Share

MEMANGNYA HARUS SEMPURNA?

Mataku membola tatkala mendapati nenek berdiri di halaman samping untuk menjemur pakaian.

Dengan langkah yang tergesa-gesa menuruni tangga dengan pandangan tak teralihkan dari objek di depan sana, aku membuka pintu halaman samping sedikit kencang.

Sontak hal itu langsung membuat nenek kaget dan menoleh ke belakang, tepatnya menatapku dengan kedua alis yang terangkat diantara kulit keriput diwajahnya.

"Lu, ada apa?" tanyanya bingung. Kulihat gerakan kedua tangannya yang hendak menjapit sebuah baju terhenti.

Aku terkekeh setelah menegakan badan, menggaruk leher bagian belakangku yang sebenarnya tidak gatal.

"Nek, tidak perlu repot menjemur baju. Lu saja yang melanjutkannya." Aku langsung mengambil alih penjepit baju dan bak ukuran sedang yang masih berisi tumpukan baju yang sudah dikeringkan mesin cuci.

"Kamu berangkat sekolah saja, Lu," tolak nenek pelan.

Aku menggeleng tidak setuju dengan perkataannya barusan.

"Masih ada waktu, nek. Sudah, nenek sarapan saja dulu," ujarku.

Aku menuntun nenek keluar dari halaman samping.

Terlihat nenek menurut saja, tubuh rentanya yang sudah ringkih kutuntun keluar dari ruangan panas ini.

Setelah mendudukan nenek di meja makan dan tersenyum ke arahnya, aku kembali menuju ruang samping untuk menyelesaikan baju yang belum dijemur.

Lagi-lagi helaan napas kasar keluar dari mulutku, melihat nenek mengerjalan pekerjaan rumah susah payah seperti itu membuatku seperti tercubit.

Aku meringis mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat mendapati nenek terpeleset sabun kamar mandi yang tumpah.

Rasanya ingin menangis saat itu juga.

Kurang lebih sepuluh menit menjemur pakaian dan meletakan bak ukuran sedang itu pada tempatnya, aku memasuki rumah kembali dan berjalan menuju meja makan.

Senyumku terpit tatkala mendapati nenek duduk dengan mulut mengunyah buburnya.

"Nek, Lu berangkat sekolah dulu, ya," pamitku lalu menyalaminya.

Nenek menampakan ekspresi wajah bingung menatapku, "Tidak sarapan?" tanyanya.

Aku menggeleng dengan senyuman tipis, "Takut terlambat. Lu sarapan di sekolah saja," jawabku.

Nenek mengangguk-angguk beberapa kali sebagai tanggapan.

"Hati-hati di jalan, Lu," ucap nenek dengan nada khawatirnya.

Aku mengangguk, dan kembali berjalan menuju pintu keluar tanpa menatapnya kembali.

Setelah menutup gerbang rumah minimalis ini, aku kembali melangkah menuju halte bus.

Kedua tanganku masuk kedalam saku rok sekolahku. Rambut panjang bergelombang yang biasanya diikat, kini kugeraikan bebas.

Beberapa remaja berseragam sama sepertiku juga banyak yang menunggu bus di halte. Rumah mereka satu komplek denganku, aku tahu karena terlihat familiar wajahnya. Ya, walau tidak mengetahui namanya.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu, bus tujuan sekolahku sampai. Aku dan beberapa siswa lainnya masuk ke dalam bus itu. Menempelkan kartu langganan dan duduk rapi.

Kursi tunggal samping jendela selalu menjadi tempat pilihan finalku. Mendudukkan tubuh di bangku itu dan mengeluarkan earphone dari tas sekolahku. Menyalakan musik dan mulai terpejam dengan napas yang teratur.

Aroma khas bus ini selalu membuatku mual dan senang secara bersamaan.

Euforiaku selalu meningkat bila berada dalam bus ini. Tempat tersering bila aku hanyut dalam pikiranku sendiri.

Ah, berbicara perhial hal itu ... apa yang sedang Athala lakukan sekarang ya?

***

"Andalusia, kali ini kamu peringkat kedua, ya. Fadel yang menempati peringkat pertama. Tetap semangat belajar." ucapan Bu Lisa dengan diakhiri sebuah senyuman membuat kepalan tanganku terbentuk.

Lantas aku mengangguk dan membalas senyuman tipis pada wali kelasku itu.

Berjalan menuju tempatku tanpa menghiraukan tatapan teman-teman kelasku yang lain.

Netraku menatap kertas tipis berisikan nilai ulangan minggu kemarin dengan angka sembilan puluh enam yang ditulis menggunakan bolpoint merah.

Nilai Fadel sembilan puluh tujuh. Sial, kurang sedikit lagi.

Tak sadar bila kepalan tangan kananku meremas kertas hasil ulanganku sendiri.

Aku menatap Fadel yang menatap kertas digenggaman tangannya dengan raut wajah yang sangat puas.

Ya Tuhan, kali ini aku mengakui kekalahan. Namun mengapa ada secuil dari hatiku yang tidak terima melihatnya?

Lebih tepatnya tidak ingin posisi teratas dalam kelas ini diambil alih oleh Fadel, murid pindahan dari kota lain.

Aku kembali memfokuskan diri menatap penjelasan Bu Lisa di depan sana. Mencoba tak menanggapi keresahan dan kegundahan batinku meratapi hal ini.

Namun memang pada dasarnya aku yang selalu ingin menjadi sempurna. Aku termenung memikirkan hal ini.

Dulu, kejadian beberapa tahun silam selalu menghantui pikiranku.

Kekerasan ayah yang selalu menuntut diriku menjadi anak yang sempurna berhasil membuat karakter mennyebalkan itu tumbuh sempurna dalam tubuhku sendiri.

Benar, semua ini berawal dari ayah yang selalu terobsesi akan kesempurnaan dan gila martabat.

Laki-laki paruh baya itu selalu memintaku untuk belajar sepanjang hari tanpa memikirkan hal yang lain.

Bila nilaiku turun sedikit dan mempermalukannya dihadapan wali murid yang lain, beliau tak segan mencubit atau bahkan menampar pipi anaknya sendiri.

Namun sudahlah, tidak perlu dibahas hal lalu seperti ini.

Ayah sudah tenang di alam sana bersama bunda.

Dan yang harus dilakukan seorang anak sepertiku adalah mendoakan dan membuat mereka bangga.

"Andalusia, apa kau sakit?"

Pertanyaan dengan nada sedikit kencang itu membuatku tersadar dari lamunanku.

Mataku mengerjap beberapa saat, kemudian mengedar mendapati teman-teman sekelasku tengah menatapku dengan berbagai pandangan.

Aku kembali menatap Bu Lisa yang juga menatapku dengan dahi yang bergelombang, terlihat bingung.

"Kepalaku sedikit pusing, bu. Boleh izin ke UKS?" tanyaku.

Bu Lisa menghela napasnya, wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu mengangguk memperbolehkan.

Aku tersenyum, kemudian bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu keluar untuk menuju UKS.

***

"Minum tehnya ya, Kak. Setelah itu istirahat dulu," Ucap Sely, petugas PMR yang merupakan adik kelasku.

Aku mengangguk saja, meraih gelas berisi teh panas yang ia sodorkan.

"Terima kasih, Sel," ucapku tulus.

Gadis berambut pendek itu mengangguk mengiyakan ucapanku barusan. Tanpa berkata apapun lagi, gadis itu keluar dari ruangan penuh obat-obatan ini.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang UKS setelah menghirup teh buatan Sely.

Menengus sebal pada hidungku sendiri yang sangat sensitif dengan bau obat-obatan yang kurang familiar.

Tak sadar aku mulai terlelap karena pengaruh obat. Ah, biar kuceritakan hal masa lalu yang berhasil membuat karakter menyebalkan ini.

Dua tahun yang lalu, di kota yang sama dengan orang yang sama.

Tamparan keras yang ditunjukan untuk seorang gadis kecil kelas sembilan SMP terdengar memekikan telinga.

Aku memegang pipi kananku yang baru saja ayah tampar. Wajah laki-laki paruh baya itu memerah padam dengan napas yang memburu.

Tak sadar aku menelan ludahku susah payah mendapati perlakuan ayah yang sudah biasa ini.

"Untuk apa nilai bagus ini bila tidak sempurna, Andalusia?!" tanya ayah dengan suara meninggi.

Aku yang sudah terududuk mengenaskan di lantai tampak tak berniat menjawab pertanyaannya barusan.

Tanganku masih memegang pipi kananku yang masih berdenyut sakit.

Hanya karena ulangan semester akhir ini aku mendapat peringkat ketiga, ayah sampai seperti ini. Harisnya beliau memaklumi karena kondisi badanku yang kurang vit mengingat beberapa bulan lalu baru saja berduka karena kematian bunda.

Sejak saat itu, rasanya tak rela menanggap laki-laki paruh baya itu sebagai ayahku.

Ia lebih cocok disebut dengan iblis yang gila hormat yang mengorbankan anak satu-satunya. Yaitu aku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status