Share

BAB 9. Pekerjaan vs Perasaan

Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher.

“Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air.

“Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val.

Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.

“Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!”

“Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap.

Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga meninggalkan pantri. Saat ia akan duduk di tempatnya, Saga keluar dari ruangan Arion dan memberi tatapan menusuk.

“Kau sudah selesai?” tanyanya. Ia menarik tubuhnya duduk dan menghadap ke monitor. “Mulai besok kau nggak bisa santai seperti hari ini. Besok ada tugas yang menantimu.” Saga berbicara tanpa menoleh.

“Baik, Pak,” jawab Val pasrah. Semoga aku bisa dan harus bisa! tekadnya dalam hati. Aku nggak mau kalah dan ditekan orang ini terus-terusan!

“Datanglah tepat waktu.” Saga menambahkan.

“Iya.”

Saga melirik Val sekilas, lalu kembali pada pekerjaannya.

Val kembali menghadapi catatan yang harus ia baca. Masih tinggal sedikit lagi, tapi tampaknya tidak akan selesai tepat waktu. Sekarang sudah hampir pukul lima.

Keseriusan Val dalam mempelajari pekerjaannya membuat Arion yang baru keluar dari ruangannya tersenyum. Ia berhenti di tempat Saga dan menepuk bahunya. Laki-laki itu segera membereskan meja dan mematikan monitornya.

“Matikan semuanya saat kau sudah selesai,” kata Saga sambil berjalan melewati Val.

“Iya,” jawab Val pendek. Ia tak berani mengangkat wajah karena ada Arion di sebelah Saga. Ia tak ingin Saga berpikir macam-macam. Namun, sepertinya Saga sudah mengetahuinya, mengingat mereka bersahabat.

“Sampai besok, Val,” pamit Arion.

Val tidak mengatakan apa-apa yang membuat Saga menyipitkan mata.

Dua pria itu pun meninggalkan Val. Arion melambaikan tangan pada Rara, Dewi, dan Sandy yang juga bersiap-siap pulang.

Dalam perjalanannya menuju lift, Saga menoleh kembali pada Val, lalu berganti pada Arion dengan wajah semringahnya. Ia melihat bahwa atasan sekaligus sahabatnya itu benar-benar jatuh cinta pada Val. Sayangnya, ia benar-benar tak bisa menuruti permintaan Arion. Saga orang yang profesional dan tidak akan mencampur urusan pribadi dan pekerjaan.

“Kamu nggak pulang, Val?” Rara bertanya ketika melewatinya. Dewi dan Sandy juga turut mendekatinya.

“Iya, sebentar lagi,” jawabnya. “Mungkin aku harus lembur sedikit.” Bola mata Val melirik kertas-kertas yang masih berserakan di mejanya.

“Ya ampun, Val! Masa lembur di hari pertama kerja sih?” Dewi memberi pandangan iba.

“Ugh! Pak Saga memang keterlaluan deh!” Rara mengepalkan tangan dengan gemas.

“Padahal itu dasar-dasarnya saja sih. Apa kamu belum memahami ritme kerja Pak Saga?” tanya Sandy.

“Belum.”

“Kamu dan Pak Saga ada di bidang yang sama, sebagai editor untuk naskah-naskah yang masuk. Kalau kamu sudah paham tekniknya, harusnya gampang sih,” tutur Sandy.

“Iya, tapi ada beberapa yang aku masih bingung. Aku masih mempelajarinya,” sahut Val merasa malu. Padahal dia sendiri yang memutuskan terjun di bidang ini setelah menguburnya sekian lama. Seharusnya ia mempelajarinya kembali sebelum mulai bekerja.

“Ya, sudah. Kita pulang duluan, ya, Val?” pamit Rara kemudian, disusul dewi dan Sandy di belakangnya.

“Sampai besok!” balas Val sambil melambaikan tangan. Kini ia sendirian di ruangan ini menekuri lembaran catatan itu. Tiga puluh menit kemudian, ia menyerah.

“Kubawa pulang saja deh!” Tangan Val mulai membereskan meja dan mematikan komputer. Ia lalu turun ke lobi yang sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang saja dari lantai lain yang sedang duduk-duduk di sofa. Mungkin sedang menunggu seseorang menjemputnya, atau ada janji temu di sana.

Gedung berlantai dua puluh ini bukan sepenuhnya milik Arion. Bosnya itu hanya menyewa tiga lantai berurutan di bawahnya. Sisanya ada perusahaan-perusahaan lain di berbagai bidang.

Val telah memesan taksi online yang kini berada di depannya. Ia pun masuk dan kembali membaca pekerjaannya yang belum selesai. Beberapa saat kemudian, ia teringat sesuatu lalu mencari di ponselnya.

Ketika menemukan apa yang dicari, otomatis Val menepuk dahinya. “Astaga! Kenapa aku bisa lupa? Padahal bisa diunduh di ponsel!” katanya kesal. “Tahu begitu, aku nggak perlu bawa kertas-kertas sialan ini!”

Val melempar bundelan kertas itu ke samping dan mengumpat kesal. Bodoh kamu, Val! Menyusahkan diri sendiri saja!

Desah napas panjang keluar dari bibir Val. Merasa lelah, ia menyandarkan kepala pada kaca jendela mobil yang gelap dan mengamati pemandangan di luar sana.

Entah mengapa, hari ini terasa memusingkan baginya. Perasaan senang sekaligus sebal dan gugup bercampur aduk dalam dadanya. Ia senang bisa bertemu Arion yang ternyata adalah atasannya. Mungkin masih ada kesempatan untuk mendapatkannya. Di sisi lain, ia merasa tidak etis menjalin hubungan dengan seseorang seperti Arion. Ditambah lagi, tidak akan mudah bekerja bersama Saga yang tegas dan galak. Bahkan di hari pertamanya ini, Val bisa langsung mengerti karakter seniornya yang keras.

“Semoga saja aku bisa bertahan,” gumamnya letih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status