Share

Perkenalkan Dirimu

Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah. 

"Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga. 

"Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti. 

"Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif. 

"Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu.

 

"Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan. 

Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pilihan tepat untuk kami saat ini. 

Kak Rangga masih duduk di ruang tamu. Tidak nampak rasa bersalah sedikitpun di raut mukanya. Bahkan, ia terlihat beberapa kali berbalas pesan dengan seseorang. Sudah kupastikan, orang itu pasti wanita penghancur rumah tangga Kak Rianti.

"Maaf, klo Nak Rangga sibuk, lebih baik pulang saja. Nanti kita bicarakan lagi masalah anak di pengadilan," ucap Bapak terlihat kesal melihat tingkah lelaki yang ada di depannya.

Orang tua mana yang tidak kesal melihat anak perempuannya terpuruk, sedangkan Si laki-laki, tersenyum saat berbalas pesan di gawai.

"Baiklah, Pak. Saya pulang dulu. Assalamualaikum," ucapnya, kemudian pergi.

***

Sang surya telah Kembali keperaduan, berganti gelapnya malam. Kak Rianti sudah terlihat agak tenang. Ya Allah, jiwanya begitu terguncang oleh ulah lelaki itu. Ia semakin terpuruk dan kurus, hanya tinggal tulang terbalut kulit. Ibu menangis di sampingnya, sedangkan Bapak tampak bingung dan sedih. 

'Tahukah kamu hey wanita yang merebut suami orang. Bukan hanya istrinya yang tersakiti. Ada anak dan keluarganya pula yang ikut tersakiti. Jika saja engkau tahu rasa sakit kami, akan kami mintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Setiap tetes air mata dan setiap sayatan dalam hati, akan kamu bayar kelak, ' rutukku di dalam hati.

 

"Pak, bagaimana kalo ibu bawa Rianti ke rumah Teh Cicih. Sekalian diobati?" ucap Ibu penuh pengharapan. 

"Ibu benar, di sana tempatnya terpencil dan sejuk. Semoga Rianti cepat pulih di sana. "

Malam itu juga, aku membantu Ibu mengepak beberapa baju Kak Rianti. 

"Bagaimana dengan anak-anaknya, Bu? Terutama si kecil--Alif," tanyaku sembari menoleh ke arah ketiga keponakanku.

Mereka terlihat terlelap dibuai mimpi, wajah polosnya membuatku terenyuh.

"Kita yang akan urus mereka, biarkan Rianti pulih dulu," jawab ibu dengan penuh keyakinan.

"Insya Allah, kita bisa melewatinya,Bu. Kak Rianti Insya Allah akan segera pulih seperti sedia kala," ucapku pasti.

Ibu mengangguk, kemudian tersenyum tipis. Tangan halusnya membelai rambut panjangku dengan lembut.

"Bu, aku jadi takut menikah. Apa semua laki-laki seperti Kak Rangga?"

"Hush! Jangan ngomong begitu, pamali! Nggak semua seperti itu, masih banyak lelaki yang baik. Berdo'a saja agar kamu dapat jodoh yang terbaik."

"Aaamiiin, Ya Allah."

Begitulah kami saling bercerita hingga tertidur. Rasa lelah, kecewa dan marah seolah sirna bersama dekapan Ibu.

***

Matahari belum menampakkan sinarnya ketika Bapak dan Kak Rianti pamit untuk pergi ke rumah Bu Cicih, salah satu kerabat dekat Bapak yang tinggal di daerah Ciwidey Bandung.

Tepatnya di salah satu perkebunan teh.

Aku dan Ibu bertugas mengurus ketiga anak Kak Rianti. Pina dan Pini sudah berangkat sekolah pagi tadi. Alif masih tertidur lelap di kamarku.

"Kasihan anak-anak itu, " gumamku pelan, kemudian bergegas pergi ke sekolah. 

Tahun ini adalah tahun terakhirku belajar di Sekolah. Jadwal belajar semakin padat ditambah pelajaran tambahan selepas pulang sekolah.

 Hampir semua siswa sibuk belajar untuk persiapan ujian akhir. 

Seperti biasa,  selepas pulang sekolah. Kami akan menunggu jam pelajaran tambahan di surau. Aku duduk lama di dalamnya,  udara yang sejuk memberiku rasa nyaman hingga betah berlama-lama di dalamnya. 

"Dini! Ayo,  udah telat nih! " ajak Salma sembari menarik tanganku.

"Hadeh,  jam berapa ini? " tanyaku sambil melihat ke arah bulatan kecil di pergelangan tangan. 

Zidan pasti sudah menunggu.  Aku lupa sudah berjanji akan menemuinya hari ini, selepas pulang sekolah. Aku pun bergegas membuka mukena yang kukenakan,  kemudian pergi menuju arah belakang sekolah. 

"Mau kemana? Dini!" pekik Salma. 

"Ke belakang sebentar!" jawabku agak nyaring. 

Dan benarlah, Zidan terlihat duduk gelisah di bawah pohon rindang.  Aku menatapnya untuk sesaat, apa yang mau dibicarakannya kali ini?

"Assalamualaikum ..." sapaku lembut. 

"Waalaikumsalam ...."

"Duduklah, Din! "

Aku menyamankan tubuhku dan duduk agak jauh darinya.  Pesan Ibu seolah tertanam di dalam hati. 'Jika laki-laki dan perempuan berduaan, maka yang ketiga adalah syetan. Tahukah Nak, jika engkau bersentuhan dengan yang bukan mahram. Ibu dan Bapakmu ini yang akan di siksa kelak di akhirat. ' Pesan-pesan itu yang masih menjagaku hingga saat ini. 

"Din, kemarin aku cerita tentang kamu ke Umi. Beliau sangat ingin ketemu kamu. "

"Belum saatnya, Zi.  Kita masih sekolah. Jalan kita masih panjang. "

"Kita udah mau lulus, Din. Kita udah deket selama dua tahun. Aku berharap kita bisa saling mengenalkan orang tua kita. Kapan aku boleh main ke rumahmu? "

"Bapak sedang tidak di rumah. Beliau baru pulang hari minggu. "

"Hari minggu aku ke rumahmu, ya? "

"Iya."

Kata itu seolah meluncur dari mulut tanpa kusadari. Entah apa yang akan dipikirkan Ibu dan Bapak tentang putri kebanggaannya ini. Apa aku harus menjilat ludahku dan membatalkannya? 

***

Hari minggu yang cerah, secerah hatiku saat ini. Seperti biasa, hari minggu adalah hari beres-beres sedunia. Mencuci,  menyapu dan mengepel adalah ritinitas di hari minggu. Namun,  minggu ini agak sedikit berbeda.  Ada seseorang yang kunanti. 

"Din, itu ada yang nanyain kamu di depan, " ucap Ibu sembari menunjuk ke arah sosok pria.

Dari jauh pun aku sudah hafal sosok itu.  Sosok yang kutunggu sedari tadi. Ia berjalan ke arahku,  tangannya tampak membawa bungkusan pelastik putih. 

"Assalamualaikum ..." ucapnya sambil tersenyum dan sedikit membungkukkan badan. 

"Waalaikumsallam, ini temennya Dini? Ayo masuk! " ajak Ibu ramah. 

"Ini buat Ibu, " ucap Zidan sambil menyodorkan bungkusan ke tangan Ibu.

 

"Kenapa harus repot-repot,  tapi makasih ya, Bapak pasti suka. Ini martabak kesukaan Bapak," ucap Ibu kemudian mempersilakan Zidan untuk duduk. 

Bapak keluar dari kamar, menyalami Zidan,  kemudian duduk bersama kami. Suasana terasa sedikit tegang. Bapak tampak menelisik Zidan dengan cermat. Namun, tetap terlihat tenang dan berwibawa. 

"Nama saya Zidan, Pak, " ucap Zidan terdengar sedikit canggung. 

"Iya,  terus Nak Zidan ada perlu apa ke sini? "

Zidan terlihat lebih gugup, terlihat jelas tetesan keringat yang mulai keluar dari pelipisnya. Suasana mendadak hening,  tegang dan kaku sampai Ibu datang membawa sepiring martabak dan dua gelas kopi. 

"Nak Zidan suka kopi, kan? Ayo silahkan di minum, " ucap Ibu sembari meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja. 

"I-ya,  Bu. Terima kasih. "

"Ayo diminum, " ucapku pelan.

"Saya teman dekat Dini, Pak, " ucap Zidan pasti. 

Aku yakin, butuh keberanian yang besar untuk mengatakannya kepada Bapak. Penampilan Bapak yang maskulin dengan kumis dan janggutnya.  Pasti membuat Zidan sedikit gentar

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status