari tadi Om duduk aja di ruangan. Ngapain?!" tanya Dahayu ketika sudah berada di dalam mobil.

"Harus dijawab?" Bukannya menjawab, Mughni malah balik bertanya.

"Ya ... Tidak sih! Tapi aku merasa kasihan sama Tante, dari pada Om cuma duduk di toko, lebih baik temani Tante di rumah."

Mughni terdiam. Tidak menjawab ucapan Dahayu. Dahayu yang merasa diabaikan pun ikut diam sembari melihat jalanan malam yang masih ramai.

Mughni memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah toko roti. Kemudian ia keluar dari mobil tanpa mengajak Dahayu. Dahayu berdecak kesal, pasalnya saat ini ia sangat lapar dan ingin membeli makanan, namun Dahayu tidak memiliki uang sepersenpun.

Mughni kembali memasuki mobilnya. Kemudian ia memberikan kantong berlogo yang berisi roti hangat kepada Dahayu.

Mata Dahayu berbinar senang. Ia mengambil kantong roti itu, lalu memakannya setelah mengucapkan terimakasih kepada Mughni. Mobil pun melaju menuju rumah yang mereka tempati.

"Buat Tante, beli tidak Om?" Dahayu bertanya dengan mulut penuhnya. Mughni hanya mengangguk tanpa menjawab apapun.

Selama di dalam mobil, mereka terdiam asik dengan pikirannya masing-masing. Dahayu yang memikirkan ibunya di kampung. dan Mughni yang memikirkan keadaan istrinya yang sudah lama berbaring lemah.

"Mas! Sudah pulang?" Rahma bertanya ketika sang suami memasuki kamarnya. Mughni menghampiri Rahma kemudian mengecup kepalanya.

"Kenapa belum tidur?" Mughni memberikan roti kesukaan Rahma yang ia beli sewaktu di perjalanan pulang.

"Baru juga isya, Mas! Belum terlalu malam."

"Ya sudah. Kamu makan rotinya! Mas mau mandi dulu. Tidak apa-apa kan sendirian?" Rahma mengangguk.

Mughni berlalu memasuki kamar mandi. Ia mengguyur kepalanya dengan air hangat untuk merilekskan pikirannya dari ancaman mamanya.

"Apabila dalam satu tahun kamu belum juga menikahi perempuan lain! Mama akan mencarikan perempuan untukmu!"

"Istrimu sudah mengizinkan kamu menikah lagi! Apalagi yang kamu tunggu? Tunggu Rahma mati? Kalau mati ya bagus, tapi kalau tidak bagaimana? Apa kamu akan terus menahan diri sebagai seorang pria normal?!"

Mughni mengusap wajahnya frustasi. Ia bingung dengan kehidupannya sendiri. Ia sangat mencintai Rahma. Namun desakan orang tua membuat ia harus tega kepada perempuan yang dicintainya. Mughni segera menyelesaikan kegiatannya, kemudian keluar dan mengambil piyama tidurnya. Tidak lama dari itu, Mughni pun segera tidur menghadap Rahma

***

Keesokan harinya, Dahayu tergesa-gesa untuk segera bangun dari tidurnya. Ia tidak mau mengulangi kesalahan kedua kalinya.

Dahayu keluar dari kamarnya menuju dapur yang berada di lantai satu.

Terlihat omnya sudah duduk di meja makan dengan gelas kopi di depannya.

"Om!"

"Hmm?"

Dahayu cengengesan ketika Mughni melihatnya.

"Dayu boleh pinjam uang tidak? Buat bekal sekolah. Nanti Dayu ganti kalau sudah gajian."

"Emang Dayu kerja apa? Nungguin gajian."

"Kan Dayu kerja di toko punya Om! Masa gak di gaji. Dayu yang rugi dong, Om!" ucap Dahayu dengan bibir cemberutnya.

Mughni menarik sudut bibirnya. ia tersenyum tipis melihat tingkah Dahayu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status