Share

BAB 4. Jodoh yang Belum Tampak

Di sudut sebuah kamar dekat jendela, duduk seorang wanita sedang membaca novel. Buku itu terbuka di halaman yang sama sejak bermenit-menit yang lalu. Sepertinya wanita itu tidak benar-benar membacanya. Rintik hujan yang mengenai kaca jendela mengaburkan bayangannya. Macetnya jalan raya di bawah sana tidak lagi menarik perhatiannya.

“Jadi, namanya Arion ya,” gumamnya lalu meraih ponsel di sebelahnya. Mata Val mengamati nomor yang tersimpan di sana. Teringat dalam benaknya pertemuan dengan lelaki tampan nan baik hati siang tadi.

Senyumnya mengembang membayangkan seandainya ia benar-benar berjodoh dengan laki-laki itu. Sungguh paduan yang sempurna untuk seorang calon suami. Apalagi sang ibu sering menanyakan calon yang belum diketahui keberadaannya.

“Mungkin jodohku masih orok.” Itu alasan yang sering ia berikan bila ada yang bertanya tentang calon suami.

Hah! Calon pacar saja belum ada. Apalagi calon suami! dengusnya kesal.

 Memang untuk ukuran wanita seumuran Val, sindiran-sindiran halus tentang calon suami sangat mengganggu. Terutama Tante Icha dan Rissa yang tak henti-hentinya memberi nama beberapa kenalan prianya. Di saat teman-teman dan saudaranya yang lain sudah berkeluarga dan mempunyai anak, Val masih ingin bekerja mengejar impian yang terpendam sejak lama.

Mungkin saja, sebentar lagi, impian dan jodohnya itu akan datang bersamaan. Memikirkan hal itu Val tersenyum-senyum sendiri layaknya orang dimabuk cinta. Kemudian ia tersadar saat melihat bayangannya di jendela.

“Astaga! Aku sampai senyum-senyum sendiri kayak orang gila!” pekiknya. Memang jatuh cinta itu berjuta rasanya, tiada hari tanpa memikirkan orang itu.

Val tertawa seperti orang kesetanan. Melompat-lompat di tempat duduknya. Tangannya menari-nari dengan gerakan yang kacau. Beruntung sekarang ini adalah siang hari, bayangan gilanya tidak akan terlihat dari gedung sebelah.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia terkejut mendapati nomor yang meneleponnya dan mengangkatnya dengan gugup.

“Ha-halo? Iya, saya sendiri.” Val menjawab. Ia mendengarkan dengan serius suara di seberang sana. Tak lama matanya terbuka lebar, sama lebarnya dengan senyum di wajahnya.

“Benarkah?” teriaknya tak percaya. “Terima kasih! Terima kasih banyak! Saya akan bekerja sebaik-baiknya! Iya, sampai jumpa!”

“YEAAAY!” Val melompat lagi di kursinya dan mendarat dengan ceroboh. Ia terjatuh di lantai. Bibir tipisnya mengeluarkan rintihan. Tertatih-tatih ia bangun kemudian duduk dengan benar.

Kayaknya ini hari keberuntunganku! Ketemu sama cowok ganteng, dia malah ngasih nomornya juga. Dan, aku diterima di tempat yang kuinginkan! Ah, rasanya hidupku jadi indah kayak di drama!

Mendadak Val melompat dari duduknya dan menghambur ke kamar. Tas hitam itu masih tak tersentuh di atas tempat tidurnya. Ia seperti tersihir oleh pesona laki-laki itu hingga melupakan awal mula pertemuan ajaib ini.

“Gawat! Aku kelupaan!” Val mengambil baju kotor itu lalu membawanya ke kamar mandi. Ia mencoba mencucinya dengan berbagai cara yang ia dapat dari internet dalam perjalanan pulang.

Sekian lama Val mencoba membersihkannya, noda itu tidak bisa hilang sepenuhnya. Jika diamati lebih jelas, masih membekas sedikit.

“Duh, gimana ini?” Val bingung. “Kalau dipaksain, nanti malah rusak.” Ia menatap nanar baju Arion yang tergantung di jemuran setelah usahanya yang terakhir.

Val merebahkan diri di tempat tidur. Kelelahan hanya mencuci sepotong pakaian. Mungkin hari ini aku nggak sepenuhnya beruntung. Setiap keberuntungan biasanya diikutii oleh kesialan. Dan aku sial karena menabraknya dua kali.

Ia bukannya tidak punya uang untuk menggantinya. Namun, membeli barang yang bukan kebutuhan itu pemborosan dan akan merusak kenyamanannya.

Coba besok aku bawa ke penatu deh, putusnya kemudian. Biayanya akan lebih ringan daripada harus membeli baru.

Ponsel di sampingnya berdering dengan nada yang khas. Tanpa melihatnya pun ia tahu siapa peneleponnya. Ia menunggu beberapa saat sebelum mengangkatnya dengan malas.

“Halo?”

“Valerie! Apa kamu sudah dapat pekerjaan baru?!” teriak suara di seberang sana.

Val menjauhkan ponsel dari telinga dan mengernyitkan dahi. Sudah kuduga.

“Kamu ini! Sudah enak di kantor lama, gaji besar, malah pindah! Apa yang ada di pikiranmu? Sudah sejak lama kamu menginap di rumah, tapi nggak ada kabar sama sekali!”

Val mendesah. Apa yang dikatakan Mama benar sih. Tapi, apa aku salah ingin bekerja sesuai impianku?

“Val sudah dapat pekerjaan hari Senin besok.”

Nada suara di seberang berubah. “Benarkah? Berapa gajinya? Apa cukup memenuhi semua kebutuhanmu?”

“Iya, cukup. Cukup untuk membayar biaya apartemen dan lainnya. Mama tenang aja, kali ini Val yakin akan berhasil.”

“Lebih dari itu, kenapa kamu nggak menikah saja sih? Cari laki-laki yang mapan dan bertanggung jawab sama kamu. Jangan salahin Tante Icha yang selalu mengomelimu. Dia itu peduli padamu!

Val memutar mata dengan malas. Nah, mulai lagi nih pembicaraan yang menyebalkan.

“Mama nggak melarang kamu kerja, tapi paling nggak, ada yang bantu dan temani kamu. Di keluarga kita, cuma kamu aja yang belum menikah! Apa kamu nggak kasihan sama Mama sendirian di rumah sepeninggal papamu?” Lagi-lagi nasihat yang sama didengar Val.

“Mencari orang kayak gitu nggak gampang, Ma. Lagian masih banyak yang ingin Val kerjakan. Kalau kesepian, Mama saja yang tinggal di sini temani Val.”

Sang mama berdecak mendengar alasan yang diberikan putrinya. “Kamu ini! Kamu ‘kan tahu Mama nggak suka tinggal di gedung tinggi kayak gitu. Rasanya nggak menapak tanah.”

Val tertawa. Lalu ia teringat pertemuannya dengan laki-laki tadi. “Oh ya, Ma, tadi Val ketemu sama seseorang. Kayaknya sesuai deh sama kriteria Mama!”

Dugaannya benar. Sang mama tampak senang dan mulai menanyakan macam-macam tentang laki-laki yang baru sekali Val temui.

“Orangnya gimana? Baik nggak sama kamu? Kerjaannya apa? Tinggal di mana? Keluarganya? Orang tuanya?”

“Astaga, Ma! Val baru ketemu tadi siang, itu pun nggak sengaja. Nanti deh kalau ada perkembangan, Val kabari Mama. Tapi, jangan berharap banyak ya, Ma ... Val nggak yakin juga soalnya.”

Yang penting kamu jaga diri baik-baik supoya ketemu sama orang baik juga. Kalau ada apa-apa segera hubungi Mama. Sudah ya, Mama mau arisan dulu. Siapa tahu kali ini Mama yang dapat. Daah, Sayang!”

Val menutup telepon dan memejamkan mata. Sedari tadi benaknya tidak berhenti berpikir tentang Arion. Tentang pakaian yang tidak bisa ia bersihkan dengan sempurna. Khawatir laki-laki itu tidak sebaik penampilannya. Memang terlalu dini untuk menyimpulkan karakter seseorang dalam sekali pertemuan.

Ya, tapi kalau memang benar jodohku, rasanya keren banget! Tampan, mapan, baik hati, tanggung jawab. Sempurna banget kayak tokoh dalam komik atau novel!

Terlarut dalam angan-angan liarnya, Val tertidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status