Share

When I Meet You
When I Meet You
Author: Key Nara

DUNIA LAIN

"Lu, menepi dulu!" perintah seorang laki-laki dengan rambut yang masih basah padaku yang sedang berenang bolak-balik di kolam renang itu.

Mendengar namaku dipanggil, aku segera menuju tepi kolam dan membuka kacamata renang.

"Ada apa, Joo?" tanyaku padanya dengan kedua alis yang terangkat.

Bukannya menjawab, Joo malah tersenyum. Ia mengulurkan tangan kirinya seolah memintaku untuk duduk di pinggir kolam renang sepertinya.

Tak perlu banyak waktu untuk memahaminya, aku menerima uluran tangan itu dan mengangkat tubuhku sendiri dari dalam air dengan bantuan tangan kiri yang menekan lantai.

"Ada apa?" ulangku dengan nada tak niat sama sekali.

Mataku mengedar, mencari teman-teman kelas yang hilang dalam pandangan.

"Teman-teman kelasmu pindah ke kolam yang tidak terlalu dalam," jelas Joo yang ternyata mengerti akan kebingingan yang tampak dari wajahku.

Aku terkekeh, "Kenapa dengan kolam ini?"

"Salahkan saja dirimu, Lu. Kau terlalu hebat untuk dibandingan dengan mereka," ujar Joo dengan kekehan pada kalimat akirinya.

Aku kembali terkekeh. Memilih bangkit dari duduk dan berniat untuk mengganti baju.

"Kemana?" tanya Joo.

Aku menghentikan langkah kakiku sebentar,"Kemanapun asal tidak melihatmu."

"Jangan lupa pertandingannya!"

Namaku memang Andalusia. Gadis muda yang senang bermain air.

Tampak tak mengindahkan ucapan Joo barusan, aku memilih untuk melanjutlan langkah kaki yang sempat terhenti beberapa saat.

Melepaskan pelindung rambut dan membiarkan rambut panjang basahku tergerai.

Lu, panggilan orang-orang terdekatku.

***

Trotoar setengah basah yang kupijaki sekarang mulai ramai dipijaki orang-orang.

Aku menghela napas, tidak suka akan hal ini. Mataku kembali menatap jalanan, tepatnya ke arah kiri. Berharap bus selanjutnya datang dan menghentikan kebosananku sekarang.

Netraku melotot setelah mendapati jarum jam pada arloji pada pergelangan tangan. Pukul 17.10 WIB. Aku masih mempunyai waktu tujuh menit lagi untuk bersiap hanyut dalam pemikiranku sendiri lagi.

Setidaknya, kali ini biarkan buss datang tepat waktu, semesta.

Tidak, kalian tidak salah dengar. Aku memang selalu hanyut dalam pikiranku sendiri. Terdengar tidak masuk akal bukan? Namun memang itu kenyataanya. Aku bisa tenggelam dalam pemikiranku sendiri dan membuat dunia baru tiap pukul 17.17 WIB setiap harinya.

Sudah, percaya saja bila ada hal gila semacam ini. Yang patut kusyukuri tentang kejadian aneh ini ini hanya dia. Athala.

Laki-laki sebayaku yang mengaku juga terjebak pada pemikirannya sendiri.

Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang direncanakan semesta. Kami berdua tak mengerti. Yang jelas kejadian ini bermula saat aku tenggelam dalam kolam renang kedalaman dua meter dengan kondisi badan tidak bisa berenang.

Aku tersentak saat bunyi klakson terdengar nyaring.

Bus sudah sampai ternyata. Mataku mengerjap saat menyadari hanya aku sendiri yang tersisa di bangku besi halte ini.

Dengan segera, bangkit dari duduk dan berlari kecil masuk ke dalam bus.

Setelah menempelkan kartu langganan pada sebuah alat di dalam bus ini, aku mendudukan tubuhku kembali pada bangku tunggal di samping jendela.

Netraku kembali menatap arloji dipergelangan tangan. Kurang satu menit lagi untuk bersiap hanyut ke dalam dunia buatanku dan Athala.

Baiklah, kita mulai ya? Jangan merasa bingung karena nanti kau pasti memahaminya.

***

"Kau cukup tenang saat hanyut dalam pikiranmu sendiri, Lu."

Suara itu membuatku tersentak, mataku mengedar mencari sumber suara yang berhasil membuatku tahu jika sekarang berada dalam pikiranku sendiri.

Aku menatapnya malas, berjalan menuju salah satu kursi panjang di sini dan mendudukan tubuhku di sana.

Laki-laki yang beberapa saat lalu bersuara ikut mendudukan tubuhnya di sampingku.

Ia tersenyum manis menampilkan lesung pipinya yang menjadi ciri khasnya.

"Hentikan senyuman menjijikkan itu," kesalku dan kembali memalingkan wajah. Lihat kan? Hati dan ragaku tak pernah berdamai. Selalu punya sesuatu untuk diperdebatkan.

Bukannya tersinggung dengan penuturanku barusan, ia malah terkekeh kecil. Raut wajah gembiranya tak pernah luntur bila kuperhatikan. Ah, bebanku terasa sirna saat memandang wajah hangatnya.

"Tha, didunia nyata kau sedang dimana?" tanyaku tak menghilangkan nada bicara yang tenang.

Ia Athala, laki-laki yang terjebak dalam pikirannya sendiri bersamaku setiap harinya. Hal ini hanya berlangsung setengah jam saja. Setelah itu kami berdua akan kembali pada dunia nyata masing-masing.

"Balkon kamar," jawabnya. Athala memang seperti itu, sebagian waktunya di dunia buatan kami ini ia habiskan untuk menatap wajahku. Bukannya pede, memang itu jawabannya bila aku bertanya.

"Lu, rambutmu semakin panjang rupannya," ujarnya.

Aku terkisap dan menelan ludah susah payah saat mendapati tangan Athala mengusap surai panjangku.

Kami tenggelam dalam bola mata masing-masing. mencoba meresapi dan hanyut dalam dunia buatan ini sebaik mungkin.

Namun sudah kubilang bukan? Hati dan ragaku tak pernah berdamai.

Tanganku menghempaskan tangan kanan Athala yang mengusap surai panjangku.

Aku memutar bola mata malas di depannya walau tahu hal ini adalah hal yang paling tidak ia senangi. Athala bilang, memutar bola mata malas tidak sopan.

"Lu!" serunya dengan kedua bola mata melotot. Ekspresi wajah tenangnya kini berganti.

Aku mengerutkan dahiku dan mengangkat dagu angkuh sembari menatapnya.

Kudengar Athala menghela napasnya, ia memejamkan mata sebentar dan membuka matanya kembali seraya menatapku lembut, "Jangan seperti itu lagi, Lu. Tidak sopan."

Aku mendengus melihatnya. Kembali memalingkan wajah dengan bibir yang maju beberapa centi.

Melihatnya selalu mengalah padaku seperti ini, rasanya menyebalkan.

Ia terlalu mudah ditebak.

"Ada apa? Apa yang menganggu pikiranmu, Lu? Masih ada waktu dua puluh menit lagi," ujar Athala.

Aku kembali menoleh ke arahnya seraya menghela napas.

"Kau tidak bosan dengan keseharianmu?" tanyaku dengan kedua alis yang terangkat.

Athala tampak berpikir, "Bosan. Hanya saja terobati saat hari beranjak malam," jawabnya dengan senyuman manis.

Aku mengangguk-angguk, "Apa yang mmembuat rasa bosan itu terobati?" tanyaku lagi. Lebih tepatnya merasa penasaran.

Ia tak menjawabnya langsung. Athala beranjak dari duduknya. Matanya mengedar menatap langit di atas sana, itu kebiasaannya sejak dulu.

"Ada banyak yang bisa menghilangkan kebosananku, Lu. Aku harus menjawab apa menurutmu?" tanyanya. Kepalanya miring dengan kedua alis yang terangkat dan dua bola mata yant menatapku.

Aku menghela napas, selalu seperti ini.

Ia selau membalik bertanya saat aku mengajukan pertanyaan agar waktu setengah jam ini tidak sia-sia.

"Cepat katakan!" sewotku.

"Mungkin karena bertemu denganmu seperti ini," ujarnya.

Aku tertegun, kepalaku yang sebelumnya menatap lurus ke depan, kini mendonggak menatapnya tak percaya. Mengapa dari banyaknya kegiatan yang berhasil menghilangkan rasa bosan ia malah memilih menjawab hal menyebalkan ini?

"Tha, kau menyukai dunia jelek ini?" tanyaku tak percaya dengan mata mengedar menatap tempat yang kupijaki sekarang tanpa minat.

Athala menatapku bingung, lalu ia mengangguk menanngapi pertanyaanku.

Aku terperangah, merasa tak percaya. Mengapa ada manusia yang malah senang terjebak dalam pikirannya sendiri dan tidak menanggapi itu sebagai hal yang serius?

"Kau tidak berniat menghilangkan dunia jelek ini bersamaku, Tha?" tanyaku lagi.

Gelengan kepala yang menjadi responsnya semakin membuatku tak percaya.

"Lu, jangan mencoba hal itu. Aku masih ingin terjebak di sini bersmamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status