Penculikan Rafael dan Alya
Setelah membersihkan diri, dan membalut luka di tangan kanannya, Jaden berjalan menuju ruang inap di mana Aina berada.
Cekelek!
Hal pertama yang Jaden lihat adalah sang sahabat duduk dengan posisi tertidur, lalu pandangannya mengarah ke tempat tidur terlihat Aina masih menutup matanya karena pengaruh obat bius.
"Sam! Samuel!" panggil Jaden dengan suara pelan.
"Sam! Bangunlah, istirahat dan pergilah ke ruanganmu sekarang," ulang Jaden dengan menggoyang bahu Dokter Samuel.
"Eegghh ... kamu sudah datang, Jaden. Kupikir kamu masih lama, maaf aku ketiduran saat menjaga Aina," ucap Dokter Samuel dengan suara khas bangun tidur.
"Tidak apa-apa, kamu pergilah dan istirahat di ruanganmu," saran Jaden, yang mengerti sahabatnya pasti lelah.
"Iya, aku pergi dulu. Kamu juga jangan lupa makan, dan melalaikan kesehatanmu sendiri saa
Belajar Menerima Meskipun SulitMartin dan anak buah Jaden pun membawa Rafael serta Alya kembali ke Jakarta, bukan hal sulit bagi Martin dan rekannya untuk menemukan keberadaan Rafael. Benar saja, belum sampai malam Martin telah mendapatkan informasi jika Rafael serta Alya berada di Bali, karena agen terbaik Jaden dengan cepat menemukan keberadaan mereka.Tanpa membuang waktu, karena perintah tuannya. Martin pun segera terbang ke Bali demi menjemput kedua orang yang tidak mempunyai hati, telah meninggalkan Aina sendirian di rumah sakit hanya untuk memuaskan hasrat mereka dengan memadu kasih selayaknya suami istri.***Dengan cara menutup kedua mata Rafael dan Alya, Marin membuat keduanya tidak tahu akan dibawa ke mana pergi. Hingga mereka telah berada dalam pesawat, dan dalam perjalanan menuju Jakarta.Saat Rafael, Alya, Martin dan beberapa orang kepercayaan Jaden tengah dalam pe
Tuk! Tuk! Tuk!Jaden mengetuk tangan kursi dengan ujung jari telunjuknya, seraya memikirkan kata tepat apa, agar Rafael bisa lebih mementingkan Aina dari pada Alya selingkuhannya.'Apakah aku harus menunjukkan jati diriku, yang sebenarnya pada Rafael malam ini. Agar aku lebih mudah mengancamnya?''Tidak! Aku tidak akan menunjukkan jati diriku untuk sekarang ini, karena aku tidak mau dia menanggapku remeh seperti dulu.''Rafael bukanlah orang sembarangan dalam dunia bisnis, namanya cukup terkenal. Hanya satu yang bisa membuatnya mau menuruti apa yang kukatan, yaitu dengan mengancam kariernya,' batin Jaden dengan menerawang memandang kearah jalanan.Ya, saat ini Jaden berada di dalam ruangan rahasianya. Tepatnya gedung paling atas rumah sakit Modern Hospital, ia berdiri dari duduknya. Lalu ia memasukan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya, seraya memandang ke arah luar dengan banyaknya pemikir
Kebohongan Alya"Apa kamu bisa dipercaya?!""Jika kamu berbohong, kamu akan tahu apa yang kulakukan padamu?!" tanya Jaden mulai menurunkan nada emosinya."Tentu saja, Tuan. Anda bisa mempercayai saya, karena saya bukan wanita yang suka berbohong," jawab Alya dengan nada meyakinkan.Namun, lain di mulut lain di hati. Alya berbohong di depan Jaden, karena ia tidak mau mati konyol di tangan anak buah Jaden.Rafael yang mendengar penuturan Alya merasa tidak terima, karena ia mulai mencintai kakak iparnya."Alya! Jangan katakan itu, Sayang. Aku mencintaimu, dan aku akan mempertahankan kamu di sisiku," tolak Rafael."Aku akan bersikap adil pada kamu dan Aina, jangan katakan kamu akan menjauhiku Alya," teriak Rafael menggema di dalam ruanga, dengan meyakinkan Alya kalau ia benar-benar mencintai kakak dari istrinya.'Aduh, kalau Rafael tidak mau mengikuti apa yang kukatakan tadi. Maka aku takut para penjahat itu akan membunuhku, aku tidak m
Senyuman yang Dipaksakan"Kenapa baru datang? Apakah kamu tidak tahu jika aku berada di rumah sakit, hem?" tanya Aina begitu ia melerai pelukan dari suaminya."Maafkan aku, Sayang? Di kantor ada sedikit masalah, jadi aku meninggalkanmu saat koma.""Aku tidak punya pilihan, jadi kuutamakan kewajibanku sebagai pimpinan perusahaan terlebih dahulu. Maaf,'' jawab Rafael dengan kebohongannya, padahal selama tiga hari ia berada di Bali dan bersenang-senang bersama Alya."Apakah ada masalah yang serius?" tanya Aina terselip rasa khawatir, karena perusahaan suaminya selama ini terbilang aman-aman saja. Bahkan perkembangan perusahaan juga sangat pesat, dan ia merasa tidak ada hal yang serius pernah terjadi di perusahaan Rafael."Sudah kuselesaikan, kamu jangan mengkhawatirkan perusahaan. Untuk saat ini pilirkan tentang kondisimu, sebab kamu baru siuman, Sayang," jelas Rafael, seraya menggenggam tangan Aina. Kemudian ia memberikan kecupan kecil di pungg
Kecurigaan AinaSetelah Aina mengatakan ingin pulang, mau tidak mau Rafael pun menuruti keinginan sang istri. Meskipun sesungguhnya ia ingin Aina mendapatkan perawatan lebih baik, hingga kesehatan sang istri benar-benar pulih.Namun, sifat keras Aina membuat Rafael luluh. Ia yang melihat Aina baru saja siuman, dan tidak ingin membuat sang istri memikirkan hal berat.Aina hanya menginginkan pulang ke rumah mereka, dan ia harus menuruti. Memgingat sang istri tidak menyukai jika terlalu lama berada di rumah sakit.Rafael pun berjalan ke ruangan Dokter Jaden, di mana dokter tampan itu yang selama ini menangani dan merawat Aina. Setelah sampai di deoan ruangan, terlihat Rafael mengetuk pintu dengan tidak sabarannya.Di dalam ruangan.Terdengar suara ketukan pintu cukup keras, membuat Dokter Jaden yang tengah duduk di kursi putarnya merasa terkejut. Mengingat saat ini, ia dalam posisi melamun, dan hal yang dilamunkan tidak jauh dari pa
Pulang ke RumahWaktu telah menunjukkan pukul setengah satu malam, Aina dan Rafael baru saja turun dari mobil menuju pintu utama.Rafael terlihat mendorong kursi roda yang di tempati sang istri, Aina begitu bahagia kala ia memandang rumah yang telah beberapa hari tidak ia lihat dan tinggalkan."Apa kamu senang, Sayang?" tanya Rafael, seraya mendorong kursi roda Aina."Iya ... aku senang sekali, Rafa," jawab Aina, seraya menyentuh tangan suaminya yang berada tepat di belakang pundaknya.Rafael yang melihat wajah bahagia sang istri turut senang, biar bagaimana pun Aina adalah wanita yang ia cintai. Apa yang menjadi kesukaan serta kebahagiaan Aina, ia juga akan merasakan bahagia."Aku senang kamu bahagia, Sayang. Sekarang kita masuk ke dalam, tapi sebelum itu aku buka dulu pintunya," ucap Rafael, setelah mengusak puncak kepala Aina pelan. Kemudian ia mengambil kunci cadangan di saku celananyaCekelek!"Apa kamu lelah, dan ak
Timbul Perasaan Tidak Percaya"Non Aina istirahat dulu, ini sudah sangat larut sekali," ucap Bik Ida untuk kesekian kalinya."Saya masih belum mengatuk, Bi. Saya mau menunggu Rafael dulu," jawab Aina, masih dengan rasa gelisah dalam hatinya."Tapi, ini sudah jam tiga pagi, lho, Non Aina. Apalagi Non 'kan baru saja sembuh, jadi harus banyak istirahat," nasehat Bik Ida lembut, seperti selayaknya ibu bagi Aina.Ya, setelah Rafael meminta izin ke kamarnya di atas untuk mengambilkan baju tidur miliknya. Tapi, sudah hampir 3 jam Rafael belum juga kembali. Aina yang berada di kamar bawah, tepatnya kamar tamu mulai gelisah.'Kemana kamu, Rafael? Masa mengambil baju sampai lama seperti ini, apa kamu ketiduran di kamar kita?' tanya Aina dalam hatinya."Bi ... apa Kak Alya ada di kamarnya sekarang?" tanya Aina, dan memandang Bi Ida dengan sorot rasa ingin tahunya.Bik Ida yang tahu, dengan hubungan terlarang Rafael dan Alya terkejut saat nona ya
Tidak Percaya Lagi'Kenapa Aina tiba-tiba menangis, apa aku mengatakan hal yang salah? Tidak, tadi aku hanya mengatakan ketiduran di kamar atas. Tidak lebih,' batin Rafael binggung.''Sayang, kenapa kamu menangis? Apa ada yang sakit?'' tanya Rafael dengan nada perhatiannya.Aina yang mendengar itu sama sekali tidak berniat menjawab, yang ia lakukan hanya memandang wajah suaminya dengan tatapan terluka."Sayang, sudah dong jangan menangis terus. Maafkan aku jika aku salah, apa karena aku ketiduran di kamar kita kamu jadi sedih seperti ini, hem?'' tanya Rafael, dan berniat menghapus air mata Aina.Namun, dengan gerakan cepat Aina melenggos. Hingga tangan Rafael mengambang di udara. Sesaat Aina menghapus air matanya sendiri dengan kasar, setelah itu ia menjawab pertanyaan suaminya.Tentunya dengan nada berbohong, jika ia mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Nyatanya keadaannya tidak seperti itu, bukan tentang luka atau kondisi t