Home / Lainnya / When Drama Becomes Reality / Jejak di Balik Tirai

Share

Jejak di Balik Tirai

Author: Mariya
last update Last Updated: 2024-11-30 09:21:22

Ruangan gelap di balik tirai merah. Di dalamnya, kotak kayu berisi naskah kuno menjadi pusat perhatian. Ketegangan memuncak dengan suara langkah kaki mendekat dari luar ruangan.

Lampu ruangan tiba-tiba padam, membuat ruangan menjadi gelap gulita. Maya meraih tangan Nara, panik.

Maya berbisik “Nara, kita harus pergi! Sekarang!”

Namun, Nara tetap terpaku pada kotak kayu di depannya. Dia menatap naskah di tangannya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Suara langkah kaki semakin mendekat.

Terdengar suara Nara samar-samar “Tunggu. Aku harus tahu lebih banyak.”

Maya menjawab dengan cepat dan tegas “Enggak! Kalau ketahuan, kita bisa dikeluarkan dari produksi ini, atau lebih buruk lagi.”

Maya menarik tangan Nara, tapi sebelum mereka bisa keluar, pintu tiba-tiba terbuka. Cahaya dari luar menyorot sosok tinggi Aksara. Wajahnya tegas, tetapi matanya tampak menyimpan sesuatu yang tidak bisa ditebak.

Aksara dingin “Apa yang kalian lakukan di sini?”

Nara dan Maya saling berpandangan. Maya mencoba menjelaskan, tapi Nara menyela lebih dulu.

“Kotak ini... apa hubungan Anda dengan ini?”

Aksara sambil melangkah masuk, menutup pintu “Aku yang seharusnya bertanya, siapa yang mengizinkan kalian masuk ke ruangan ini?”

Nara tidak menjawab. Dia memegang naskah dengan erat, menatap Aksara dengan penuh curiga.

Nara meninggikan suaranya “Naskah ini... Anda tahu sesuatu tentang ayah saya, bukan?”

Aksara berhenti melangkah, terlihat sedikit terkejut mendengar pernyataan Nara. Tapi dia segera memasang wajah tenang, seperti tidak ada yang terjadi.

Aksara sedikit menghindar “Nara, lebih baik kalian keluar dari sini sekarang. Latihan akan dimulai lagi lima belas menit lagi.”

Maya menjawab dengan suara pelan, mencoba meredakan situasi “Pak Aksara, kami tidak bermaksud....”

Aksara memotong perkataan Maya, dengan nada tajam “Keluar!”

Maya menarik Nara keluar dari ruangan dengan paksa, meninggalkan Aksara sendirian di dalam. Ketika pintu tertutup, Nara berbalik menatap pintu itu, rahangnya mengeras. Di dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Aksara.

Setelah keluar dari ruangan, Nara dan Maya duduk di sudut ruang latihan. Maya terlihat masih panik, sedangkan Nara memegang naskah kuno yang berhasil dia ambil dari kotak kayu.

Maya berbisik “Kamu gila, Nara. Kita nyaris dihukum tadi.”

Nara menjawab dingin, tanpa menatap Maya “Kalau aku enggak masuk ke sana, aku enggak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan ayahku.”

Maya menghela napas panjang “Kamu serius, ya? Jadi kamu benar-benar pikir naskah itu...”

Nara memotong pembicaraan, sambil membuka halaman pertama naskah “Bukan cuma pikir, May. Aku tahu, ini naskah yang pernah ditulis ayahku.”

Maya terlihat terkejut, tapi dia tidak tahu harus berkata apa. Nara melanjutkan membaca naskah itu, membalik halaman dengan cepat. Di beberapa bagian, tulisan tangan ayahnya muncul, mencoret-coret dialog dan memberikan catatan.

Nara bersumpah “Dia mencoba mengatakan sesuatu melalui sandiwara ini.”

Maya kemudian berbisik “Tapi... kenapa Pak Aksara yang memilikinya?”

Nara menatap Maya, tatapannya dingin “Itulah yang akan kita cari tahu.”

Hari berganti malam. Latihan selesai, dan semua pemain sudah pulang kecuali Nara. Dia duduk sendirian di ruang latihan, memegang naskah kuno itu. Lampu di ruangan menyala temaram, menciptakan bayangan panjang di dinding.

Nara membaca naskah itu lebih dalam. Salah satu catatan di tepi halaman menarik perhatiannya.

Catatan tangan "Tidak semua rahasia bisa terungkap di atas panggung. Beberapa harus ditemukan di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara mengernyit, mencoba memahami maksud dari kalimat itu. Sebuah kenangan tiba-tiba terlintas di benaknya, wajah ayahnya yang tersenyum di depan meja kerjanya, dengan setumpuk naskah di sekitarnya.

Ayah Nara dalam ingatannya “Tirai tidak hanya menyembunyikan panggung, Nara. Tirai juga bisa menyembunyikan kebenaran.”

Nara tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara langkah kaki di lorong. Dia mengintip keluar pintu, melihat Aksara berjalan cepat menuju ruang di balik tirai merah. Tanpa pikir panjang, Nara mengikutinya dari kejauhan.

Nara berhenti di ujung lorong, mengintip ke ruang di balik tirai. Aksara berdiri di depan kotak kayu, memegang naskah kuno lainnya. Dia membuka halaman demi halaman, lalu berbicara sendiri dengan suara rendah.

Aksara dengan nada lirih “Mengapa kau menulis ini, Darma? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”

Nara tersentak mendengar nama ayahnya disebut. Dia mencoba mendekat lebih jauh, tetapi tanpa sengaja menginjak sesuatu yang membuat suara kecil. Aksara langsung menoleh, matanya tajam seperti elang.

Aksara berteriak dengan suara keras “Siapa di sana?”

Nara tidak punya pilihan selain keluar dari tempat persembunyiannya. Dia berdiri di depan pintu, berusaha tampak percaya diri meskipun jantungnya berdegup kencang.

Nara bertanya dengan dingin “Anda tahu tentang ayah saya. Saya ingin tahu apa yang terjadi.”

Aksara menatap Nara lama, sebelum akhirnya menghela napas dan menutup kotak kayu itu.

Aksara merasa lelah “Kau tidak akan mengerti.”

Nara menjawab dengan tegas “Kalau Anda tidak memberitahu saya, saya akan mencari tahu sendiri.”

Aksara terlihat ragu, tetapi akhirnya dia berbicara dengan nada rendah.

“Ayahmu, Darma, adalah salah satu penulis terbaik yang pernah bekerja sama denganku. Tapi dia terlalu jujur. Terlalu berbahaya.”

Nara merasa bingung “Apa maksud Anda?”

Aksara menjelaskan maksudnya “Dia menulis sesuatu yang tidak seharusnya dia tulis. Sesuatu yang bisa menghancurkan banyak orang.”

Aksara berjalan mendekati Nara, tatapannya penuh tekanan.

Aksara sedikit kaku “Nara, kalau kau peduli pada hidupmu, lupakan semua ini.”

Sebelum Nara bisa membalas, Aksara melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Nara sendirian di sana.

Setelah Aksara pergi, Nara kembali melihat kotak kayu itu. Dia membuka lagi naskah di dalamnya, mencari petunjuk lebih lanjut. Pada halaman terakhir, dia menemukan sebuah surat yang ditulis tangan oleh ayahnya.

Isi Surat "Untuk anakku, Nara. Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada lagi. Tetapi percayalah, semua yang kulakukan adalah untuk melindungi keluargamu. Jangan percaya pada siapapun, terutama mereka yang mengendalikan panggung. Temukan aku di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara menggenggam surat itu dengan erat, air mata mengalir di pipinya. Dia tahu, apa pun yang terjadi, dia harus melanjutkan pencarian ini meskipun itu berarti menghadapi bahaya yang lebih besar.

Nara masih memegang surat ayahnya. Tangannya bergetar, tidak hanya karena emosi, tetapi juga karena rasa takut yang semakin menyelimuti hatinya. Dia membaca ulang kalimat terakhir surat itu: "Temukan aku di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai." Maya tiba-tiba muncul di pintu, dengan wajah khawatir.

Maya berjalan pelan mendekati Nara “Aku sudah bilang kamu enggak seharusnya di sini, Nara. Apa yang kamu temukan?”

Nara tidak menjawab, tetapi memberikan surat itu kepada Maya. Maya membacanya dengan cepat, dan wajahnya berubah pucat.

Maya lalu berbisik “Tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai? Maksudnya apa?”

Nara merasa dingin, sambil menatap ke arah tirai “Aku enggak tahu, tapi aku yakin ini lebih dari sekadar metafora.”

Maya mulai panik “Ini berbahaya, Nara. Pak Aksara jelas menyembunyikan sesuatu, dan aku yakin dia enggak akan membiarkan kita terus mencari.”

Nara dengan tegas “Aku enggak peduli, May. Ini tentang ayahku. Aku harus menemukan jawabannya, apapun risikonya.”

Maya tampak ragu, tetapi dia tahu betapa keras kepala Nara. Dia menghela napas panjang sebelum berbicara lagi.

Maya menyerah “Baiklah. Tapi kamu enggak akan melakukannya sendirian.”

Nara tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena Maya bersedia membantunya. Dia menatap kembali naskah di tangannya, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut.

Keesokan harinya, Nara dan Maya memutuskan untuk menyelidiki teater lebih lanjut. Mereka menemukan ruang arsip tua di bagian bawah gedung, yang selama ini jarang disentuh. Di sana, mereka menemukan dokumen-dokumen lama, termasuk beberapa naskah dan catatan yang ditulis oleh ayah Nara.

Maya berbisik sambil membuka kotak arsip “Kenapa ruangan ini seperti ditinggalkan?”

Nara sambil melihat sekeliling “Mungkin karena di sini terlalu banyak jejak masa lalu yang ingin dilupakan.”

Maya mengeluarkan salah satu map berdebu, dan di dalamnya terdapat beberapa foto tua. Salah satu foto menunjukkan ayah Nara berdiri bersama Aksara dan beberapa orang lain, di depan panggung yang dihiasi tirai merah.

Maya terkejut “Lihat ini. Ayahmu bekerja dengan Pak Aksara sejak dulu?”

Nara sambil mengambil foto itu “Lebih dari itu. Mereka kelihatannya dekat.”

Di belakang foto itu, ada tulisan tangan kecil: "Rahasia besar dimulai di sini." Maya menunjuk ke sudut lain ruangan, di mana terdapat sebuah pintu kecil yang hampir tersembunyi di balik rak tua.

Maya mendekat seraya merendahkan suaranya “Mungkin ini yang mereka maksud dengan, di tempat di mana cahaya tidak pernah mencapai."

Nara dan Maya mendekati pintu itu. Pintu tersebut terkunci, tetapi Nara menemukan sebuah kunci kecil di salah satu kotak arsip yang mereka buka sebelumnya. Dengan hati-hati, dia memasukkan kunci itu ke lubang kunci dan memutar perlahan. Pintu terbuka dengan bunyi berderit pelan, mengungkap sebuah lorong gelap yang turun ke bawah.

Lorong itu sempit dan berbau lembap. Lampu di atas kepala mereka berkedip-kedip, menciptakan bayangan aneh di dinding. Nara memimpin jalan, dengan Maya mengikutinya dengan enggan. Di ujung lorong, mereka menemukan pintu logam besar dengan simbol misterius yang terukir di tengahnya.

Maya sambil berbisik “Aku enggak suka ini, Nara. Rasanya seperti kita masuk ke sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.”

Nara dengan suara tegas “Itu berarti kita ada di tempat yang tepat.”

Nara menemukan tuas di samping pintu logam dan menariknya. Pintu itu terbuka dengan suara gemuruh berat, mengungkapkan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan alat-alat teater tua, kostum, dan beberapa naskah lain. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang penuh dengan catatan.

Maya berbisik kagum “Apa ini? Semacam tempat rahasia untuk penulis?”

Nara sambil melihat sekeliling “Atau tempat mereka menyimpan rahasia yang terlalu berbahaya untuk dipertunjukkan.”

Nara mendekati meja dan melihat catatan yang ditulis oleh ayahnya. Salah satu catatan itu berbunyi: "Kebenaran tidak selalu diterima. Tapi itu tidak berarti kita harus berhenti mencarinya." Di sudut meja, ada amplop besar dengan nama Nara tertulis di atasnya.

Maya berbisik “Itu buat kamu, Nara.”

Nara membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada surat panjang yang menjelaskan bagaimana ayahnya menemukan rahasia besar di balik teater tersebut. Sebuah konspirasi yang melibatkan orang-orang kuat yang menggunakan seni untuk menyembunyikan kebenaran.

Ketika Nara selesai membaca surat itu, Maya menyadari sesuatu. Di salah satu sudut ruangan, ada kamera kecil yang tersembunyi di balik kostum.

Maya kaget, menunjuk kamera “Nara... kita diawasi.”

Sebelum Nara sempat bereaksi, pintu logam di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Lampu ruangan meredup, dan suara langkah kaki mulai terdengar mendekat dari lorong di luar.

Nara dengan suara pelan, dengan mata penuh tekad “Mereka tahu kita di sini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Nara tak menyangka jika Adrian bisa sampai terluka parah bersimbah darah. Ia segera mamapah Adrian kedalam Apartemennya. Kemudian ia menutup pintu dan membawakan obat untuk segera membalut tangan Adrian yang terluka. “Adrian apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa sampai seperti ini?” Tanya Nara dengan rasa khawatir yang menyelimuti dirinya, dan nampak begitu jelas di wajah Nara. “Aku tidak apa-apa, hanya tak sengaja menabrak seseorang saat akan keluar dari rumah.” Jawab Adrian mencari alasan agar Nara tidak terlalu mengawatirkan dirinya. “Kamu jangan membohongiku! Ini jelas-jelas luka senjata tajam, ini belati yang mengandung racun. Dan racunnya baru saja aku bersihkan, mungkin masih tersisa sedikit.” “Kamu tahu tentang obat-obatan Nara?” Tanya Adrian penasaran. Nara menganggukkan kepalanya, dan menjelaskan jika ia belajar mengenal obat-obatan sejak ia masih kecil, ia sering membuat berbagai macam ramuan herbal untuk segala penyakit. “Aku tak menyangka jika kau begitu teramp

  • When Drama Becomes Reality    Novel Yang Tertunda

    Hati mereka begitu hancur mendengar Nara tak sadarkan diri. Setelah Nara dipindahkan keruangan VIP, mereka begitu tegang menunggu berjam-jam hingga jam 3 dini hari, Nara belum juga ada tanda-tanda perubahan. Adrian tak menyangka jika Nara akan seperti ini. Ditengah kegelisahannya. Datanglah Maya dan Reza yang baru saja membeli makanan untuk mereka. “Makanlah walau sedikit, jika kamu sakit siapa yang akan menjaga Nara nantinya?” Sambil menerima nasi jitak yang diberikan oleh maya untuknya. “Terimakasih May, maaf jadi merepotkanmu! Apa kalian sudah makan?” “Tidak apa, kebetulan kami sudah makan tadi diwarung makan. Kami bersyukur juga jam segini, masih ada warung makan yang buka.” Andrean merasa terharu dengan kebaikan sahabat, yang belum lama ia kenal. Keesokan paginya disaat mereka sedang terlelap tidur terdengar suara gelas terjatuh. Hingga membuat mereka terkejut. Saat mereka terbangun hak yang tak terduga terjadi pada pada Nara. “Nara, cepat tolong Nara! Sedangkan kau

  • When Drama Becomes Reality    Kejadian Tak Terduga

    Adrian dan Reza menjadi begitu panik ketika mendapatkan kabar yang tak terduga dari nomor tak dikenal. “Apa kamu bisa melacak nomor tersebut ?” tanya adrian yang terlihat begitu panik. “Kamu jangan terlalu panik, jika kamu bersikap seperti ini, pikiranmu tidak akan bisa memecahkan masalah. Tunggu, sepertinya handphonemu berdering.” Nomor yang sama kembali menghubungi Adrian meminta ia mencari alamat yang dikirimkan padanya. Mereka segera berangkat menaiki mobil Reza. Tak berselang lama mereka telah sampai ditempat yang mereka cari. Rumah tua yang terlihat sangat lusuh dan penuh dengan rerumputan yang tumbuh menjulang tinggi menutupi halaman rumah. Adrian bersama Reza berjalan perlahan, sebelum mereka beraksi Adrian menghubungi seseorang. Setelah itu mereka segera beraksi, saat mereka tengah melangkahkan kaki hal tak terduga terjadi. “Hahaha, tak ku sangka kamu begitu peduli padanya!” “Siapa kamu!” Seru Adrian dan Reza. “Kalian tidak perlu tau siapa aku, tapi yang perlu kalian

  • When Drama Becomes Reality    Hidup yang Baru

    “Kenapa Ayahku selalu saja terlibat dalam perbuatan mereka. Sungguh sangat merasa putus asa. Aku kira pementasan yang sebelumnya akan membuatku naik daun. Tapi ternyata aku harus menyelesaikan masalah seperti ini.”“Kamu tidak bersalah Nara, jadi jangan pernah menyesali semua keputusan yang sudah kamu ambil,” ujar Adrian dengan lembut.Maya yang masih sibuk dengan laptopnya segera menyelesaikan semuanya. Setelah dirasa data mereka sudah cukup kini maya menyerahkan sebuah berkas penting. ia mendekati Nara mencoba menghiburnya. Nara berharap semua ini segera berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang terjadi. Malam-malam yang ia lalui terasa begitu kelam. Namun ia harus selalu dituntun dengan keadaan.“Sudahlah Nara aku tahu kamu ingin sekali menjadi seorang yang mempunyai bakat. Bahkan ingin menjadi seorang penulis hebat seperti ayahmu. Tapi kamu dihadapkan dapam dua pilihan,” jawab Maya sambil mendekati Nara dan menyeka air matanya.“Terimakasih Maya kamu selalu ada u

  • When Drama Becomes Reality    Jejak dalam Kegelapan

    Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh suara langkah kaki yang mendekat. Sutra terus berbicara, suaranya dingin dan penuh ejekan.“Tidak ada gunanya kalian lari,” katanya, suaranya menggema di gudang kosong itu. “Aku sudah memprediksi langkah kalian. Dan sekarang, aku ada di sini untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”Nara merasa tubuhnya gemetar, tetapi genggaman Adrian di tangannya memberikan kekuatan yang tak ia sangka. Dengan napas tertahan, ia berbisik, “Kita harus keluar dari sini.”Adrian mengangguk pelan. "Ikuti aku. Maya, Reza, siapkan rencana keluar."Reza memberikan isyarat tangan kepada Adrian, lalu bergerak dengan sigap menuju bagian belakang gudang, mencari jalan keluar alternatif. Sementara itu, Maya sibuk menyimpan perangkat keras yang berisi data penting ke dalam tas kecilnya.Namun, langkah Sutra semakin dekat. Suaranya kini terdengar semakin tajam. “Jadi, ini yang tersisa dari keluarga Darma Yudha? Memalukan sekali.”Nara menggigi

  • When Drama Becomes Reality    Jejak Yang Tertinggal

    Lorong menuju ruang arsip utama dipenuhi suara derap langkah penjaga yang mulai mendekat. Nara, Adrian, Reza, dan Maya bergerak dengan hati-hati, menjaga agar setiap langkah mereka tak mengundang perhatian. Pria tua yang sebelumnya mereka temui memberi petunjuk jalan sebelum bersembunyi kembali di salah satu ruangan. "Ruang arsipnya ada di ujung lorong ini," bisik Maya sambil memegang tablet yang memindai peta digital bangunan. "Tapi kita harus melewati setidaknya tiga lapis pengamanan." "Berapa banyak penjaga?" tanya Adrian, memeriksa pistolnya. "Setidaknya ada enam di area ini, tapi kita tidak tahu berapa banyak yang berjaga di depan ruang arsip," jawab Maya. Reza memberikan tanda tangan kepada tim untuk terus bergerak. “Kita harus melakukannya dengan cepat dan senyap. Kalau mereka tahu kita di sini, mereka bisa menghancurkan data sebelum kita sempat mendapatkannya.” Langkah mereka terhenti di depan pintu baja besar, salah satu lapisan pertama yang harus dilewati. Maya segera b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status