"Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah.
Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang.
"Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akanHallo readers, semoga terhibur dan suka dengan karyaku ini ya, sarangeyo.
Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab
Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber
Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh."Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring.Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan."Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal."Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh.Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya.Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s
"Din, Zidan sakit apa? " tanya Salma."Emang Zidan sakit? Aku nggak tahu, " jawabku datar."Kalian berantem? "Aku hanya diam dan menyiapkan beberapa persyaratan yang harus kukirim ke beberapa pondok tahfidz.Hampir satu bulan setelah acara perpisahan sekolah. Aku tidak berkirim kabar dengan Zidan. Ia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin lelaki itu benar-benar marah kali ini."Kita tengokin Zidan, yuk! " ajak Salma sambil merajuk."Kata teman-teman, Zidan sakit udah dua minggu? ""Sakit apa? " tanyaku penasaran. Hati kecil ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih peduli kepadanya."Katanya kecelakaan, jatuh dari motor, " ucap Salma menatapku lekat.Hari itu, aku hanya berdua dengan Salma. Aisyah tengah sibuk dengan urusan keluarganya. Kami saling bercerita hingga senja, salah satu yang membuatku terhibur adalah berbagi cerita dengan sahabat. Walau tidak banyak membantu,
Zidan tidak membalas pesanku dari semalam. Mungkin, butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memang berat untuk memutuskan semua ini.Bukankah hidup adalah pilihan? Seperti Kak Rianti yang memilih bersama suaminya kembali setelah menghancurkan hatinya. Pilihannya pasti sudah dipikirkan baik-baik. Begitu pun dengan aku yang yakin memilih tujuan hidup sebagai seorang tahfiz.Selama libur, waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah. Membantu Ibu dan menambah hapalan. Aroma teh melati menguar hingga ke dalam kamar, aroma manis dan menyegarkan. Ibu pasti sedang menyeduh teh di dapur.Aku hendak melangkah menuju dapur saat layar gawai terlihat menyala.[Assalamualaikum, setelah kupikirkan semalaman. Tetap saja hati kecilku menolak hubungan kita berakhir begitu saja. Aku akan menemui sore ini]Isi pesan itu sedikit mengusik hati. Besok aku harus pergi untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang tahfidz tiga puluh juz. Di sisi lain, ada seorang pria yang
Hampir setengah hari perjalanan dari Bandung ke Tangerang Banten. Akhirnya sampai di tempat tujuan.Tanah yang sangat asing untukku. Aku Membulatkan hati untuk mengusir rasa khawatir dan takut, kemudian melangkah dengan pasti.Aroma petrikor menghidu hingga menusuk ke hidung. Sepertinya, tanah ini baru saja tersiram air hujan. Aku menarik koper menuju alamat yang ada di pesan whatssap. Lingkungan yang agak padat, tapi tidak terlalu ramai.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Tertulis Rumah Qur'an As-Syifa dengan ukuran besar di pintu gerbang. Seorang perempuan muda mempersilakan masuk dengan ramah."Maaf, namanya siapa, Ukhty?""Andini khumaira dari Bandung. "Gadis muda itu menuntunku ke kantor sekertariat. Bangunan dua lantai yang cukup besar dan rapi."Assalamualaikum, Umi."Gadis muda itu mengucap salam sembari mengetuk daun pintu."Waalaikumsallam, masuk. " Terdengar suara lembut da
Matahari bersinar terik, panas menyengat tubuh. Peluh sudah bercucuran membasahi baju. Huh, aku paling tidak suka panas dan berkeringat. Hampir satu jam berdiri di tengah lapangan untuk menjalani hukuman yang kuterima.' Ah, ini semua gara-gara Putri' rutukku di dalam hati.Semua mata serasa tertuju kepadaku, betapa malunya diri ini melihat santri berbisik-bisik dan senyum yang tersungging di bibir maha santri dan para Ustaz.Andai aku tidak mengikuti ide gila Putri. Mengintip kamar ustaz Fikri yang terletak di bagian paling ujung gedung ini. Aku bukanlah gadis mesum yang suka mengintip pria. Aku hanya ingin tahu benda apa saja yang ia sukai."Din, klo kamu serius suka sama Ustadz Fikri. Kamu harus selidiki apa yang beliau suka, bentar lagi hari ulang tahun Ustadz Fikri, "ujar Putri dengan mimik serius."Ih, jangan ah, biarkan saja. Biar Allah yang mengatur semuanya, kalo jodoh nggak akan kemana" jawabku dengan penuh keyakinan. 
Mentari pagi membelai hangat tubuhku yang hampir membeku. Aku sengaja berjemur di taman belakang sambil murajaah seorang diri. Jadwal setoran hapalan tinggal tiga puluh menit lagi. Namun, kaki seolah terpaku dan enggan beranjak dari sini. Sampai Putri datang dan mengusik rasa nyamanku."Din, giliran kamu tuh. Yang lain udah setoran semua. "Aku masih diam dan tidak bergerak sedikit pun. Malu bercampur takut belum juga hilang. Mana mungkin fokus untuk menyetor hapalan, sedangkan bertemu saja sudah membuat jantung ini serasa melompat keluar."Cepetan, Umi yang nerima setoran hari ini, " ucap Putri geram."Allhamdulillah, kenapa nggak bilang dari tadi, " ucapku dengan perasaan lega, kemudian berlari menuju bilik tempat setoran hapalan.Maha santri perempuan kembali di bimbing Umi untuk setoran hapalan setiap harinya. Ustaz Fikri kembali membimbing anak santri laki-laki. Kami hanya bertemu sesekali saja di jam istrirahat dan jad