Byur...
Bunyi air kolam renang terdengar bersamaan dengan terjunnya diriku dan beberapa teman kelas. Joo juga ada di antara kami.Aku mulai berenang dengan gaya yang dimintai pembina hari ini, sesekali melirik pada Joo yang berenang tepat di sampingku, samar-samar kulihat di balik kacamata renangnya jika pandangan laki-laki itu lurus ke depan dengan raut wajah yang tak bisa kudeskripsikan. Sebenarnya ada apa dengan Joo?
“Andalusia!” seruan Pak Yudi selaku pembina pelatihan renang hari ini membuatku kembali pada dunia nyata. Mataku mengedar, ternyata kedua kakiku kini menapak pada lantai kolam renang di dasar sana, bahkan aku baru menyadari bila kolam ini hanya sebatas dadaku.
Bak orang lingling yang tak mengerti apa-apa, aku hanya bisa menyengir lebar tatkala Pak Yudi menatapku dengan tatapan elangnya.
Joo tampak ikut menghentikan laju berenangnya, laki-laki itu berdiri tak jauh dari diriku dengan kedua tangan yang berkacak pinggang.“Ada apa Lu? Mengapa tak fokus seperti itu?” tanya Joo dengan kerutan pada dahinya.Aku mengembuskan napas, kemudian menggelengkan kepala tanda diriku tidak apa-apa.
Hanya saja, satu hari penuh bersama Joo yang sifatnya sedikit aneh membuatku lesu.“Sudah-sudah, menepi dahulu!” seruan Pak Yudi kembali masuk ke dalam indra pendengaranku.
Aku kembali menatap lurus, menyelesaikan renangku kemudian naik ke tepian kolam, mengusap wajahku agar air yang tersisa sedikit sirna lengkap dengan napas yang beraturan setelah melepaskan keca mata renang.Dari arah kanan, Joo datang dengan dua botol air mineral, laki-laki itu kembali mendudukan tubuhnya tepat di sampingku.
Tangannya membuka segel pada tutup botol hingga berbunyi benda yang terbuka, tangan kanannya menyodorkan air mineral yang sudah dibukannya itu padaku.“Minum dulu,” ujarnya.
Aku tetap menatapnya, mencari celah kesalahan bila mana ada dalam bola matanya, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa kulihat dari bola mata itu selain tatapan tulus yang ditunjukannya padaku.“Terima kasih.” Tanganku menerima botol air mineral itu dari tangannya, meneguknya langsung hingga tersisa setelah botol.“Ada apa?” tanya Joo yang membuat kerutan pada dahiku muncul.
Aku menoleh ke arahnya, “Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, bodoh.”Joo terkekeh kecil menengarnya, ia kembali memium air mineral miliknya hingga tak tersisa.“Tidak ada,” jawabnya acuh dengan nada yang berbeda.Helaan napasku keluar saat mendengar kekehannya, jelas sekali bila laki-laki itu menyembunyikan sesuatu dibelakangku.“Apanya yang tidak ada?” tanyaku berharap ia menjawab sesuatu yang bisa mengobati rasa penasaranku atas sikap anehnya hari ini.“Kemana arah pembicaraanmu, Lu? Membinggungkan sekali,” heran Joo lagi.
Kedua bola mataku kembali membola, tanganku terangkat melayangkan pukulan cukup kencang pada dadanya.“Awwh...,” rintih Joo dengan tangan memegangi dadanya, matanya mengintip berharap aku luluh dan dengan segera menolong dan memperhatikannya.“Pembohong yang bodoh,” makiku lagi. Wajahku terasa panas hanya karena Joo tak lagi mempercayaiku sebagai orang yang bisa ia andalkan saat terjadi sesuatu.
“Lu, harusnya kamu tahu, dengan sifatmu yang seperti ini akan membuatku lebih sulit melupakan perasaan yang kau tolak terima,” jelas Joo. Nada bicaranya kini benar-benar berganti. Terdengar seperti lirihan bercampur keputus asaan.Aku langsung tergagap, lidahku kembali kelu untuk sekadar menjawab ucapannya barusan. Sekarang aku tahu apa yang terjadi dengan laki-laki itu hari ini.“Kamu tahu sendiri, Lee dan aku tak mudah. Namun lebih tidak mudah kita, keabu-abuan yang menolak putih atau pun hitam,” sambungnya.Napasku tercekat, lama rasanya tak merasakan sensasi menegangkan semacam ini, kepalaku tetap lurus dengan netra menatap kolam renang dengan pandangan tanpa minat.
“L-lalu bagaimana?” tanyaku tergagap. Sulit rasanya menjelaskan hal semacam ini, tubuh dan batinku tak pernah sinkron.Kulihat dari sudut mataku Joo tersenyum tipis, laki-laki itu juga menatap kolam renang di depannya tanpa menatapku lagi.“Apanya yang bagaimana? Tanya saja pada hatimu sendiri, Lu. Apa pantas menerima kehadiran ragaku tanpa menerima hatinya jua?”Ucapannya bak panah yang menusuk ulu hati terdalamku, tanganku yang menggenggam botol air mineral pemberiannya mengerat. Menciptakan suara botol yang diremas kencang.Kepalaku menunduk, bingung menanggapinya apa? Sedangkan Joo tahu jawaban yang ada.Lee dan aku adalah alat panah, sedangkan Joo adalah objek yang menjadi sasaran utama. Tidak, itu tidak benar. Di sini yang terlihat seperti antagonis yang merangkap seperti protagonis adalah diriku sendiri.
Panahan itu salah kubidik, Lee juga meronta tak ingin Joo sebagai bidikan kami. Namun pada faktanya aku adalah antagonis dalam hubungan mereka berdua. Harusnya aku menghukum diriku atas hal ini.“Sudah, Lu. Tidak perlu dipikirkan jauh-jauh, tidak penting,” ujar Joo. Tangan laki-laki itu bertenger pada kepalaku, mengusapnya seolah tak ada hal serius yang beberapa menit lalu terjadi.
Mataku mengerjap sembari mengembuskan napas, menahan cairan bening yang hampir tumpah dari wadahnya.“Waktu istirahat berakhir, kembali pada posisi masing-masing!” seru Pak Yudi membuatku kembali bangkit disusul Joo.Mataku kembali mengerjap, kemudian menoleh pada Joo yang sudah berada di posisinya, ia menatapku dengan senyuman tipis seolah mengatakan ‘tak apa, Lu’ yang malah membuatku tak enak.
Hitungan mundur membuatku kembali pada dunia nyataku sampai suara peluit terdengar.***
Dimana Athala? Mengapa aku belum melihatnya juga?
Aku kembali melangkahkan kaki, memijakan kedua kaki pada rerumputan hijau yang menjadi ciri khas dunia pikiran ini.“Tha!” seruku tak sadar dengan senyuman merekah tatkala melihatnya berdiri di samping ayunan tua yang ada di dunia pikiran ini.
Langkah kakiku berlari kecil ke arahnya dengan kedua tangan yang direntangkan, senyum merekahku mengundangnya membalikan badan dan membalas tersenyum tulus.Aku menghambur ke dalam pelukannya, badan Athala terhuyung ke belakang. Beruntungnya laki-laki itu mempunyai sifat tanggap yang lumayan. Bila tidak, mungkin kami terjatuh di atas rerumputan.
Tanganku melingkar pada lehernya, memeluknya dengan kedua kaki yang berjinjit karena perbedaan tinggi badan kami.Mataku mengintip ekspresi wajahnya, menahan tawa yang hampir saja keluar dari indra perasa. Tak baik menertawakan laki-laki sepertinya, tetapi ekspresi wajah kaget dengan bola mata sedikit melotot bukan ciri khas Athala sekali.
“Lu, ada apa?” tanyanya dengan nada tak percaya.
Kedua alisku bertaut tatkala mendengar ucapannya, apa maksudnya barusan?“Apa salahnya memelukmu,” jawabku asal sembari mengeratkan lingakran tanganku pada lehernya.Athala menghela napas, kedua tangan yang sebelumnya kulihat tertahan di udara kini membalas pelukanku.
Semesta, bolehkan aku jujur kali ini? Apa alasan dibalik tidak bisanya hatiku menerima Joo adalah Athala? Apa karena raga dan rasaku kini menjadi miliknya sehingga aku sendiri tak lagi bisa mengendalikannya?Pelukan kami belum terurai, malah terasa bila Athala kian mengeratkannya.
“Lu, harapanku dua hari yang lalu sepertinya terkabul,” ujar Athala.“Harapan yang mana?” tanyaku sebari berusaha mengingat-ingat.“Semoga itu benar, Lu. Semoga sikap menyebalkanmu sirna selepas ini.”
“Ayo ikut pulang denganku saja.” Ucapan Athala yang tiba-tiba terlontar di tengah perbincanganku dengan Lee membuat kami bertega menoleh secara bersamaan. Aku terlebih dulu membenarkan letak ranesl yang kubawa agar berposisi dengan tepat pada pundak. Sedangkan kulirik sepasang sejoli di sampingku yang kaini juga tengah menatap Athala, Joo dengan raut wajah datarnya serta Lee tang mengulum senyum saat menatapku dengan kedua alis yang terangkat.Aku memutar bola mata malas menanggapi gadis itu, kemudian kembali beralih menatap Athala yanga kaini masih memfokuskan atensinya pada diriku tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang bisa saja menyalah artikan kedekatan kami.Taoi harapanku juga begitu, aku dianggap sebagai orang terdekat Athala di mata mereka. Terlepas dari hubungan samar-samar kami, aku terlanjur mencintai laki-laki itu.“Kau tidak memakai motor?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat, juga berusaha menghiraukan tatapan menggoda Lee
“Andalusia bagaimana aku tidak paham sedari awal?” Lee berucap dengan suara cemprengnya setelah gadis itu berlari menuju ke arahku dengan langkah lumayan lebar. Dua jam yang lalu aku sampai di bumpi perkemahan dibantu Athala, seperti yang sudah kuduga semua orang di sini kewalahan saat mendapati kabar bila diriku hilang saat mencari kayu bakar.Aku menyirit bingung saat mendaoati gadis itu terduduk di sampingku dengan gerakan yang cukup gesit, Lee lebih dulu menyodorkan teh hangat dalam cup yang kubawa sendiri seperti yang sudah aku minta padanya untuk mengambilkannya di dapur buatan panitia di sisi utara.Tanganku terulur guna menerima gelas itu dan mengucapkan terima kasih. Kedua bola mataku kembali tertuju pada gadis itu saat mendapatinya menumpukan tubuhnya di atas karpet yang sama dengan ku dengan posisi sedikit menyerong.“Ada apa?” tanyaku dengan kedua alis yang terangkat. Merasa heran saja saat mendapati gadis itu berlari terpongoh-pong
Rombongan kampusku yang terdiri dari delapan bus untuk mahasiswa dan satu bus untuk panitia dan pengurus kampus sampai di tempat camping untuk dua hari ke depan.Aku membuka kelopak mata saat merasakan sapuan hangat pada pipiku oleh tangan seseorang di sisi kiri.Segera tersadar dan tak ingin berlama-lama dalam sandaran nyaman Athala, aku nemilih bangkit dari duduk dan merentangkan kedua tangan dengan netra tak terlepas dari pemandangan indah penuh warna hijau di luar sana.Setelah puas memandang, aku berbalik menatap sang presensi tegap yang masih terduduk di atas bamgkunya dengan wajah mebdonggak menatapku yang sedang berdiri sembari menampakan senyuman indah menawannya.Aku berdeham, bergegas menyadarkan Athala agar laki-laki itu bangkit dan memberikanku ruang untuk turun dari bus ini. Setidaknya, menyingkirkan kedua kakinya yang sejak keberangkatan bus menghalangi jalan keluarku.Namun aku mengangkat kedua alis saat melihatnya bergemi
Dua hari berlalu begitu saja, ini hari ke tiga Lee berada di rumah sakit setelah tiga hari ia dimintai untuk rawat inap lantaran penyakit magh-nya kambuh setelah sekian lama tidak menghilang tak mendera.Kedua langkah kakiku berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan suasana sedikit ramai dan sedikit sepi. Hanya ada beberapa suster dan dokter yang hilir masuk atau keluar dari sebuah ruangan ke ruangan yang lain, serta beberapa pasien yang duduk di kursi rode, berjalan menggunakan kedua kaki walau di papah manusia lain, dan ada yang juga yang menikmati kesendiriannya di bangku taman kecil yang ada di dalam rumah sakit cukup besar ini.Tanganku langsung membuka knop pintu kamar yang menjadi ruangan dimana Lee dirawat, namun rupanya gerakanku tak lebih cepat dnegan laki-laki paruh baya berjas putih yang kuingat menjadi dokter Lee selama beberapa hari ini dan seorang suster dengan papan berisi beberapa lembar kertas yang ada di pelukannya. Aku mengangguk sopan, kemudian men
Hari kembali berjalan semestinya, kedua langkah kakiku membawaku menuju keluar dari gedung fakultas setelah kelas pada hari ini berjalan lancar dan berakhir pada pukul empat sore. Aku belum menceritakan pada kalian perihal apa yang terjadi dengan dunia pikiran setelah Athala dan diriku bertemu di dunia nyata. Ada rasa sesal yang merelung dan sesak yang tak tampak saat kembali mengingat du nia pikiran, kali aini aku tak lagi punya kesempatan untuk pergi ke sana setiap harinya pada pukul 17.17 Wib pada seperi hari-hari sebelumnya.Dunia pikiran sepertinya sudah tak lagi emnampungku dan Athala, dunia itu ternyata salah satu bentuk Tuhan paling baikuntuk menmertemukan dua manusia yang terikat takdir sejak belum dilahirkan. Itu simpulan yang Athala berikan dan Athala pikirkan jauh-jauh ahri sbeluk kami berdua dipertemukan di dunia nyata.Flashback on.Deru motor kuno yang kutunggangi bersama Athala bertenti tepat di depan taman ramai dnegan gerlap-kerlip lampu yang meneran
Bukit tak jauh dari pusat kota, tempat itu yang dituju oleh Athala saat kami memutuskan menghabiskan waktu betsama setengah hari ini. Setelah memastikan laki-laki itu turun dan melepas helm yang dipakainya, aku ikutturun dnegan tangan yang memegangi jok depan untuk berjaga-jaga agar tidak terjatuh.Mataku mengedar, setelahnya berdecak kagum saat menyadari luas bukit ini dengan pemandangan yang sangat apik. Aku beralih menatap laki-laki yang membawaku kembali dengan kedua alis yang terangkat saat merasakan tangan kananku ia tautkan dengan tangannya yang lain. Senyuman yang terpatri pada wajah milih Athala membuatku langsung meneguk ludah. Siapapun pasti akan luluh melihatnya, dan aku sudah terlalu terbiasa dengan hal yang sedemikian.“Mengapa menautkan jarimu?” tanyaku dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Athala langsung menanggapi ucapanku yang beberapa detik lalu terlontar dengan kekehan pelan, ia melirik ke sekitar sebelum mengeluarkan suaranya.
Gedung pelatihan berenang kini bukan lagi tempat pilihan yang harus dikunjungi tiga hari sekali. Suasanyanya cukup hening dikarenakan tibanya aku di gedung besar ini terlalu pagi. Walau ada beberapa manusia yang sedang berenang bolak-balik sembari mengitari kolam renang dengan berbagai gaya berenang. Aku tak menjadikan gedung ini sebagai pilihan, melainkan sebuah keharusan. Melihat yang aku sukai hanyalah bermain air aku hanya bisa berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang kusukai.Kedua langkah kakiku bergerak mendekati kolam untuk mengecek suhu air di dalamnya. Takut-takut air di dalamnya tak cocok dengan kondisi tubuhku yang kini memang terasa tidak enak. Setelah memastikan airnya tidak terlalu dingin, kedua langkah kakiku ini kembali berjalan menuju ruang ganti untuk mengganti baju yang kugunakan menjadi pakaian berenang yang biasanya kupakai di saat berda di tempat ini.Lee dan Joo masih sibuk dengan kuliah mereka sekarang ini, dibanding dengan diriku sendiri mereka b
Helaan napas lelah keluar dari multuku saat selesai menyelesaikan cucian bajuku sendiri dan menjemurnya di halaman samping. Dengan keringat yang meluncur dengan deras karena sinar matahari pagi yang hari ini bersinar dengan kemilaunya aku menyeka keringat menggunakan lengan kananku. Sementara satu tangan yang lainnya sibuk mengipasi diriku sendiri walau tahu hasil yanga kurang memuaskan.Aku melangkahkan kaki menuju ruang tamu tanpa berniat menuju kamar untuk sekeda mendunginkan tubuh. Sesekali kedua bola mataku mengedar mencari debu yang mungkin saja masih menempel pada satu benda yang lainnya. Aku tak bohong bila akhir-akhir ini merasa pikun, selalu melupakan sesuatu bila kekelahan mendera.Langkah kakiku berjalan menyusuri tapakan keramik putih yang berbunyi seirama dengan sandal rumahanku yang kini kembali terpakai. Tubuhku terduduk di atas singgle soffa depan pintu utama dengan kedua piantu rumah yang terbuka lebar, menetralkan deru napas yang memburu karena tig
Rasanya tak percaya dengan skenario Tuhan yang terasa dan tampak tak mudah di depan mataku kali ini. Aku duduk berhadapan dengan athala yang kini juga sedang menatapku dengan senyuman yang sejak beberapa manit yang lali tak luntur. Aku merasakan deruan napas miliknya menerpa dengan lembut pada permukaan wajahku yang kali ini memilih bungkam dan berperan pasif.Agaknya tak percaya dengan harpanku di dunia pikiran yang menjadi kenyataan di dunia nyata. Mataku kembali memanas saat mengingatnya, ia benar-benar Athala. Aku tidak berada di awang-awang dunia yang biasanya memepertemukan antar diriku dan aAthala.“Lu?” panggilnya dengan kedua alis yang terangkat saat menyadari diriku tidak dalam keadaan yang tenang untuk mendengarkan deretan kalimat yang keluar dari mulutnya.Aku tersadar begitu saja, kemudian Athala yang kini masih emnampilkan wajah tenagnya seolah pertemuan pertama kami di dunia nyata tak sama sekali membuatnya canggung atau memeras atak e