Share

3. Special Candy

BUGH!

"Maya!" 

Dinar menatap tajam musuh bebuyutannya yang saat ini sudah terkapar pingsan dan sedang berusaha ditolong oleh beberapa teman seanggotanya dengan darah mengalir dari hidungnya. Di gerakkannya tangannya seperti preman yang habis menghabisi banyak orang. Pandangannya pun tidak lepas menatap ke arah Maya dengan jengah. Baru satu pukulannya mendarat, dan itu baru pukulan biasa, tapi gadis itu sudah terkapar.

Senyuman lantas menggembang

dibibirnya. Ia tersenyum menang, tentunya. Karena lihat? Siapapun yang berani menganggunya, dan menentangnya, semua akan berakhir seperti Maya. Garis bawahi, kalau Naura tidak pernah takut dengan siapapun. Jangan berani macam-macam dengannya, jika tidak ingin terjadi sesuatu.

"DINAR! GILA LO, HAH?!"

Teriakan salah satu anggota OSIS ber-nametag 'kan Adam itu terdengar keras memekakan telinga. Laki-laki itu menatap Dinar marah. Dinar tahu itu. Semua pasang mata yang berada diruangan ini pun sedang bereaksi sama seperti laki-laki itu. Bahkan tatapan mereka, terlihat sangat membencinya. Tapi seorang Dinar tidak takut bahkan peduli dengan tatapan mereka. Ia hanya terlihat santai ditengah keseriusan mereka.

"IKUT GUE KE BP!"

Dinar melebarkan matanya tajam mendengarnya. Ditepisnya tangan Adam yang sudah mencengkeram kuat lengannya dan berniat menariknya menuju ruang guru BP.

"APAAN SIH LO?! LEPAS!"

Dinar berhasil melepaskan cengkeraman kuat itu. Tapi lagi-lagi Adam menariknya.

"NGGAK USAH BANTAH! LO HARUS KE BP NYELESAIN MASALAH LO!" Adam berteriak tepat dihadapan Dinar, membuat Dinar semakin melotot tajam. Tubuhnya meronta marah. Ia tidak suka dipaksa seperti ini.

"LEPAS!"

"Gue heran sama lo, kok bisa-bisanya orang kayak lo gak dikeluarin dari sekolah?!" Adam terheran-heran sambil masih memaksa Dinar untuk ikut dengannya. Dinar sendiri tidak terima. Ia berhenti meronta saat Adam mengatakan seperti itu. Ia geram mendengarnya. Tangannya lantas menyikut keras perut Adam dengan sebelah tangannya yang terbebas dari cengkeraman laki-laki itu.

BUGH!

"BAC*T LO! GUE—"

"DINAR!"

Dinar menoleh cepat ke arah sumber suara. Matanya melihat keberadaan Lingga yang saat ini menatapnya dingin, tajam dan marah padanya. Dinar tahu bagaimana tatapan itu, karena terdengar dari suaranya pun  ia sudah paham.

"Ikut gue sekarang!"

"Enggak!"

Lingga semakin menatap tajam dan dingin Dinar yang menolak perkataannya. Setelah melihat Maya yang digotong pingsan dengan keadaan hidung yang memerah bahkan mengeluarkan darah membuat Lingga ingin memusnahkan Dinar sekarang juga. Ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran gadis itu. Gadis itu terus saja membuat masalah. Tidak masalah jika yang Dinar lakukan adalah dengan seorang laki-laki, setidaknya. Tapi ini dengan Maya, ketua OSIS sekolahnya. Lingga benar-benar tidak habis pikir.

"Nggak usah susah kalo dibilangin!"

Lingga siap menarik Dinar, namun gadis itu menolak dengan mencoba menepis kuat lengannya.

"Gue nggak ma—"

"DIEM ATAU GUE PAKSA LEBIH DARI INI!"

Dinar terkejut mendengarnya. Ia benar-benar kaget dan tidak percaya dengan bentakan Lingga baru saja. Baru saja, Lingga berkata dengan nada seperti itu? Dinar kehabisan kata-kata saat ini. Rasanya tenggorokannya tersendat dan dadanya sesak. Sakit, terlebih lagi saat Lingga menariknya paksa tanpa mengatakan apapun lagi.

Selama berjalan menuju ruang BP, Dinar hanya diam, tidak tahu dan tidak ingin mengatakan apapun selain menggerutu kesal dan marah. Jika biasanya Dinar akan meronta meminta dilepaskan, tapi kali ini ia hanya bisa diam. Rasanya sakit saat di bentak seperti ini oleh Lingga.

•••

"Eh, Lingga, mau beli apa?"

Lingga tersenyum tipis saat melihat Ibu pemilik warung dihadapannya bertanya apa yang ingin dibelinya.

"Mau beli tolak angin, minyak kayu putih sama obat maag bu."

Ibu pemilik warung itu mengangguk dan tersenyum. "Oke, sebentar ya, layanin mbak ini dulu, hehe."

Lingga mengangguk mengerti, tidak lupa juga dengan senyuman tipisnya. Lingga pun menunggu Ibu pemilik warung itu kembali membawakan pesanannya. Saat ini ia memang sedang membeli beberapa keperluan di UKS yang kebetulan beberapanya habis dan sepertinya anak PMR belum membelinya. Sebenarnya ini bukanlah tugasnya. Tapi karena tadi ia ingin mengambil obat maag untuknya di UKS namun ia melihatnya habis, begitu juga beberapa obat yang lain, sekalian saja Lingga membelikannya diwarung depan sekolahan, karena tadi pun salah satu adik kelasnya menanyakan tolak angin karena sakit.

"When you hold me in the street..."

Lingga menoleh ketika ia mendengar suara bising yang tidak asing ditelinganya dari kejauhan. Matanya melihat keberadaan Dinar dengan ketiga temannya itu dan juga dengan salah satu teman perempuan lainnya, yang seingatnya bernama Tasya.

"Ini apaan sih, lo?!"

Dinar terkejut saat melihat Calvin tiba-tiba saja memeluknya dari belakang ditengah jalannya mereka dari gerbang menuju ke dalam sekolah. Sontak Dinar menghentikan langkahnya, ia menoleh dan menatapnya tajam.

Kean, Satria dan Tasya yang melihatnya hanya terkekeh bersama.

"And you kiss me on the dance floorr..."

Calvin menarik tubuh Dinar untuk menghadap kearahnya sambil menyanyikan lagu Little Mix yang berjudul Secret Love Song. Tangannya menangkup wajah gadis itu dan mendekatkan wajahnya pada wajah Dinar. Dinar jelas membulatkan matanya terkejut bukan main melihatnya. Iapun menjauhkan kepala Calvin dengan kasar menggunakan telapak tangannya. Mendorongnya kuat dengan kesal. Laki-laki jangkung ini tidak jelas.

"APAAN SIH, BEGO? LEPAS NGGAK!"

Lingga memperhatikan dikejauhan dalam diam. Entah kenapa ia merasa gadis itu baru terlihat lagi olehnya sejak beberapa hari kemarin tidak pernah ia sadari keberadaannya.

"I wish that it

could be like that..."

Calvin kembali bergerak, menarik tubuh Dinar dengan tangannya yang mulai menggenggam kedua tangan gadis itu dan menariknya seperti sedang berdansa. Dinar pun tidak bisa berkutik. Pergerakan cepat Calvin tidak bisa membuatnya terlepas dari tingkah gila seorang Calvin. Dinar tidak mengerti apa yang dimakan laki-laki itu pagi tadi.

"Why can't

it be like that? 'Cause

I'm yours~~"

Tubuh Calvin kini memeluk Dinar dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Tinggi tubuh Dinar dan Calvin yang cukup jauh membuat wajah Dinar harus berpas-pasan tepat dengan ketiak Calvin, lantaran laki-laki itu sedikit bergeser memeluknya, membuat Dinar kesal setengah mati.

Kean, Satria dan Tasya justru hanya terkekeh tanpa berniat membantunya.

Calvin pun hanya terkekeh senang karena mengerjai gadis itu. Dinar pun hanya bisa meronta meminta dilepaskan. Namun saat melakukan itu matanya tidak sengaja menangkap keberadaan Lingga yang saat ini melihat kearahnya dengan wajah datarnya diwarung Bude Uus.

"Heh, b*go! Diem aja tuh anak, liat, kenapa nj*r?" Kean bertanya karena Dinar hanya diam dan terlihat tidak lagi meronta seperti tadi "Eh, woi! Ci!"

Satria justru hanya terkekeh. "Awas lo, mati anak orang nanti keracunan ketek lo,"

Calvin terkekeh dan justru semakin melebarkan tawanya. "Apaan, kagak, b*go. Malah keenakan dia diginiin, nggak pernah dialem jadi begini. Betah, gue ketekin juga."

Mereka hanya tertawa, membuat lelucon lantaran Dinar masih saja diam, padahal sejak tadi gadis itu memperhatikan keberadaan Lingga yang berdiri di warung Bude Uus.

"Hm, Lingga, tadi beli apa ya? Minyak kayu putih sama apa?"

Lingga menoleh saat Ibu pemilik warung itu memanggilnya, membuatnya mengalihkan pandangannya.

"Minyak kayu putih, tolak angin sama obat maag."

"Oh iya, oke, tunggu sebentar ya."

Lingga mengangguk lagi. Matanya kembali melirik dimana keberadaan Dinar tadi dan ia melihat Dinar sudah berjalan memasuki sekolah. Lingga pun tersenyum tipis. Ia kembali berbalik menghadap warung itu dan tanpa disengaja, matanya melihat permen yang tidak asing namanya.

Melihatnya membuat Lingga teringat sesuatu.

"Bu, permen ini satu, berapa?"

•••

Sudah kurang lebih satu minggu ini, sekiranya Dinar terus menjauhi keberadaan Lingga saat disekolah. Dinar tidak lagi datang menghampirinya ke dalam kelasnya, tidak lagi datang menghampiri ke ruangan OSIS ataupun menganggunya diperpustakaan. Dinar benar-benar mendiamkan Lingga. Bahkan ia tidak mengirimi pesan singkat apapun seperti yang biasanya ia lakukan setiap harinya. Sudah seminggu berlalu. Tapi sejujurnya bagi Dinar, satu minggu melakukan semua itu rasanya terasa sangat-sangat lama dan rasanya ia sangat rindu dengan laki-laki itu.

Dinar memang masih kesal dengan Lingga karena kejadian minggu lalu itu. Pembelaan dan bentakannya yang kasar padanya membuat Dinar kesal dan sakit hati. Dadanya terasa sesak dan sakit saat Lingga membentaknya seperti itu. Padahal biasanya Lingga tidak pernah melakukan itu, semarah apapun dia. Kalaupun marah, tidak ada bentakan selain nada suara yang biasa, namun tatapannya dan perkataanya menusuk dalam. Tapi itu bukan menjadi masalah baginya, karena sudah terbiasa. Tapi jika bentakan saat itu, ia tidak bisa menerimanya.

Dinar pun terdiam, berpikir. Apa waktu itu Lingga benar-benar marah padanya sampai laki-laki itu membentaknya seperti itu?

Tapi, kenapa?

Kenapa Lingga baru melakukan itu, disaat hubungan mereka sudah sejauh ini? Semuanya terasa berbeda saat kemarin-kemarin. Apa ada sesuatu? Perasaannya tidak enak. Pikirannya menjadi negatif tentang hubungannya saat ini.

Dinar pun menghela napasnya. Bodoh, pikirnya. Peduli sekali ia dengan laki-laki itu? Seharusnya ia berpikir seperti yang laki-laki itu selalu lakukan. Lingga saja tidak merasa bersalah dengan bentakan yang dilakukannya itu padanya. Dan biasanya ia selalu bisa menerima apa yang laki-laki itu lakukan dan mereka perdebatkan. Walaupun saat itu juga ia sadar merupakan kesalahannya, tapi seharusnya Lingga cukup paham kenapa ia menjauh dan tidak mengganggunya seminggu ini tidak seperti biasanya, jika kalau bukan karena ia sedang merajuk. Harusnya Lingga mengerti itu! Harusnya laki-laki itu peka!

Hah, masa bodoh!

Dinar tidak mau mempedulikan itu lagi sekarang. Walaupun ia masih sering memperhatikan dan mencari keberadaan laki-laki itu dari kejauhan, tapi ia tidak ingin menjadi bodoh lagi dengan kembali mulai mendekati Lingga lebih dulu lagi seperti yang lalu. Tidak akan. Dinar ingin Lingga yang memulainya lebih dulu. Ia tidak ingin dirinya yang memulai duluan. Dinar ingin, Lingga yang meminta maaf, bukan justru sebaliknya.

"Kean sama si Sasa kemana?"

Dinar baru saja datang bersama dengan Satria. Mereka berdua memang satu kelas, jadi mereka berjalan bersama saat menuju kantin, dan sesampainya disana mereka hanya melihat Calvin duduk sendirian diatas meja kantin. Calvin pun menoleh pada mereka yang baru saja datang, padahal ia sudah menunggu hingga bulukan.

"Jalan apa ngesot sih, lama bener ke kantin doang." Calvin turun dari atas meja, dan mulai duduk dikursi sambil memainkan gitarnya yang terkadang dibawanya itu.

"Yaelah, nganter nyonyah dulu nih, beser." Kata Satria. "Lagian siapa yang nyuruh lo nungguin juga?"

"Kagak ada sih, haha." Calvin tertawa bodoh sambil memetik senar gitarnya, sementara Satria menatap jengah. "Gabut gue, sial."

"Emang anak-anak kapak nggak kesini?"

Calvin menggeleng sambil melirik seisi kantin. "Kagak. Pada nongkrong di Jalu."

Anak-anak kapak yang Calvin maksud adalah geng pendosa terkenal disekolah lainnya, sama seperti Dinar dan The Dude. Jalu sendiri nama tongkrongan anak-anak SMA Cita Buana yang berada diluar gedung sekolah. Biasanya mereka berkumpul disana saat jam istirahat melewati pintu pagar, sementara pulangnya melewati tembok belakang sekolah.

"Eh, sial! Gue nanya, malah pada kacang!" Sentak Dinar. "Kemana si Sasa?"

Satria melirik heran. "Ngapain lo? Tumben amat nanyain. Biasanya juga debat mulu lo berdua, udah kayak lo sama tuh, pujaan hati lo."

Dinar melempar tatapan tajam pada Satria dan menendangnya dengan kakinya. Satria dan Tasya itu memang sebelas dua belas. Tidak jauh berbeda, jika sudah menyangkut Lingga. Laki-laki itu masih dendam dengan Lingga, lantaran saat itu Lingga pernah menyita benda kesayangan milik Satria disekolahan. Apalagi kalau bukan parfum bermerek dengan harga satu minggu uang jajannya? Satria memang penggila parfum. Ia sangat menyukai harum, berbanding jauh dengan Kean.

"Nggak usah bikin gue kesel."

"Lah, kesel sama gue? Kesel tuh sama pujaan hati lo, noh!"

"Ah, berisik lo!"

Satria pun hanya menatap malas, enggan melanjutkan perdebatan. Lelah. Sementara Dinar memperhatikan seisi kantin.

"Tadi tuh anak berduaan, nggak tau dah mau kemana." Sahut Calvin tiba-tiba melirik Dinar sekilas, lalu mengalihkannya kembali pada seisi kantin.

"Katanya tadi mau minta handsaplast di UKS." Tambah Satria juga, dan itu membuat Dinar meliriknya kesal.

"Tadi diem aja lo, sat." Dinar kesal, karena dari tadi ia bertanya, Satria justru hanya diam saja padahal laki-laki itu tahu dimana keberadaan dua teman kasmarannya itu. "Ngapain juga tuh anak minta handsaplast ke UKS, hah? Burungnya lecet gitu, gara-gara tiap hari nyabun terus?"

Dinar mengalihkan pandangannya tidak habis pikir. Padahal ada kantin, harga handsaplast pun hanya seribu sudah dapat satu. Tapi temannya itu justru meminta ke UKS. Memang benar-benar nggak modal Seorang Keano Melgiansyah.

Satria dan Calvin justru terbahak mendengar perkataan konyol Dinar. "Si b*go, mana ada burung lecet kena sabun." Kata Calvin tertawa. "Yang ada juga enak, bikin merem-melek."

Tawa mereka pun semakin pecah bersama didalam kantin, membuat beberapa pasang mata menoleh kearah mereka.

"Lagian, mau handsaplast doang pake minta ke UKS. Nggak modal amat anj*ng, temen gue." Dinar memang tidak habis pikir. Padahal uang jajan Kean cukup besar, tapi laki-laki itu pelitnya minta di cekek. Kuburan bahkan mungkin tidak mau menerima mayatnya kalau saja dia mati.

"Buat si Sasa katanya. Lehernya penuh kerokan melingkar." Satria terkekeh. "Tadi pagi ditegor sama bu Yunita pas ngajar."

Calvin tidak hentinya tertawa sama halnya dengan Satria. Dinar juga sama, ia tidak bisa menahan tawanya. "Yah, udah, sama-sama b*gonya. Udah tau juga bukan malem jumat, masih aja nggak liat sikon besoknya."

"Ya gapapa lah, hidup mereka berdua kan debat mulu akhir-akhir ini. Mungkin semalem si Tasya juga lagi pengin." Kekeh Satria.

Calvin mengangguk setuju. "Tau, emangnya kayak lo." Tiba-tiba saja laki-laki jangkung itu menyindirnya. "Hidupnya debat mulu, tapi nggak pernah ada manis-manisnya. Pahit, terosss!"

Dinar lantas meliriknya dengan tajam. "Terus, ny*t, terus, bawa-bawa gue sama Dio." Ujar Dinar kesal karena Calvin selalu melakukan itu.

Calvin pun hanya terkekeh bersama dengan Satria melihatnya. Mereka berdua terutama Calvin sangat senang jika menyudutkan Dinar perihal hubungannya. Niat hati seorang Calvin melakukannya pun, berharap agar temannya itu segera mengakhiri hubungannya dengan laki-laki itu.

"Lah, emang nyata 'kan?" Ledeknya. "Pahit mulu, nggak pernah ada manis. Boro-boro dibelai, mau berduaan aja ke hitung pake bulu idung gue, nih!"

Dinar mendelik semakin tajam. Laki-laki jangkung itu memang tidak menyukai hubungannya dengan Lingga. Ia tidak mengerti, padahal yang menjalankan dia, bukan mereka. Walaupun jika sedang galau ia selalu berlari pada mereka, tapi 'kan tetap saja, ia sendiri yang menanggung semuanya. Dan karena kesal, Dinar lantas mengambil sampah plastik yang ada diatas meja kantin, dan menyumpalnya ke mulut Calvin yang terkekeh.

"ANJ—*NG, WOI! SIAL*N!"

Dinar tidak menghiraukan tawa pecah Satria, apalagi teriakan marah dari Calvin. Kakinya hanya terus melangkah menuju abang penjual batagor untuk mengisi perutnya yang juga sudah kruyuk minta di isikan.

"Bang, satu." Keadaan gerobak bang batagor sebenarnya sedang ramai, namun karena melihat Dinar yang membeli, mereka menyingkir, dan abang batagor pun langsung melayaninya.

"Siap, neng Dinar!"

Padahal Dinar juga tidak menyelang atau mengusirnya. Mereka yang memilih menyingkir dan membiarkan ia dilayani lebih dulu. Namun tetap saja, mereka berbisik dan menatapnya kesal.

"Kenapa lo? Mau ribut?" Ujar Dinar sudah jengah dengan salah satu dari mereka yang menatapnya tidak suka. "Lo semua yang nyingkir, bukan gue yang ngusir."

Merdeka pun hanya diam mendengarnya, dan beberapa dari mereka ada yang pergi, tidak jadi membeli, tapi Dinar tidak peduli.

DrtDrt.

Ponselnya tiba-tiba saja bergetar, membuatnya langsung mengambil ponselnya yang berada di saku seragamnya dan melihatnya.

Baling-baling batu:

Dimana?

Dimana katanya?

What the? Apa-apaan ini?

Dinar mengerutkan dahinya. Apa ia tidak salah lihat? Lingga mengirimnya pesan W******p, bertanya dimana dirinya sekarang? Dengan tiba-tiba, setelah seminggu tidak ada kabar apapun dan tidak mencarinya, laki-laki itu tahu-tahu saja mengiriminya pesan seperti itu?

Dinar berdecak masa bodoh. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam sakunya, lalu mengambil batagor pesanannya yang telah jadi dan kembali melangkah ke meja dimana Satria dan Calvin masih berada disana.

"Mantap! Pas banget nih, perut gue lap— bagi, gue Ci, bagi."

Dinae melotot tajam pada Calvin karena tangannya sudah terulur panjang siap melahap batagor miliknya.

"Enak aja lo main comot! Gue patahin tangan lo, liat aja!" Ujarnya. "Beli sendiri!"

Dinar masih menatap Calvin tajam, memperingatinya kalau laki-laki itu tidak boleh memakan batagornya. Sembarangan, batinnya. Dinar sedang lapar, karena emosi mengurasnya lantaran pesan dari Lingga itu.

"Yaelah lo, nyicip doang, dikit gue. Pel— eh, iya, iya!" Calvin menarik kembali tangannya saat Dinar sudah mengacungkan garpu itu tepat padanya. "PMS mulu hidup lo akhir-akhir ini, heran gue. Tangki darah kotor lo didalem bocor kali, terus ngalir ke ubun-ubun!"

Calvin melangkah pergi meninggalkan Dinar menuju penjual mie ayam yang sejak tadi dipantau laki-laki itu, karena ingin membayar hutang dua mangkuk mie yang saat itu belum dibayarnya. Sementara Satria yang melihat bagaimana raut wajah gadis itu saat ini membuatnya memilih untuk pergi membeli Jus di warung bibi Lia.

Dinar pun tidak mempedulikan kepergian mereka. Suasana hatinya sedang tidak baik, dan untungnya mereka meninggalkannya.

"Kak Lingga!"

Dinar menolehkan kepalanya, mencari sumber suara itu karena ia mendengar seseorang menyerukan nama Lingga disekitar kantin. Matanya melirik, ke seluruh penjuru kantin, dan tidak jauh dari keberadaannya, ia melihat Lingga yang saat ini menggunakan kacamata minusnya yang bulat itu, terlihat sedang berbicara dengan Shakila. Sekali lagi, Shakila. Shakila Adriana, adik kelas sepuluh yang paling Dinar benci setelah Farah, anak kelas sebelas yang gaya centilnya minta di jambak rambutnya sampai botak.

Dinar hanya memperhatikan dengan datar, namun juga serius saat Lingga sedang berinteraksi dengan Shakila. Tidak terdengar olehnya, tapi bisa Dinar lihat kalau sepertinya Lingga senang berbicara dengan Shakila, dan itu merupakan salah satu alasan kenapa Dinae membenci adik kelasnya itu.

"Masih gue liatin."

•••

"Ling, nanti jangan pulang dulu. Kita bahas dulu kendala acaranya."

Entah kenapa, semakin kesini, Lingga semakin di sibukkan dengan kegiatan OSIS dan MPKnya. Padahal, ia sudah menginjak kelas 3. Bahkan, ini sudah hampir mendekati akhir semester satu, dan tidak akan lama lagi berbagai macam Ujian akhir akan dihadapinya. Tapi pak Gibran tetap menginginkan dan mempercayai jabatan ini padanya.

Lingga tahu, ia memang sangat aktif diberbagai kegiatan sekolah. Selain aktif eskul sekolah, ia juga sangat pintar. Ia selalu menjadi juara kelas dan kebanggan setiap wali kelasnya. Ia juga sering mengikuti beberapa lomba cerdas cermat, sampai tahap kota. Oleh karena itu tidak heran setiap guru mengenalnya dan mau menjadikannya ketua MPK ditahun terakhirnya disekolah ini. Dengan alasan, tidak ingin menyia-nyiakan keberadaannya saat ini.

"Tunggu," Lingga menahan ketiga siswi yang lewat berlawanan arah dengannya. Mereka terlihat terkejut saat ia menghentikan mereka. "Buka sepatunya."

Dengan tangannya yang memegang papan berisikan lembaran kertas, serta pulpen dan tas ransel di cangklok disisi kirinya, Lingga menatap datar ketiga siswi itu. Matanya menangkap jelas kaus kaki berwarna yang dikenakan mereka, meski mereka berusaha menutupinya, tapi Lingga melihatnya.

"Di lepas atau mau gue tambah poin nya?"

Ketiga siswi itu membulatkan matanya terkejut mendengarnya. Dengan gerutuan dan wajah tak bersahabatnya, ketiga gadis itu pun memilih membuka sepatunya cepat, menuruti perkataan Lingga.

"Buang sekarang."

Ketiga gadis itu pun menurut saat Lingga menyuruh membuang kaus kaki berwarna yang mereka kenakan itu.

"Lain kali gue liat lagi, poin nambah dua kali lipat."

Lingga tidak habis pikir dengan mereka-mereka yang selalu melanggar aturan sekolah seperti itu. Maksudnya, apa keuntungan dari mereka melakukannya? Seharusnya mereka mematuhi saja peraturan yang ada, agar selain Lingga tidak lelah melihat disetiap ujung koridor selalu ada yang melanggar aturan, dan juga karena itu untuk kebaikan mereka.

Peraturan itu seharusnya memang ada, ditegaskan dan diterapkan. Bukan malah justru sebaliknya. Bayangkan apa jadinya dunia ini tanpa aturan? Mau jadi seperti apa dan bagaimana hidup ini kalau bukan menjadi kehidupan yang berantakan?

Sama halnya seperti dengan biang rusuh sekolah si tiga manusia sesat itu. Setiap hari selalu melanggar berbagai macam aturan. Dan lihat bagaimana mereka sekarang? Benar-benar menyedihkan. Gayanya petakilan seperti preman, tidak berpendidikan, tidak disiplin, dan tidak mempunyai sopan santun. Mau jadi apa mereka nantinya dimasa depan? Hanya menjadi perusak bangsa.

Menyebut ketiga laki-laki itu, membuatnya menjadi teringat Dinar.

Lingga menghela napasnya. Ia juga tidak habis pikir dengan Dinae yang berperilaku melebihi preman pasar. Apalagi jika Dinar sudah berdekatan dengan ketiga laki-laki itu. Dinar yang kala itu ia kenal selalu merajuk dan manja menjadi hilang.

Ah, merajuk ya?

Sepertinya Dinar memang sedang merajuk padanya karena masalah itu. Gadis itu memang sangat manja dan kekanakan. Lihat bagaimana Dinar marah saat ia kembali membela yang benar. Gadis itu selalu ingin dibela dan diperhatikan, tapi perbuatannya tidak mendukung itu. Lingga tidak habis pikir, apa yang gadis itu lakukan selama ini sebenarnya hanya membuang-buang waktu. Seharusnya Dinar paham apa salahnya, dan berintropeksi, bukan justru malah merajuk.

Lingga heran kenapa bisa ia memiliki pacar seperti Dinar ? Kepalanya selalu mempertanyakan itu.

Sebenarnya terkadang ia juga merasa kasihan dengan Dinar yang selalu seperti itu. Tapi, ia tidak punya waktu untuk mengurusinya. Kehidupan masa depannya sudah menunggunya untuk terus dijalani dan diraih, bukannya tersendat hanya karena masalahnya dengan Dinar.

Terkecuali seperti sekarang.

Lingga kenal dengan bau khas tubuh yang bercampur dengan parfum beraroma Glazelle itu. Dengan cepat, ia mengulurkan tangannya menahan lengan seseorang itu. Mata yang sejak tadi sibuk berkutat dengan selembaran kertas beralaskan papan itu, ia torehkan pada keberadaan seseorang itu.

"Mau kemana?"

"Lepas!"

Lingga mengalihkan pandangannya dan menatap gadis itu. "Kenapa chat gue nggak dibales?"

Gadis itu menoleh, membuat tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Tapi detik selanjutnya, gadis itu mengalihkannya. Ia menghentak lengannya, melepas paksa genggaman Lingga yang membuat tatapannya teralihkan.

"Kenapa kalo gue nggak bales, hah?" Ujarnya. "Gue sibuk!"

Gadis itu sudah ingin melangkah, namun Lingga menahannya lagi.

"Apaan sih?! Mau ngapain?!" Gadis itu menatap Lingga melotot. "Lepasin gak?!"

"Kalo orang lagi ngomong itu yang sopan, jangan main tinggal." Ujar Lingga. "Mau sampe kapan kayak gitu?"

Semudah itu mengatakan 'sampai kapan?' Gadis itu menatap kesal. "Setiap gue ngomong aja lo cuman anggep gue debu! Angin! Jadi apa peduli gue?" Ujarnya kesal. "Lagian bukan urusan lo, mau sampe kapan gue gini! Sekarang, lepasin!"

Lingga menatap gadis itu datar, sambil masih menahan lengannya. "Nggak usah kayak anak kecil, Ve." Lingga menatap gadis itu yang terus meminta dilepaskan. "Dari awal itu lo salah. Harusnya lo mikir, bukannya malah manja kayak gini."

Seseorang itu adalah Dinar. Dinar yang menjadi pacar seorang Harlingga Dio Wardana selama dua tahun lebih ini, dan merajuk sudah seminggu ini. Lingga terbiasa memanggilnya Vega. Menurutnya Vega jauh lebih cocok untuknya dibandingkan panggilan Dinar. Ia pun lebih menyukai panggilan itu, dan menggunakannya hingga sekarang.

Dinar sendiri hanya terdiam menatap tidak percaya apa yang Lingga katakan. Dinar pikir, setelah seminggu ini ia merajuk, lalu Lingga yang mengirimnya pesan saat istirahat tadi dan menahannya seperti sekarang ini, Lingga akan meminta maaf padanya. Tapi sekarang, Lingga justru menyalahkannya?

Ya Tuhan!

Rasanya Dinar ingin berteriak! Andai saja tangannya ini mempunyai banyak kuku yang panjang serta tajam, dan andai saja juga ia berani dan bisa melakukannya, pasti akan Dinar lakukan sekarang juga. Hanya saja, ia tidak bisa melakukannya. Di hadapannya adalah Lingga. Seorang Lingga yang merupakan pacarnya. Wajah polos menggemaskannya saat dulu pertama kali bertemu, wajah manisnya saat Lingga tersenyum atau tertawa yang jarang sekali ditunjukkan, serta wajah datar, dingin dan tajamnya yang menjadi kesukaan Dinar membuat Dinar tidak bisa melakukannya.

Intinya Lingga adalah pacarnya! Ia akan lemah jika berhadapan dengan Lingga!

Dinar pun hanya menahan emosinya jika seperti ini.

"Nih,"

Dinae mengernyitkan dahinya bingung, karena dengan tiba-tiba, Lingga memberikannya satu buah permen cuppa

cups rasa strawberry padanya.

"Buat lo." Katanya. Apa-Apaan ini? "Nggak sengaja liat. Jadi gue beli."

Dinar terdiam sejenak, dan ia baru menyadari sesuatu.

Saat tahun baru, ia memang pernah merengek meminta Lingga membelikannya satu buah permen cuppa

cups jika ingin Dinar meminum obatnya, karena ia tidak menyukai sebuah obat. Tapi saat itu Lingga tidak membelikannya. Laki-laki itu justru membelikannya permen vitamin c dengan alasan permen itu lebih bermanfaat dibanding permen keinginannya.

Dan kejadian itu sudah dua bulan berlalu.

Tapi Lingga masih mengingatnya, padahal Dinar sendiri sudah  melupakannya.

Melihat Dinar yang hanya diam, Lingga pun menatapnya jengah. Ia masih ada kesibukan lain setelah ini.

"Gue masih ada kesibukan lain." Ujarnya memberikan permen itu di tangan Dinar yang masih terdiam. "Langsung balik. Nggak usah keluyuran nggak jelas. Besok lo ada ulangan harian Kimia, kan? Belajar, biar nilai lo naik."

Bahkan Lingga perhatian dengan mengingatkannya kapan ulangan hariannya. Meski ia tahu setiap kelas pasti melakukan ulangannya bergantian setiap harinya dan terdengar dari mulut kelas tetangga, tapi Dinar menyukai ini. Meski ia tahu berlebihan, namun perhatian sekecil ini dari Lingga jarang ia rasakan.

Dinar terdiam sesaat melihat Lingga yang perlahan melangkah pergi meninggalkannya. Senyuman lantas mengembang di bibirnya.

"DIOO!!!"

Langkah kaki Lingga terhenti, saat Dinar berteriak keras memanggilnya, dan terdengar menggema di lorong kelas sepuluh. Laki-laki itu lantas menoleh, dan melihat Dinar yang tersenyum lebar menatapnya, dengan tangannya yang membentuk love seperti orang-orang korea.

"LOPE YUUUU!!!" Teriaknya keras. "NANTI GUE BELAJAR YANG RAJIN!!"

Lingga menghela napasnya, dan kembali berbalik. Ia melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan sikap memalukan Dinar yang melakukan itu padanya.

Sementara Dinar semakin melebarkan senyumannya, setelah ia melihat sesuatu yang menggantung di tas Lingga. Bukan sebuah gantungan, tapi Lingga mengalihfungsikannya sebagai gantungan. Tidak apa, selama Lingga masih menyimpannya dan tidak membuangnya. Ia bahagia, walaupun hanya hal kecil seperti ini.

"Harus ganti usenamenya jadi My Beloved lagi!" Serunya. Dinar pun melangkah pergi dengan senyuman kegirangan, sambil memakan permen pemberian Lingga tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status