Share

Wasiat Turun Ranjang 5

Mendengar suara Mughni yang terlihat kaget, membuat Rahma dan Dahayu menoleh ke arah belakang. Dahayu melepaskan pelukannya kemudian undur diri keluar dari kamar karena sudah ada Mughni yang akan menemani tantenya.

"Eh! Mas, sudah pulang?" Rahma terdiam seketika. Ketika melihat Mama mertuanya masuk ke dalam kamar dengan seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menurutnya.

"Mama?" Rahma mencoba untuk tetap tersenyum ramah meski sapaannya tidak di gubris oleh mertuanya.

Dahayu yang berpapasan dengan Mertua Rahma pun, mengangguk pelan. Kemudian Dahayu langsung keluar kamar karena tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga tantenya.

"Kamu masih sakit?" Rahma mengangguk pelan ketika sang Mertua bertanya keadaanya.

"Perkenalkan, ini Lubis! Anak teman Mama yang akan Mama jodohkan dengan Mughni."

"Ma!!"

Mughni menggeleng, mencegah mamanya untuk tidak meneruskan ucapan yang mungkin akan lebih menyakitkan bila didengar oleh Rahma.

"Hm?" Rahma tersenyum meringis.

"Apa sih, Ni! Kan Mama udah bilang sama kamu, kalau dalam waktu satu tahun belum juga memberikan Mama seorang Cucu, atau istrimu masih sakit, Mama akan mencarikan perempuan lain untuk kamu!"

Mughni berdecak kesal. Rahma mengusap lengan Mughni untuk tetap tenang.

"Mama mau ngapain ke sini? Kalau tidak ada kepentingan lebih baik Mama pulang saja!"

"Apa Mama tidak boleh main ke rumah Anak Mama sendiri?"

"Bukan tidak boleh, Ma! Tapi sekarang Rahma sedang sakit. Mughni mohon jangan terus menawari Mughni wanita lain. Mama jangan terus atur-atur Mughni. Mughni sudah dewasa! Lebih tahu mana yang baik untuk Mughni sendiri!"

"Terus kenapa belum mau menikah lagi? Sedangkan kamu seorang pria normal yang pasti butuh pelampiasan! bertahun-tahun kamu sabar terhadap istrimu, apa tidak lelah?"

"Itu urusan Mughni, Ma! Mughni harap Mama jangan ikut campur. Sekarang Mama lebih baik pulang! Dan bawa perempuan yang Mama bawa."

Rahma semakin erat memegang telapak tangan Mughni, saat suara Mughni mulai meninggi.

"Jangan gitu, Mas! Bagaimanapun juga beliau ibumu, ibuku juga." ucap Rahma tersenyum kepada Mughni.

"Mama kalau mau beristirahat, silahkan. Kalau mau makan juga di dapur ada Bi Darsih. Maafin aku, Ma! Gak bisa melayani Mama." Rahma menatap mertuanya sendu. Sedikit kecewa dengan mertuanya. Ketika Rahma masih sehat pun Mama Mertua selalu bersikap seakan-akan tidak menyukai kehadirannya.

"Asal kamu tahu! Gak di suruh pun Mama akan beristirahat di rumah Anak Mama sendiri. Gak kaya kamu! Udah miskin, ditambah sakit-sakitan. Harusnya kamu bersyukur! Anak saya masih mau mengurusmu yang tidak bisa apa-apa!"

Jleb!

Rahma merasakan sesak di dadanya. Rahma hanya bisa tersenyum mendengar hinaan sang mertua. Mughni yang mengetahui perasaan istrinya pun menguatkan dengan mengusap lengannya, kemudian beranjak menghampiri mamanya dan seorang wanita yang tidak tahu diri itu.

"Maaf, Ma! Kalau seandainya Mughni kurang sopan. Mughni harap Mama keluar dari kamar Mugni, terserah Mama kalau mau menginap di rumah Mughni. Asal jangan membahas yang tidak penting di hadapan Rahma." ucap Mughni pelan dengan merangkul bahu mamanya.

"Apa kamu tidak mau kenalan dengan Lubis?"

Mughni menggeleng. "Tidak, Ma! Mughni masih punya istri. Sampai kapanpun Mughni akan setia sama istri Mughni!"

Mama Dahlia berdecak kesal. "Ya sudah, lah! Mama mau pulang aja, percuma di sini juga!"

Mughni mengangguk, kemudian berjalan ke luar rumah menemani mamanya. "Maafin Mughni, Ma! Gak bisa ngantar Mama! Mama hati-hati ya."

"Hm ...." jawab Mama Dahlia dengan cueknya.

Sedangkan wanita yang bernama Lubis itu, sedari tadi terus mencuri-curi pandang kepada Mughni yang membuat Mughni semakin muak.

"Yuk, kita pulang, Lu! Mama gerah kalau di sini terus!"

Mughni menggeleng, kemudian menghela nafas dan menghembuskannya. Mughni menatap punggung mamanya, ia merasa muak dengan tingkah dua perempuan yang sudah berlalu dari hadapannya.

Setelah mobil yang ditumpangi mamanya menghilang dari pandangan. Mughni langsung berlalu menuju kamarnya, Ia begitu khawatir dengan Rahma yang mungkin sedang kecewa.

"Maafin Mama, ya?" Maaf Mughni kepada Rahma yang sedang duduk di atas ranjang.

"Tidak apa-apa, Mas! Ucapan mama memang benar adanya. Aku miskin, dan sekarang penyakitan. Seandainya dulu Mas tidak memilihku, mungkin Mas bakal hidup bahagia." Rahma menangis tersedu. Ia meratapi hidupnya yang tidak berguna.

"Mas, kan udah bilang berkali-kali. Mas mencintaimu apa adanya. Mas gak peduli kamu miskin ataupun penyakitan. Bagi Mas, kamu segalanya." Mughni mengusap punggung Rahma yang berada di pelukannya.

"Mas ...." Rahma melepas pelukan Mughni.

"Hum?" Mughni mengerutkan dahinya, "apa?"

"Aku punya permintaan, tapi kamu harus janji dulu."

"Iya, apa?"

"Nikahi, Dahayu!"

"Ngaco!" Mughni terkekeh, menganggap permintaan Rahma adalah sebuah lelucon.

"Aku gak rela, kalau kamu menikah dengan orang lain. Aku harap kamu mau menikahi Dahayu."

"Kamu istirahat, ya! Sepertinya kamu lelah." Mughni membaringkan Rahma, Mughni tersenyum dan mengecup kening Rahma, lalu menyelimutinya dengan selimut tebal. setelah Rahma memejamkan matanya, Mughni pun beranjak pergi ke kamar mandi untuk mendinginkan pikirannya.

**

**

Setelah keluar dari kamar tantenya, Dahayu pergi ke kamar Bi Darsih. Ia menunggu Bi Darsih yang sedang beribadah.

"Ada apa, Neng?" tanya Bi Darsih setelah membereskan kegiatan beribadahnya.

"Ada mamanya Om Mughni, seram banget lihat wajahnya!"

Bi Darsih terkekeh. "Memang seperti itu. Tapi kalau udah kenal dekat pasti nyaman, kok!"

"Mau dekat gimana, Bi! Orang beliaunya saja membatasi diri supaya tidak berdekatan dengan orang miskin. Tuh! buktinya barusan Dayu dengar, Tante dimaki-maki dikatain miskin."

Bi Darsih meringis perihatin. Pasalnya bukan sekali dua kali Rahma di maki mertuanya. Bi Darsih sering melihat pertengkaran, kesalahan pahaman Rahma dengan mertuanya. Namun dibalik itu juga Bi Darsih bersyukur, karena Mughni yang menjadi Anak serta suami bisa mengatasinya.

"Rumah tangga itu memang seperti itu, terkadang juga mempunyai suami yang baik, perhatian, sayang sama kita. Akan tetapi ada ujian dari mertua yang tidak suka dengan kita. Begitupun sebaliknya, terkadang punya mertua baik, royal, penyayang menantu. Akan tetapi, terkadang suaminya yang kurang pengertian, atau malas bekerja. Ada juga yang mertuanya baik, suami juga baik. Akan tetapi Gusti Allah uji dia dengan kekurangan ekonomi, sudah kerja keras sana sini, tetap saja kekurangan! Sehingga banyak yang memilih untuk berpisah karena masalah ekonomi yang terus menerus kekurangan."

Dahayu mengangguk. "Ibu sama Bapak Dayu juga cerai, Bi! Entah apa alasannya. Yang Dayu tahu, mereka selalu harmonis di depan Dahayu."

Bi Darsih mendekati Dahayu yang sedang duduk di atas ranjang. "Orang tua kamu cerdas, Yu! Mereka bisa menyembunyikan masalahnya dari Anak mereka. Mereka tidak mau kamu merasakan getahnya. Jadi mereka menyembunyikan masalahnya darimu."

Dahayu mengangguk. "Dulu Dahayu sempat kecewa sama Bapak! Karena datang-datang Bapak ngajak Dahayu untuk menyaksikan beliau menikah lagi. Dulu Dahayu pengen ngamuk sama Bapak, tapi gak bisa! Sedangkan Ibu, dia berjuang sendiri bekerja serabutan untuk mencukupi keperluan Dahayu. Karena Dahayu kasihan, akhirnya Dahayu ikut sama Tante saja. Biar tidak terlalu membebani Ibu. Tapi sekarang Ibu sama Bapak, sudah bahagia dengan kehidupannya masing-masing, sedangkan Dahayu masih pontang panting." ucap Dahayu terkekeh. Ia meringis memikirkan dirinya yang sendirian.

"Kamu bisa aja! Pontang panting gimana, di sini semua sayang sama kamu. Jangan merasa sendiri." Dahayu mengangguki ucapan Bi Darsih.

Di sebuah kamar yang berukuran 4 x 4 itu, mereka saling berbagi kisah kehidupannya. Bi Darsih yang merindukan Anak serta cucunya merasa terobati dengan keberadaan Dahayu. Begitu pula dengan Dahayu, ia merasakan kehangatan memiliki seorang Nenek ketika bersama Bi Darsih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status