Share

QUE SERA-SERA

Bel pulang sekolah berbunyi, terpaksa membuatku menghentikan gerakan tangan kanan yang sedang menggambar sebuah seketsa wajah. Mataku mengedar, menatap teman-teman sekelas yang tampak membereskan barang-barangnya.

“Baiklah, Ibu akhiri pelajaran hari ini. Selamat sore!” ujar Bu Lisa dengan senyuman lebarnya.

“Sore, bu,” seru teman-teman kelasku  secara bersamaan.

Satu persatu dari mereka bergegas pulang, beranjak dari kursi duduk yang berjam-jam menopang badan menuju pintu keluar dengan diiringi tawa penuh lega.

Aku mendengus, sedikit iri kala melihat gadis-gadis seumuranku yang lain mudah mendapatkan teman.

Merasa hal itu tak perlu kupikirkan sekarang, aku memilih ikut bergegas menuju pintu keluar setelah membereskan barang-barangku sendiri. Hanya senyuman tipis yang kutunjukan tatkala Hana, Dwi, dan Sanda yang hari ini bertugas piket menatapku dengan tatapan penasarannya.

Apa aku semisterius itu?

Sepertinya keberuntungan tak ingin memihaku kali ini, aku mengadah, menatap gumpalan awan kelabu yang menurunkan air hujan dengan derasnya. Melihat itu membuatku mendesah kecewa, apa ramalan cuaca hari ini salah? Bukannya tadi pagi kulihat cuacanya akan berawan saja?

Dengan sangat terpaksa, aku menerobos hujan deras itu. Berbekal tas sekolah yang kujadikan pelindung kepala dan langkah kaki yang berlari menuju halte bus depan sekolah.

Tak henti-hentinya umpatan-umpatan kecil kutunjukan pada genangan air yang menciprat ke dalam sepatu yang kupakai.

“Benar-benar sial,” rutukku setelah sampai pada halte bus yang hanya disinggahi beberapa siswa berseragam sama.

Aku duduk dengan jarak lumayan jauh dengan mereka, tak berniat berkata atau sekadar bersapa. Lebih menyukai dunia kesendirian yang berhasil mengatarkanku pada Athala.

Mengingat laki-laki itu langsung membuatku mengecek arloji pada pergelangan tangan.

Masih tiga puluh menit lagi, syukurlah. Jadi aku harus menunggangi bus selama dua putaran agar terjebak dalam pikiran di kendaraan besar itu?

Mataku kembali mengedar dengan kedua tangan yang memeluk tubuhku sendiri, kedua kakiku yang menjuntai di bawah sama bergerak maju-mundur.

Raut wajah berbinar kulihat dari wajah mereka, manusia lain yang singgah di halte depan sekolah ini.

Bus datang dari arah kiri, berhenti tepat di depan halte disusul naiknya mereka ke dalam kendaraan itu.

Aku ikut beranjak, mendekap tas basah di depan tubuhku dan masuk ke dalam bus tanpa menghiraukan basah rambut yang benar-benar mengganggu.

Setelah mendudukan tubuh di kursi favoritku dalam bus ini, kendaraan yang kutumpangi mulai berjalan. Tak ada yang bersuara, penumpang bergeming ditempatnya dengan netra dan telinga mengkmati keadaan jalanan basah di luar sana.

Begitupun aku, mataku berbinar tatkala mendapati siluet jingga yang sedikit memburam karena adanya awan hitam, pemandangan yang sering kudapati sebelum mulai hanyut dalam dunia pikiranku sendiri.

***

“Apa ini, Tha?” tanyaku dengan padangan penasaran mendapati kertas berisi coretan-coretan aksara yang tak dimengerti netra. Tulisan yang ia tulis berada ditengah-tengah kertas, tampak seperti sebuah judul.

Kulihat Athala terkekeh mendapati ekspresi bingungku, tangannya kembali terulur menuju puncak kepalaku, mengusapnya perlahan penuh sayang, mungkin?

Lagi-lagi seperti ini, perasaan menggelitik ini, menyebalkan sekali. Tak sadar aku kembali tenggelam dalam netra sejuknya. Lu! Hentikan ini!

Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan gerakan yang lumayan cepat, membuat tangan Athala yang bertenger di atas kepala kini tehempas dengan sendirinya.

“Selalu seperti itu responmu,” ujar Athala dengan senyuman tipisnya.

“Apa salah bereaksi seperti itu?” tanyaku dengan nada sinis.

Kulihat ia kembali terkekeh, setelahnya memalingkan wajah dan menatap buku bersampul coklat yang beberapa waktu lalu ia gunakan untuk menulis.

“Tha,” panggilku masih dengan nada penasaran akan arti kalimat yang dituliskannya.

“Apa Lu?” tanya Athala tanpa melihatku. Entahlah, mendapati responnya seperti itu malah membuatku tidak senang, aku terbiasa dengan tanggapan manis yang biasanya Athala lontarkan.

“Apa arti tulisannya? Kau belum membertitahukannya padaku,” tanyaku menagih.

Gerakan tangannya terhenti, sempat hendak menuliskan kata baru tetapi ia urungkan karena mendapati ucapanku barusan.

Ia kembali mendonggak, menatapku tanpa ekspresi yang sialnya terlihat menyebalkan di dimata.

“Apa sulitnya memberitahukan arti kalimat itu?” tanyaku lagi dengan bibir yang maju beberapa senti. Ah, sebenarnya sedang berusaha menguatkan raga akan tatapan yang Athala tunjukan.

“Kau tidak suka belajar bahasa?” tebaknya yang langsung kuangguki beberapa kali.

“Pantas saja,” sambungnya singkat saat mendapati respon anggukan kepalaku. Ucapannya itu membuatku melotot tidak terima, apa-apaan ini!

“Jadi apa artinya, Tha?” tanyaku lagi untuk yang ketiga kalinya.

“Untuk PR di dunia aslimu saja ya? Ingat kalimat ini, kau cari tahu di dunia nyatamu,” ujarnya. Ia memperlihatkan kalimat yang ditulisnya agar bisa kutatap lebih jelas.

“Tha!” seruku tidat terima. Namun sayang, waktu satu jam kami di dunia pikiran ini habis. Aku dan Athala kembali pada dunia asli masing-masing.

***

Aku bergegas keluar dari dalam bus, benar apa kataku kan? Dua putaran hari ini.

Mataku kembali mengedar, mendapati jalanan basah dengan genangan di pinggir jalan sisa hujan sore tadi. Pukul 18.48 WIB, terlihat sangat tidak masuk akal siswa SMA sepertiku pulang selarut ini.

Langkah kakiku kembali berjalan, belok ke arah jalan kecil yang biasa disebut gang gang menjadi jalan pulang.

Kedua tanganku kumasukan ke dalam saku rok sekolah yang masih kukenakan, sesekali bersenandung agar perjalanan pulang tidak terlalu mencengkram.

Penduduk sekitar sini cenderung lebih senang menghabiskan wantunya di dalam rumah, tak banyak yang duduk di depan rumah atau singah di tempat tongkrongan, sepi sekali.

Namun situasi ini yang malah membuatku betah, hening.

Tanganku meraih gerbang rumah, membukanya dan masuk ke dalam perkarangan rumah setelah menutup gerbang itu kembali.

Sepatu sekolah basah yang masih kukenakan terpaksa kuletakan di rak sepatu yang terdapat di depan pintu. Karena bila kubawa masuk sebagai alas, lantai rumah pasti kotor karenanya.

Mataku mengedar saat berada di ruang tamu, tak sama seklai mendapai nenek di ruangan ini.

Kakiku kembali melangkah, tak berniat menuju kamar lebih dulu. Lebih memilih mengecek keadaan nenek yang biasanya hanya kutemui sebelum berangkat sekolah setiap harinya.

Aku tersenyum lega tatkala mendapati tubuhnya terbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada.

Terasa hangat dan tenang tatkala melihatnya seperti itu. Memutuskan untuk tidak mengganggu waktu istirahat nenek, aku bergegas menuju kamarku sendiri untuk berganti baju dan mencari arti dari kalimat yang diberitahu Athala.

Tanganku meraih handuk kecil di dekat gantungan untuk megusap-usap rambutku yang masih sedikit basah dengan langkah kaki berjalan menuju kamar mandi. Rasanya lengket sekali, tidak apa mandi malam-malam seperti ini bukan?

Lima belas menit berlalu, aku mendudukan tubuhku di kursi belajar dan membuka laptop, berniat mencari kalimat Athala yang benar-benar mengganggu pikiranku.

Aku masih ingat betul kalimat yang ada dalam bukunya di dunia pikiran kami.

‘Que sera-sera’ hanya kalimat singkat itu.

Embusan napas keluar dari mulutku tatkala internet seakan berjalan sangat lambat, rasa penasarnku sudah diubun-ubun, tolong.

Mataku berbinar tatkala pencarianku membuahkan hasil, artinya ...

“Apa yang akan terjadi, terjadilah,” ujarku membaca tulisan pada layar menyala yang menjadi arti kalimat singat yang Athala beritahu.

Terjadi? Apa yang terjadi?

Mengapa terlihat membingungkan sekali artinya. Athala sialan, berani sekali membuatku berpikir dua kali!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status