Share

Wasiat Turun Ranjang 8

"Serangan jantung? Istri saya memang mempunyai penyakit jantung, Dok! Tetapi selama ini dia baik-baik saja meski dalam keadaan tubuhnya yang lumpuh," jelas Mughni.

"Apa sebelum Bapak keluar dari kamar, Ibu Rahma dibiarkan sendiri?"

Mughni mengangguk, "iya Dok, karena kebetulan ada kakak ipar saya di rumah yang sedang memasak." Dokter itu mengangguk, kemudian terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa ada kamera tersembunyi di kamar, Pak?"

"Kebetulan ada, memangnya kenapa, Dok?" tanya Mughni penasaran.

Dokter pun mengangguk, "belum tahu alasannya apa yang membuat istri napak kena serangan jantung. Coba Bapak lihat saja lewat kamera itu, barangkali ada petunjuk."

"Baik Dok. Nanti saya akan cek."

Setelah perbincangan itu Mughni kembali ke tempat dimana Rahma di baringkan. Ia melihat suami kakak iparnya masuk ke dalam ruangan. Mungkin baru saja datang setelah Dahayu memberitahunya.

"Yang sabar!" Suami kakak iparnya itu menepuk bahu Mughni. Mencoba memberikan semangat atas ujian yang menimpanya.

Mughni mengangguk, "kita bawa pulang Rahma sekarang Mbak. Apa Bi Darsih sudah di beritahu?"

"Sudah Dek, barusan diberitahu sama Dahayu, katanya di sana akan siap-siap."

Mughni membereskan semua barangnya yang sempat ia bawa ke Rumah Sakit. Lalu menyimpan di dalam mobilnya yang akan dibawa oleh sang sopir. Ia kembali ke ruangan IGD untuk menjemput Rahma lalu ikut pulang dengan mengendarai mobil ambulance.

Ketika sudah sampai di rumah, ternyata sudah banyak saudara dan tetangga yang bertakziah memenuhi ruangan rumahnya.

"Syukurlah! Sekarang kamu bebas, Ni!"

Mughni menghela nafas, "jangan mulai, Ma! Ini masih berduka."

"Yang berduka itu cuma kamu! Orang lain malah senang kalau istrimu tiada."

Mughni terdiam, bila dijawab pasti ia akan tetap kalah bila lawan bicaranya adalah perempuan yang melahirkannya.

"Mughni mau mengurus Rahma dulu, Ma. Kalau ada apa-apa Mama bisa minta tolong Bi Darsih atau Dahayu."

"Ck! IYa sudah, sana!" decaknya sembari mengipas-ngipas wajahnya karena merasa gerah dengan hijab yang jarang beliau pakai.

Mughni meninggalkan Mamanya lalu menghampiri Dahayu yang sedang menyiapkan alat-alat untuk ikut memandikan jenazah tantenya.

"Yu!"

"Ia Om, Kenapa?"

"Kamu mau ikut memandikan jenazahnya Tante?"

Dahayu mengangguk, "kapan lagi Dahayu memandikan Tante, ini kesempatan terakhir Dayu bisa lihat wajah Tante," terang Dahayu sembari mendekap kain untuk jenazah tantenya.

"Ya sudah, gak jadi." Mughni langsung pergi meninggalkan Dahayu yang sedang kebingungan.

Dahayu mengerutkan keningnya melihat tingkah sang paman, Karena tidak mendapatkan jawaban, ia pun mengangkat kedua bahunya lalu pergi untuk ikut memandikan jenazah sang tante untuk terakhir kalinya.

Beberapa jam kemudian rangkaian mengurus jenazah selesai. Jenazah Rahma di makamkan di TPU Umum. Karena Mughni pikir bila di makamkan di halaman rumah takutnya rumahnya di jual dan tidak ada yang mengurusnya.

Semua orang kembali ke rumah masing-masing. Sang Mama juga telah berpulang kembali ke rumahnya yang lumayan berjarak jauh. Kini rumah itu terasa sepi. Semua penghuni sudah masuk kedalam kamarnya masing-masing.

Hari Mulai beranjak malam. Mughni mengamati kamarnya yang sudah bertahun-tahun ditempati oleh dirinya dan sang istri. Rasa sepi itu mulai menghinggapi dirinya, menyeruak hingga ke benda-benda yang berada di sekitarnya.

Mughni tidak menyangka bahwa malam kemarin adalah malam terakhir bersama sang istri. Ia berjalan menuju rak kecil yang berada di sudut ranjang, lalu mengambil bingkai foto dirinya bersama sang istri ketika mereka bulan madu di puncak.

"Sesingkat inikah kisah kita, Sayang?"

"Kita belum merasakan kehangatan dalam mahligai pernikahan. Namun, takdir memilihmu pergi meninggalkanku secepat ini," gumam Mughni dengan tangan yang mengusap foto wajah sang istri.

Mughni beristigfar memohon ampunan untuk dirinya dan sang istri. Ia mencium foto itu kemudian meletakan kembali ketempat semula.

Mughni langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang pernah ditempati oleh sang istri. Ia mendekap bekas selimut Rahma yang mempunyai aroma yang selalu membuatnya candu.

Mughni menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya. Ia berdo'a sebelum matanya tertutup dan pikirannya melalang buana ke alam mimpi.

Keesokan harinya Mughni tidak berangkat ke toko. Ia menyerahkan semua pekerjaannya kepada orang-orang yang ia percayai.

Di rumah masih ada kakak ipar serta suaminya yang akan mengurus pengajian untuk mendoakan sang istri.

"Untuk cemilannya biar gak ribeut pesan saja, Dek. Biar nanti langsung dibagikan saja kepada jamaah yang datang."

Mughni mengangguk, "saya serahkan semuanya kepada Mbak aja. Nanti saya yang bayar."

"Ya sudah. Mas, kamu bersedia sama Dahayu pergi ke tempat makan yang ada di depan?" tanya Bu Destri kepada sang suami.

"Iya, ayo."

"Ya sudah, sekarang saja berangkatnya. Mumpung masih pagi."

Dahayu mengangguk, kemudian beranjak menuju kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya, lalu kembali ke ruangan yang sedang berkumpul.

"Bapak sudah nunggu di depan, katanya kamu langsung kesana aja." Dahayu mengangguk. Kemudian mencium tangan ibunya serta Om Mughni.

Seharian itu Mughni begitu sibuk mondar mandir membantu membereskan rumah bersama Bi Darsih.

Waktu sore pun tiba. Acara berdoa untuk sang istri telah dilaksanakan hingga waktu sore. Setelahnya Mughni kembali membereskan tempat duduk para jamaah.

Mughni berbaring di sofa yang ada di ruangan televisi. Disana ada Dahayu yang sedang cekikikan asik dengan ponsel digenggamannya.

"Lagi apa Yu? Ketawa sendiri kaya orang stres." ucapnya membuat Dahayu menoleh ke arah Mughni.

"Ini om.! Aku lagi baca novel. Novelnya seru!"

"Siapa yang nulis?" tanya Mughni penasaran.

"Gak tahu, Om. Nama penanya disamarkan."

Mughni tidak menjawab kembali ucapan Dahayu. Ia malah meneruskan berbaring di atas sofa karena merasa lelah.

Malam yang gelap telah tiba. Mughni mengambil laptopnya yang sedari kemarin belum sempat ia lihat. Ia membuka akun sosial medianya yang tidak ada satu orang pun yang tahu nama samaran yang ia gunakan bersamaan dengan nama penanya.

Sebagai penulis rahasia, tidak ada yang tahu bahwa dirinya sudah menikah. Ia tidak pernah menjawab sapaan dan pertanyaan dari siapapun bila ada yang mengirim pesan padanya.

Mughni mulai merangkai kata, kata yang mewakili perasaannya saat ini. Ia biarkan jarinya bergerak sesuai arahan dari perasaannya.

BAHAGIA YANG HILANG

Kepergianmu membawa separuh bahagiaku

Tawa yang selalu kuberikan untukmu kini sirna bersama tiadanya dirimu

Kemana lagi aku mencari bahagia itu kembali?

Sedangkan separuh bahagiaku telah kuberikan hanya untukmu.

Pelataran Hati, 20:00 WIB.

Mughni mengunggah puisi itu di wall pribadinya. Belum juga satu menit, sudah banyak akun yang menyukai statusnya. Mughni mencoba melihat siapa saja yang menyukai dan memberikan komentar ke status yang ia buat.

Tidak sangka akun yang bernama Dahayu Nareswari memberikan reaksi love pada statusnya. Mughni kaget. Ia membuka profil akun itu untuk memastikan bahwa itu benar milik keponakannya. Ternyata benar! Kapan ia berteman dengan keponakannya itu. Padahal ia sudah menutupi identitasnya serapat mungkin

- Pikirnya.

[ @DahayuNareswari : Met malam Kak. Semoga bahagia selalu.]

Mughni begitu syok membaca komentaran dari Dahayu. Ia menepuk jidatnya kemudian menghela nafas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status