Home / Lainnya / When Drama Becomes Reality / Di Bawah Langit Yang Sama

Share

Di Bawah Langit Yang Sama

Author: Mariya
last update Last Updated: 2024-12-06 13:54:03

Malam di balkon hotel itu menjadi awal dari percakapan yang tidak pernah Adrian atau Nara duga. Setelah begitu lama hidup dalam bayang-bayang pelarian dan ketakutan, ada sesuatu yang terasa berbeda. Udara malam yang dingin tidak mampu menyembunyikan kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.

“Aku ingin tahu, kalau ini semua berakhir... apa yang akan kamu lakukan?” Kata Adrian tiba-tiba, memecah keheningan.

Nara menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Maksudmu?”

“Setelah Aksara jatuh. Setelah semua ini selesai. Apa yang kamu inginkan, Nara?”

Nara terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi setiap kali dia memikirkannya, kepalanya terasa penuh dengan keraguan. “Aku nggak tahu, Adrian. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup.”

Adrian mengangguk pelan, memahami jawabannya. “Itu adil. Tapi... kamu berhak memikirkan tentang masa depan. Tentang kebahagiaanmu sendiri.”

“Kebahagiaan, ya? Aku nggak yakin itu sesuatu yang bisa aku miliki. Aku sudah kehilangan terlalu banyak.” Nara tersenyum kecil, tetapi senyumnya terlihat pahit.

Adrian menoleh, menatapnya dengan serius. “Nara, kamu berhak bahagia. Apa pun yang terjadi di masa lalu, kamu nggak perlu membiarkan masa lalu menentukan seluruh hidupmu.”

Kata-kata itu membuat Nara terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Adrian yang membuat hatinya bergetar. Selama ini, dia selalu merasa sendirian dalam perjuangannya. Tapi sekarang, ada seseorang yang dengan tulus ingin dia merasa lebih baik.

Adrian tersenyum tipis, mencoba meringankan suasana. “Kamu tahu, aku punya satu rencana setelah semua ini selesai.”

“Oh ya? Apa itu?” Nara menoleh, penasaran.

“Aku ingin pergi ke pantai. Duduk di tepi laut, mendengarkan ombak, dan menikmati kebebasan. Sudah terlalu lama aku hidup dengan rasa takut. Aku ingin tahu rasanya hidup tanpa itu.”

Nara tertawa kecil, meskipun matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. “Pantai, ya? Itu terdengar... damai.”

“Kamu harus ikut denganku,” ujar Adrian tiba-tiba.

Nara terkejut mendengar ajakan itu. “Apa?”

“Aku serius. Setelah semua ini selesai, kamu harus ikut denganku. Kita tinggalkan semua ini di belakang, dan mulai hidup baru. Kamu pantas mendapatkan itu, Nara.”

Keesokan paginya, suasana di hotel sedikit lebih ringan. Meskipun mereka masih menghadapi bahaya, ada harapan kecil yang menyelinap di antara mereka. Maya sudah bangun lebih dulu dan sibuk dengan ponselnya, mencoba mencari cara untuk menghubungi seorang jurnalis terpercaya yang bisa mempublikasikan data dari flash drive.

“Mereka butuh waktu untuk memverifikasi semua ini, tapi kalau mereka mau bekerja sama, ini bisa menjadi awal dari akhir bagi Aksara.” ujar Maya sambil menatap layar ponselnya

Adrian mengangguk. “Bagus. Semakin cepat kita bergerak, semakin kecil peluang mereka menghentikan kita.”

Nara hanya diam, menatap flash drive di tangan Maya. Benda kecil itu adalah kunci dari semua perjuangan mereka. Tapi dia juga tahu, dengan semakin dekatnya mereka pada tujuan, semakin besar risiko yang harus mereka hadapi.

Saat mereka bersiap untuk pergi, Adrian mendekati Nara. “Kamu baik-baik saja?”

Nara mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. “Aku hanya ingin ini segera selesai.”

Adrian menatapnya dalam-dalam, ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya memilih untuk diam. Dia tahu bahwa ada saat-saat di mana kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan perasaan.

Dalam perjalanan menuju lokasi pertemuan dengan jurnalis, mereka mulai menyadari bahwa mereka sedang diawasi. Sebuah mobil hitam mengikuti mereka dari kejauhan, dan Nara bisa merasakan ketegangan di udara.

“Kita sedang dibuntuti,” bisiknya pada Adrian.

Adrian melirik kaca spion, lalu mengangguk. “Aku tahu. Kita harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian mereka.”

Maya, yang duduk di kursi belakang, menoleh dengan cemas. “Apa kita harus berhenti dan menghadapi mereka?”

“Tidak, kita nggak bisa mengambil risiko sekarang. Kita harus memastikan flash drive ini sampai ke tangan yang tepat," jawab Adrian tegas.

Dengan cepat, mereka berbelok ke jalan kecil yang sepi. Mobil hitam itu tetap mengikuti mereka, tetapi Adrian sudah memiliki rencana. Dia berhenti di sebuah gang sempit, dan ketiganya keluar dari mobil.

“Kita pisah, Maya, kamu bawa flash drive ini. Aku dan Nara akan menarik perhatian mereka.”

Maya ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalian harus hati-hati.”

Nara menatap Adrian dengan tajam. “Kamu yakin ini ide yang bagus?”

“Percaya padaku, aku nggak akan membiarkan apa pun terjadi padamu.” Jawab Adrian sambil menatap Nara.

Nara ingin protes, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Adrian yang membuatnya yakin untuk mengikuti rencana itu.

Ketika mereka berhasil mengelabui pengejar, Nara dan Adrian bersembunyi di sebuah taman kecil yang sunyi. Nafas mereka terengah-engah, tetapi mereka berhasil lolos.

“Kamu benar-benar gila,” ujar Nara sambil menatap Adrian dengan kesal.

Adrian hanya tertawa kecil. “Tapi kita berhasil, kan?”

Nara menggelengkan kepala, tetapi ada senyuman tipis di wajahnya. “Kamu selalu seperti ini, ya? Melakukan apa pun untuk melindungi orang lain.”

Adrian menatapnya dengan lembut. “Kalau itu berarti melindungimu, aku akan melakukan apa saja, Nara.”

Kata-kata itu membuat Nara terdiam. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Tanpa sadar, Adrian mendekat. “Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku ingin kamu tahu, Nara. Aku peduli padamu. Lebih dari yang aku sadari sebelumnya.”

Nara menatapnya dengan mata lebar, tidak tahu harus berkata apa. Di tengah ketegangan dan bahaya yang mereka hadapi, perasaan ini muncul begitu saja, tanpa bisa dia hindari.

“Aku nggak tahu apakah aku siap untuk ini.”

“Kamu nggak perlu siap, aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan. Dan aku akan menunggu, selama yang kamu butuhkan,” jawab Adrian dengan lembut.

Di bawah langit yang perlahan memudar menjadi senja, Nara merasakan tembok yang dia bangun selama ini mulai retak. Untuk pertama kalinya, dia merasa, mungkin dia bisa mempercayakan hatinya pada seseorang lagi.

Senja berganti malam. Nara dan Adrian masih berada di taman kecil itu, bersembunyi di antara bayang-bayang pepohonan. Sementara itu, Maya berhasil bertemu dengan jurnalis yang mereka percayai, memastikan flash drive dengan semua bukti sampai di tangan yang tepat. Namun, bahaya masih terus mengintai.

Nara duduk di bangku taman, menatap langit gelap dengan gugusan bintang yang samar-samar terlihat. Dia menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan campur aduk di dalam dirinya. Di satu sisi, dia merasa lega karena mereka berhasil lolos. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.

“Kamu kelihatan terlalu serius,” suara Adrian memecah keheningan. Dia duduk di samping Nara, menyandarkan punggungnya ke bangku dengan santai.

Nara meliriknya sekilas. “Aku cuma memikirkan langkah selanjutnya.”

“Kamu selalu seperti itu, ya? Terus memikirkan apa yang harus dilakukan, tanpa memberi waktu untuk dirimu sendiri.”

“Karena kalau aku berhenti berpikir, aku mungkin akan kehilangan segalanya,” jawab Nara pelan.

Adrian tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan dalam matanya. “Tapi kadang, berhenti sejenak adalah satu-satunya cara untuk tetap waras, Nara.”

Nara mengangkat bahu, tidak menjawab. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa dia tidak pernah benar-benar punya pilihan untuk berhenti.

Namun, malam itu terasa berbeda. Ada keheningan di antara mereka yang tidak lagi penuh dengan kecanggungan, melainkan kehangatan. Nara mulai merasa bahwa dia tidak sendirian lagi, bahwa ada seseorang yang memahami bebannya.

Adrian memandang Nara dengan serius. “Aku tahu kamu mungkin nggak percaya padaku sepenuhnya. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu. Apa pun yang terjadi.”

Nara menoleh, dan untuk pertama kalinya, dia melihat ketulusan yang begitu dalam di mata Adrian. “Kenapa kamu melakukan semua ini, Adrian? Kamu bahkan nggak punya alasan untuk peduli padaku.”

“Aku peduli karena aku melihat seseorang yang luar biasa di dirimu, Nara. Kamu berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Itu hal yang nggak bisa dilakukan banyak orang. Dan aku... aku ingin jadi bagian dari perjuangan itu.”

Nara tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Adrian menyentuh sesuatu dalam dirinya yang sudah lama dia pendam. Dia ingin percaya, tapi rasa takutnya masih terlalu besar.

Namun, sebelum dia sempat merespons, suara langkah kaki terdengar dari arah lain taman. Adrian langsung siaga, menatap ke arah suara itu dengan waspada.

“Sepertinya kita nggak bisa beristirahat lama-lama,” gumamnya.

Sekelompok pria muncul dari bayangan pohon, wajah mereka keras dan penuh ancaman. Salah satu dari mereka melangkah maju, menatap Adrian dan Nara dengan tatapan tajam.

“Kalian pikir bisa bersembunyi dari kami?” suara pria itu terdengar dingin dan mengancam.

Adrian berdiri, melindungi Nara di belakangnya. “Kami nggak mencari masalah. Tapi kalau kalian memaksa, kami nggak akan diam saja.”

Pria itu tertawa kecil. “Kalian memang berani. Tapi keberanian nggak akan menyelamatkan kalian malam ini.”

Ketegangan semakin memuncak. Nara meraih sebuah tongkat kayu yang tergeletak di dekatnya, bersiap untuk melawan. Tapi sebelum mereka sempat bertindak, suara klakson mobil terdengar di belakang mereka.

Maya muncul dengan mobil, berhenti tepat di depan taman. “Cepat masuk!” teriaknya.

Adrian dan Nara tidak membuang waktu. Mereka berlari menuju mobil, menghindari pria-pria yang mulai mengejar. Maya langsung menekan pedal gas, membawa mereka menjauh dari bahaya.

Di dalam mobil, suasana tegang masih terasa. Nara menoleh ke arah Adrian, yang duduk di sampingnya. “Terima kasih,” bisiknya pelan.

Adrian hanya tersenyum kecil, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. “Kita satu tim, Nara. Aku akan selalu ada di sini untuk melindungimu.”

Setelah memastikan bahwa mereka sudah aman, Maya membawa mereka ke lokasi persembunyian baru, sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Di sana, mereka bertemu kembali dengan jurnalis yang membawa kabar baik.

“Kami sudah mempublikasikan semua data dari flash drive ini, dalam beberapa jam, berita ini akan tersebar ke seluruh negeri. Orang-orang akan tahu kebenaran tentang Aksara,” jawab jurnalis itu.

Adrian, Nara, dan Maya saling berpandangan, merasa lega sekaligus emosional. Perjuangan mereka selama ini akhirnya mulai membuahkan hasil.

“Jadi... ini selesai?” tanya Maya dengan suara bergetar.

“Belum sepenuhnya, tapi ini awal dari akhir. Sekarang, kita hanya perlu menunggu,” jawab adrian.

Nara tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya duduk di sofa, mencoba mencerna semuanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa ada harapan.

Malam itu, Nara keluar ke balkon rumah kecil itu, menatap langit yang penuh bintang. Dia merasa tenang, tetapi juga kosong. Setelah sekian lama berjuang, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya.

Adrian menyusulnya, membawa dua cangkir kopi. Dia menyerahkan satu pada Nara, lalu duduk di sampingnya.

“Kamu kelihatan gelisah,” katanya sambil menatapnya.

“Aku nggak tahu kenapa, harusnya aku merasa lega, tapi... aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang,” jawab Nara jujur.

Adrian menatapnya dalam-dalam. “Mungkin karena kamu belum memberi dirimu kesempatan untuk merasa bahagia.”

Nara tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab.

“Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku... aku mencintaimu, Nara.” Lanjut Adrian, suaranya terdengar lembut.

Kata-kata itu membuat Nara terdiam. Dia menatap Adrian dengan mata lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Aku nggak mengharapkan jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan. Dan aku akan menunggumu, selama yang kamu butuhkan," tambah Adrian cepat-cepat.

Nara merasa hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin dia bisa membiarkan dirinya mencintai lagi.

“Terima kasih, Adrian untuk segalanya," bisik nara pelan penuh makna.

Adrian tersenyum, lalu menatap langit bersama Nara. Di bawah langit yang penuh bintang, mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp

  • When Drama Becomes Reality    Novel Yang Tertunda

    Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian

  • When Drama Becomes Reality    Hidup yang Baru

    “Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u

  • When Drama Becomes Reality    Jejak dalam Kegelapan

    Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi

  • When Drama Becomes Reality    Jejak Yang Tertinggal

    Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status