Val menutup pintu ruangan Arion dengan cepat lalu duduk di kursinya. Ia menghela napas lega seolah beban berat telah terangkat dari dadanya. Dengan satu tangan, ia mengusap keringat yang mengucur di dahi dan leher.
“Aku harus minum,” gumamnya sambil beranjak menuju pantri. Ia mengambil gelas di lemari dan mengisinya dengan air.
“Kamu ngapain tadi di ruang pak Rion lama sekali?” Tiba-tiba saja Rara sudah berdiri di sampingnya. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Val.
Sedikit tersedak, Val menatap Rara. “Bu-bukan apa-apa. Hanya bertanya sedikit tentang pekerjaanku,” katanya berbohong. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
“Nggak kayak biasanya deh,” celetuk Rara. “Dua orang sebelum kamu, Pak Rion nggak pernah begitu tuh!”
“Oh, aku nggak tahu. E-entahlah, mungkin suka-suka dia aja.” Val gugup dan khawatir kebohongannya akan terungkap.
Rara mengangguk. Ia lalu kembali ke mejanya dengan membawa segelas air. Tak lama Val juga meninggalkan pantri. Saat ia akan duduk di tempatnya, Saga keluar dari ruangan Arion dan memberi tatapan menusuk.
“Kau sudah selesai?” tanyanya. Ia menarik tubuhnya duduk dan menghadap ke monitor. “Mulai besok kau nggak bisa santai seperti hari ini. Besok ada tugas yang menantimu.” Saga berbicara tanpa menoleh.
“Baik, Pak,” jawab Val pasrah. Semoga aku bisa dan harus bisa! tekadnya dalam hati. Aku nggak mau kalah dan ditekan orang ini terus-terusan!
“Datanglah tepat waktu.” Saga menambahkan.
“Iya.”
Saga melirik Val sekilas, lalu kembali pada pekerjaannya.
Val kembali menghadapi catatan yang harus ia baca. Masih tinggal sedikit lagi, tapi tampaknya tidak akan selesai tepat waktu. Sekarang sudah hampir pukul lima.
Keseriusan Val dalam mempelajari pekerjaannya membuat Arion yang baru keluar dari ruangannya tersenyum. Ia berhenti di tempat Saga dan menepuk bahunya. Laki-laki itu segera membereskan meja dan mematikan monitornya.
“Matikan semuanya saat kau sudah selesai,” kata Saga sambil berjalan melewati Val.
“Iya,” jawab Val pendek. Ia tak berani mengangkat wajah karena ada Arion di sebelah Saga. Ia tak ingin Saga berpikir macam-macam. Namun, sepertinya Saga sudah mengetahuinya, mengingat mereka bersahabat.
“Sampai besok, Val,” pamit Arion.
Val tidak mengatakan apa-apa yang membuat Saga menyipitkan mata.
Dua pria itu pun meninggalkan Val. Arion melambaikan tangan pada Rara, Dewi, dan Sandy yang juga bersiap-siap pulang.
Dalam perjalanannya menuju lift, Saga menoleh kembali pada Val, lalu berganti pada Arion dengan wajah semringahnya. Ia melihat bahwa atasan sekaligus sahabatnya itu benar-benar jatuh cinta pada Val. Sayangnya, ia benar-benar tak bisa menuruti permintaan Arion. Saga orang yang profesional dan tidak akan mencampur urusan pribadi dan pekerjaan.
“Kamu nggak pulang, Val?” Rara bertanya ketika melewatinya. Dewi dan Sandy juga turut mendekatinya.
“Iya, sebentar lagi,” jawabnya. “Mungkin aku harus lembur sedikit.” Bola mata Val melirik kertas-kertas yang masih berserakan di mejanya.
“Ya ampun, Val! Masa lembur di hari pertama kerja sih?” Dewi memberi pandangan iba.
“Ugh! Pak Saga memang keterlaluan deh!” Rara mengepalkan tangan dengan gemas.
“Padahal itu dasar-dasarnya saja sih. Apa kamu belum memahami ritme kerja Pak Saga?” tanya Sandy.
“Belum.”
“Kamu dan Pak Saga ada di bidang yang sama, sebagai editor untuk naskah-naskah yang masuk. Kalau kamu sudah paham tekniknya, harusnya gampang sih,” tutur Sandy.
“Iya, tapi ada beberapa yang aku masih bingung. Aku masih mempelajarinya,” sahut Val merasa malu. Padahal dia sendiri yang memutuskan terjun di bidang ini setelah menguburnya sekian lama. Seharusnya ia mempelajarinya kembali sebelum mulai bekerja.
“Ya, sudah. Kita pulang duluan, ya, Val?” pamit Rara kemudian, disusul dewi dan Sandy di belakangnya.
“Sampai besok!” balas Val sambil melambaikan tangan. Kini ia sendirian di ruangan ini menekuri lembaran catatan itu. Tiga puluh menit kemudian, ia menyerah.
“Kubawa pulang saja deh!” Tangan Val mulai membereskan meja dan mematikan komputer. Ia lalu turun ke lobi yang sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang saja dari lantai lain yang sedang duduk-duduk di sofa. Mungkin sedang menunggu seseorang menjemputnya, atau ada janji temu di sana.
Gedung berlantai dua puluh ini bukan sepenuhnya milik Arion. Bosnya itu hanya menyewa tiga lantai berurutan di bawahnya. Sisanya ada perusahaan-perusahaan lain di berbagai bidang.
Val telah memesan taksi online yang kini berada di depannya. Ia pun masuk dan kembali membaca pekerjaannya yang belum selesai. Beberapa saat kemudian, ia teringat sesuatu lalu mencari di ponselnya.
Ketika menemukan apa yang dicari, otomatis Val menepuk dahinya. “Astaga! Kenapa aku bisa lupa? Padahal bisa diunduh di ponsel!” katanya kesal. “Tahu begitu, aku nggak perlu bawa kertas-kertas sialan ini!”
Val melempar bundelan kertas itu ke samping dan mengumpat kesal. Bodoh kamu, Val! Menyusahkan diri sendiri saja!
Desah napas panjang keluar dari bibir Val. Merasa lelah, ia menyandarkan kepala pada kaca jendela mobil yang gelap dan mengamati pemandangan di luar sana.
Entah mengapa, hari ini terasa memusingkan baginya. Perasaan senang sekaligus sebal dan gugup bercampur aduk dalam dadanya. Ia senang bisa bertemu Arion yang ternyata adalah atasannya. Mungkin masih ada kesempatan untuk mendapatkannya. Di sisi lain, ia merasa tidak etis menjalin hubungan dengan seseorang seperti Arion. Ditambah lagi, tidak akan mudah bekerja bersama Saga yang tegas dan galak. Bahkan di hari pertamanya ini, Val bisa langsung mengerti karakter seniornya yang keras.
“Semoga saja aku bisa bertahan,” gumamnya letih.
Pukul delapan kurang sepuluh menit, pintu lift terbuka. Val melangkah masuk ke ruangan di lantai 15 itu dan mendapati Saga sudah berada di sana. Pria itu sedang menatap serius pada monitornya. Val melihat sekeliling. Rara dan lainnya, bahkan kepala bagian sebelah sana belum tampak tanda-tanda kehadirannya. Pagi banget datangnya, gumam Val dalam hati. Ia mendekati meja dan menyapanya, “Selamat pagi, Pak.” Tidak mendapatan jawaban dari Saga, Val pun meletakkan tas dan hendak duduk di kursi. Belum juga pantatnya menyentuh kursi, seniornya itu berkata, lebih tepatnya memerintah, “Val, coba kau cek di halaman itu. Catat dan beri koreksi untuk ke depannya. Kau lihat post-it itu?” Val menatap kertas kuning yang tertempel di monitornya yang sudah menyala. Ada tulisan yang mirip coretan di kertas kecil itu. “Kau buka tautan itu. Pelajari isinya, dan berikan pendapat atau ide tambahan untuk menaikkan jumlah kunjungan.” Saga menambahkan
Val mendelik tak percaya membaca pesan yang dikirim Arion. Sesungguhnya ia melonjak girang dan bisa saja menjawab ‘iya’, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. Dia adalah orang baru di kantor ini dan ingin terus bekerja di sini. Apa yang akan terjadi jika ia begitu saja menerima tawaran Arion? Sesuka apa pun Val padanya, ia tak mungkin mengorbankan pekerjaan ini. Lagi pula di mana ada Arion, pasti akan ada Saga, bukan? Dua orang itu seperti lem dan perangko. Orang pacaran pun mungkin akan kalah dengan kedekatan mereka. Val tidak ingin Saga akan semakin menganggapnya rendah. Begitu pula Saga. Pria itu pasti tidak akan suka dirinya dekat-dekat dengan atasannya. Untuk sementara fokus pekerjaan dulu. Urusan hati dan cinta bisa menunggu, putus Val. Ia lalu mengetikkan balasannya, “Maaf, Pak, saya nggak bisa.” “Karena Saga?” Pesan Arion masuk beberapa detik kemudian. Val terkejut. Sudut matanya melirik Saga yang sedang menyeruput kop
Arion sedang duduk di kursi kerjanya saat gadis pujaannya masuk dengan gugup. Senyum tipis mengembang di wajah tampannya. Saga yang berdiri di depannya melotot tak senang, tapi ia tidak peduli. Manik hitamnya masih melekat pada Val yang bergerak kaku di sana. Sejujurnya Val kebingungan hendak duduk di mana. Sofa yang menempel di dinding sudah penuh oleh Rara dan lainnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiri saja di sebelah sandaran sofa tempat Rara berada. “Sori, Val, sudah penuh,” bisiknya. Val mengangguk dan tersenyum. Matanya menangkap buku kecil dan pulpen di pangkuan Rara dan lainnya. Mendadak Val sadar, ini adalah meeting pertamanya dan ia tidak membawa apa pun. Uh, oh! Bodoh sekali kamu, Val! rutuknya dalam hati. Ia meremas tangannya yang mulai basah dan kebas. Sementara Val berdiri kikuk, dua pria tampan itu sama-sama menatap ke arahnya. Yang satu memandang dengan senyum di bibirnya, satunya lagi dengan mata menyipit
Saga membereskan meja dan mematikan komputernya setelah keluar dari ruangan Arion. Ia sudah memperingatkan sahabatnya sekali lagi untuk tidak mengganggu Val di kantor. Namun, sepertinya Arion sudah tergila-gila pada gadis itu, dan tidak menghiraukan ucapannya. Itu yang membuat Saga semakin kesal. Val yang masih menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengamati Saga diam-diam dari ekor matanya. Ternyata Arion bisa juga membuat orang ini kesal! pikirnya. “Kau bereskan semua. Dan jangan lupa mematikan komputermu!” Saga memerintah sebelum ia pergi tanpa mendengar jawaban Val. Tak lama, Arion pun keluar dari ruangan dan berpamitan pada Val yang dibalas dengan anggukan pelan. Pria itu juga melakukan hal yang sama pada Rara dan lainnya. Setelah Arion turun, Rara langsung menyerbu Val dengan rentetan pertanyaan. Demikian juga Dewi dan Sandy yang terlihat bersemangat. “Val! Apa-apaan tadi itu?” sembur Rara. Ia menarik Val berdiri setelah mengambi
“Selamat malam, Val. Semoga kamu tidak keberatan aku mengirim pesan ini.” Begitu kalimat yang muncul di layar. Val segera mengelap mulutnya dan membalas pesan itu. “Malam, Pak. Nggak, sama sekali nggak keberatan,” tulisnya. “Ada apa, Pak? Apa ada masalah dengan pekerjaan saya?” Ia menambahkan setelah berpikir sejenak. Mungkin Saga melaporkan sesuatu tentang hasil kerjanya pada Arion. Arion membalasnya dengan emotikon tertawa. Di bawahnya ia menulis, “Nggak. Bukan masalah pekerjaan. Aku hanya merasa kamu jadi canggung setelah tahu siapa aku. Berbeda dengan pertemuan pertama kita.” Val mendelik membacanya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia hanya membalas, “Iya.” Dan pesan-pesan berikutnya terus muncul. “Sudah kubilang ‘kan waktu itu, di luar jam kerja atau berdua saja, bicara santai denganku. Aku hanya manusia biasa bukan raja atau presiden. Jangan membebani dirimu dengan pikiran seperti itu.” Val ter
“Bagaimana dia?” Arion bertanya setelah menyuap nasi ke dalam mulutnya. Saga yang sedang menggigit sepotong ayam goreng menaikkan sebelah alisnya. “Val,” jelas Arion memahami ekspresi Saga. “Kenapa?” tanya Saga. Ia kini menyendok nasi dengan sambal. “Kerjanya. Apa dia bisa mengikuti cara kerjamu?” Saga menggeleng. “Belum. Dia belum konsisten. Kadang cepat dan paham. Tapi, lebih sering lambat dan membuat kepalaku sakit, karena harus mengecek ulang. Sama saja dua kali kerja.” “Sabarlah … baru juga beberapa hari.” Arion menepuk bahu Saga. “Pokoknya─” “Iya, iya, aku tahu,” potong Arion sebelum Saga menuntaskan kalimatnya. Memang, sebisa mungkin Arion menuruti permintaan Saga. Ia sudah tidak mengganggu Val selama jam kerja selain hanya untuk mengajaknya makan siang. Nyatanya, gadis itu masih bergeming. Ajakan makan malam ataupun sekadar mengantar pulang juga ditolaknya. Arion masih bisa menelepon Val di malam
Pukul satu lewat sedikit Arion dan Saga kembali dari makan siang. Mereka langsung masuk ke ruangan kaca dan menutup pintunya.“Kenapa sih gadis itu nggak mau kuajak keluar?” Arion gusar sambil mondar-mandir di ruangannya.Saga yang duduk di sofa sambil mengecek tablet-nya tidak menjawab. Pria itu sibuk mengamati grafik kunjungan laman perusahaan.“Okelah dia menolak kalau makan siang karena masih di area kantor. Tapi, makan malam antar pulang, bahkan akhir pekan pun dia menolak?” Arion melanjutkan kegelisahannya.Saga mendongak dan mendapati Arion sedang menatapnya tajam. “Apa?” tanyanya dingin.“Jangan-jangan gara-gara kamu nih!” tuduh Arion seenaknya lalu duduk di kursinya.Saga mendengus kesal. “Val lagi? Jangan salahin aku. Dia sendiri kerja nggak benar! Nggak teliti, ceroboh, nggak disiplin. Ini sama saja sebelum dia masuk,” protesnya menghitung satu-satu kekurangan Va
Hari-hari Val berikutnya terasa menyenangkan. Setelah malam itu ada malam-malam lain yang ia lalui bersama Arion. Seperti layaknya proses hubungan antara pria dan wanita, Arion membawa Val ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.Seperti malam ini, Arion membawa Val ke sebuah tempat yang asing di pinggiran kota. Bukan ke restoran mahal atau pusat kuliner di mal, pria itu membawanya ke sebuah taman kecil yang ramai dengan anak-anak muda.Ada area untuk bermain papan luncur, dan permainan untuk anak-anak di sana. Berbagai penjual makanan dan minuman dalam gerobak berjejer mengitari taman itu.“Kamu nggak keberatan makan di tempat seperti ini, ‘kan?” tanya Arion melihat wajah kaget Val.Val sama sekali tidak menyangka Arion akan membawanya ke tempat sederhana ini. Bukannya keberatan, ia justru semakin kagum dengan sosok Arion yang hangat.“Oh, enggak kok. Sama sekali nggak keberatan,” jawab Val. “Kamu sering m