Share

4. A Bracelet

"Eh buset, itu mata..."

"Masih pagi lagi, itu napas naik-turun."

"Firasat gue nggak enak sih ini, serius."

Calvin, Satria dan Kean memperhatikan Dinar yang baru saja datang bersama dengan Tasya. Mereka bertiga menatap Dinar terkejut sekaligus bingung, lantaran raut wajah Dinar sejak turun dari mobil sudah tidak enak dilihat. Matanya menajam, tangannya mengepal, napasnya menggebu dan langkahnya cepat. Masih terlalu pagi untuk melihat kedatangan Dinar dengan wajah seperti itu. Pasti ada sesuatu yang membuat murka gadis itu.

"Si Cici kenapa, yang?" Kean bertanya saat Tasya sudah didekatnya. Sementara Dinar sudah melangkah duluan melewati keberadaan mereka bertiga.

"Tau tuh. Tau-tau aja gitu dimobil." Tasya menggidikkan bahunya.

Kean menoleh pada Tasya saat gadis itu mengatakan tidak tahu. Tangannya pun menempeleng kepala gadis itu. "Lah, nggak guna amat lo jadi temen? Tuh anak begitu lo ngga tau?"

Tasya menoleh dan menatap tajam karena kepalanya ditempeleng oleh Kean. "Nyari mati lo?" Ujarnya. "Pala gue udah dipitrahin!"

Kean menyengir lebar saat mendapatkan tatapan tajam dari Tasya. "Nyari kamu, iya, hehe.."

Tasya menatap jengah, dan menjauhkan dirinya dari Kean. Sementara Calvin dan Satria yang melihat tingkah mereka itu memutar bola matanya jengah. "Lo berdua yang nggak guna jadi temen."

Calvin melangkah pergi meninggalkan Kean, Satria dan Tasya ditempat untuk mengejar Dinar. Diantara Kean dan Satria, memang hanya Calvin yang paling dekat dengan Dinar. Jadi semisalkan Dinar terjadi sesuatu, Calvin lah yang biasanya lebih dulu tahu dan peduli.

"Ngeri gue."

Kean dan Tasya melirik bingung pada Satria. "Ngeri kenapa lo?"

Satria menatap punggung Calvin yang semakin menjauh. "Ngga tau dah. Ngeri aja gue."

Kean dan Tasya memutar bola matanya jengah. "Si b*go."

*

Hal yang paling Dinar tidak sukai saat ini adalah, ketika barang yang sangat-sangat ia sayangi, dan di simpannya dengan baik-baik kini hilang begitu saja darinya. Dinar mungkin akan memakluminya jika hilangnya benda itu karena kesalahannya sendiri, yang biasanya ia selalu amnesia sesaat ketika menyimpan barang-barangnya dan berujung hilang.

Tapi kali ini berbeda lagi.

Dinar yakin dan ingat betul kalau barangnya yang hilang saat ingin ada razia itu, sempat ia simpan didalam tas. Biasanya memang selalu Dinar bawa atau kenakan kemanapun. Tapi pada saat itu barang itu sedikit rusak, jadi Dinar menaruhnya didalam tasnya. Namun ketika Dinar berniat mengambilnya, Lingga memaksanya untuk ikut dengannya ke ruangan sumpek OSIS dan MPKnya.

Jadi sudah pasti barang itu di razia oleh anak OSIS.

Dan Dinar ingin mengambilnya sekarang juga.

"Woi Nar, mau kemana sih?! Kelas lo kele—"

"Diem lo." Tukas Dinar tajam.

Dinar terus saja melangkah melewati kelasnya, tanpa memperdulikan Calvin yang membuntutinya dibelakang.

"Lo kenapa sih? Masih pagi, lur! Mending ngopi, yuk, ngopi.." Calvin mencoba sebisa mungkin menghentikan Dinar, namun gadis itu tidak menghiraukannya. Emosinya sudah terlihat sekali berada di ubun-ubunnya sekarang. Calvin pun hanya bisa terus mengikutinya dengan kebingungan.

"Gue yang bayarin!"

Tapi Dinar tetap diam dengan tatapan tajam dan menusuk. Siap untuk membunuh siapapun yang menghalaunya.

"Bir deh La, satu!" Tawarnya lagi.

Namun lagi-lagi Dinar hanya diam. Calvin pun menghela napasnya. Calvin tahu kalau ada sesuatu yang membuat seorang Dinnartika Arvega emosi tingkat dewa pagi ini, walaupun ia tidak tahu apa yang membuat gadis itu marah, tapi melihat Dinar yang menatap sangat tajam ke arah ruang OSIS dan MPK membuat Calvin harus memutar otaknya untuk bisa mengalihkan perhatian Dinar, karena ia tidak akan membiarkan Dinar terus-menerus berurusan dengan ruangan itu hanya karena masalah sepele.

"Ci!"

Secara refleks, Calvin menarik paksa lengan Dinar, membuat gadis itu terbawa oleh tarikannya. Dan itu merupakan suatu hal bodoh yang Calvin lakukan disaat seperti ini. Karena sekarang, raut wajah Dinar tidak menunjukkan ekspresi bisa diajak damai.

"Lepasin."

Calvin lantas dengan segera melepaskannya dan menjauhkan dirinya dari Dinar. Ia menyengir bodoh, tapi hanya tatapan datar yang Dinar tunjukkan padanya.

"Ikut gue ke dalem." Katanya. "Lo halangin kalo aja gue mau abisin orang-orang didalem sono."

Dinar menunjuk ke arah ruang OSIS dan MPK yang sudah berjarak tidak jauh dari keberadaan mereka. Calvin mengikuti arah tunjuk gadis itu. Ia meneguk salivanya.

Lagi, Dinar akan terlibat didalam sana.

Keributan hebat akan muncul pagi ini.

•••

Lingga lagi-lagi tidak habis pikir dengan Dinar. Kenapa gadis itu senang sekali membuat keributan di setiap harinya? Tidak bisa memangnya, gadis itu sehari atau bahkan seminggu saja tidak membuat ulah? Dan sekarang, hari ini, gadis itu memulainya lagi.

Masih terlalu pagi untuk membuat keributan seheboh ini dikalangan OSIS. Mereka sampai berlarian mencari keberadaanya yang tadi sedang sibuk belajar matematika karena jam pelajaran pertama nanti ia akan ada ulangan. Baru saja Lingga ingin tenang menikmati belajarnya di tengah kesibukannya sebagai ketua MPK, tapi tiba-tiba saja Hana dan Hafidz datang memanggilnya dan mengatakan kalau Dinar kembali membuat keributan diruang OSIS dan MPK.

Sekali saja rasanya Lingga tidak ingin memperdulikan apa yang dilakukan gadis itu, tapi ia tidak bisa, dan tidak akan ada yang bisa mengatasinya selain dirinya. Jadilah saat ini Lingga melangkah cepat dengan kamus rumus tebal matematika masih dalam genggamannya. Lingga ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah ini.

"Siapa?! Cepet! Kasih tau gue!"

"Mau ngapain sih emangnya lo, Nar?"

"Bukan urusan lo gue mau ngapain! Sekarang kasih tau aja, siapa yang kemarin ngerazia di kelas gue?!"

"Gila lo ya, Nar? Mau lo tuh apa sih? Ini masih pagi, dan lo tau-tau aja nanyain siapa yang razia, tanpa alasan jelas!"

Dinar melirik tajam diantara mereka yang menceletuk mengatakan seperti itu padanya. "Siapa lo yang ngomong? Sini, keluar, nggak usah ngumpet didalem!"

Terdengar suara bising keributan sepanjang langkah Lingga menuju ruang OSIS dan MPK itu. Suara teriakan itu sudah sangat jelas adalah suara Dinar yang berteriak seperti orang gila yang meminta bonekanya dikembalikan. Lingga hanya bisa menghela napasnya lelah mendengarnya.

"Kak Ling, tolong kak, ini..."

Dinar menoleh cepat saat mendengar decitan pintu dibuka terdengar. Itu adalah Lingga yang masuk dengan kacamata bulatnya, dan buku tebal seperti kamus berada digenggamannya. Dinar menatap sesaat Lingga yang berdiri diambang pintu itu, yang juga berbalik menatapnya dengan datar.

Dinar pun menyisir kasar rambut lurus ya yang tidak berponi itu ke belakang. Dengan sebelah tangan ia kacak pinggangkan, dan deru nafas yang perlahan mencoba dinetral kan.

"Sekali aja lo nggak bikin keributan, bisa?"

Ucapan yang keluar dari mulut Lingga bagaikan sihir. Karena sekarang ruangan menjadi hening. Beberapa orang dari mereka ada yang memilih keluar karena sudah bosan menyaksikan tontonan saat ini.

"Mau lo tuh ap—"

"Gue cuman mau gelang gue balik!Udah, itu aja!" Tiba-tiba saja mata Dinar memanas, ingin menangis. Kenapa semua orang tidak mengerti betapa berharganya gelang itu baginya?

"Gelang? Gelang doang?!" Celetuk salah satu dari mereka yang bersembunyi diantara anak OSIS. Terdengar dari pojok ruangan.

Dinar lantas menoleh dan mencari keberadaan seseorang itu dengan menatapnya tajam. "Siapa tadi yang ngomong?! Sini lo, keluar!"

Dinar siap melangkah mencari, namun Lingga lebih dulu menghalaunya. Tangannya pun mengibaskan pada seisi ruangan, mengisyaratkan mereka semua agar keluar dari dalam ruangan. Persoalan Dinar biar saja ia yang mengurusinya. Semuanya lantas melangkah keluar, menuruti perintah Lingga. Begitu juga dengan Calvin yang sejak tadi memperhatikan, kini melangkah keluar. Calvin tahu jika Dinar sudah bersama Lingga, semua permasalahan yang dilakukan gadis itu biasanya akan cepat selesai. Ruangan pun menjadi kosong, dan hanya menyisakan mereka berdua didalam ruangan.

"Terus kenapa lo nangis?"

Dinar yang menangis itu membentak kesal. "Gue nggak mau gelang itu ilang!" Sentaknya. "Lo nggak tau kan, selama ini gue masih nyimpen itu gelang? Walaupun udah hampir rusak sekalipun?!"

Lingga menghela napasnya panjang mendengarnya. Lagi, seorang Dinar kembali membuang-buang waktunya hanya karena masalah sepelenya.

"Nggak usah berlebihan. Cuman karena gelang doang lo kayak orang gila." Ujarnya. "Lo masih bisa beli yang baru."

Dinar menatap kesal saat Lingga mengatakan semudah itu. Namun emosinya ter-urungkan, ketika melihat Lingga melangkah menuju meja terdekat, lalu menaruh buku tebal miliknya itu disana. Dinar memperhatikan yang dilakukan laki-laki itu dalam diam. Hingga Lingga berbalik dan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Dinar cukup terkejut, karena melihat gelangnya berada di Lingga. Bahkan, gelang yang sempat terputus talinya, kini sudah tersambung lagi. Sepertinya Lingga yang memperbaikinya. Tapi, apa mungkin ditengah kesibukannya itu?

"Dengerin gue." Lingga menatap Dinar dengan serius saat gadis itu ingin mengambil gelang tersebut. Tangan Lingga menepisnya pelan. "Lo itu cewek, Ve. Jadi coba, berhenti ngelakuin hal yang diluar nalar cewek seharusnya? Nggak usah nyari keributan nggak jelas. Apalagi sampe ngelanggar aturan." Ujarnya membuat Dinar diam. "Dari pada buang-buang waktu, mending lo belajar. Belajar yang rajin, biar nilai lo naik. Pikirin apa yang bakalan lo lakuin setelah lulus nanti, masa depan lo. Lo itu udah kelas tiga, dan poin lo itu udah banyak. Emangnya lo pikir, dengan semua kelakuan lo kayak gini sekarang, bisa bikin lo lulus dengan nilai bagus? Enggak, Ve. Dan nggak selamanya juga, sekolah bakalan tolerir sikap lo walaupun Almh. Papah lo ada campur tangan di sekolah ini. Ini itu sekolahan, Ve. Tempat buat belajar, bukan tempat buat lo seenaknya."

Dinar menatap tidak percaya pada Lingga yang mengatakan hal seperti itu padanya. Disaat dirinya sedang dikelilingi berbagai emosi jiwa, kini Lingga menambahkannya. Rasanya sekarang, Dinae ingin memakan hidup-hidup siapapun. Dinar kesal!

"Gue ngomong gini karena gue peduli sama lo. Peduli sama masa depan lo. Gue nggak mau lo nyesel nantinya."

Dinar hanya diam menatap Lingga. Ia tidak tahu harus mengatakan dan berbuat apa selain diam saat ini. Perkataan Lingga cukup membuat tenaga yang ia kumpulkan selama didalam mobil untuk dilampiaskan karena permasalahan ini, tiba-tiba saja menghilang. Rasanya ia menjadi lelah melakukannya. Buliran pun perlahan menetes dari pelupuk matanya. Kenapa rasanya semua orang selau menyalahkannya? Tidak pernah ada yang membelanya sama sekali.

"Nggak usah cengeng. Lo bukan anak kecil."

Lingga mengusap air mata Dinar yang menggenang dan sudah menetes membasahi pipinya. Dinar pun terpaku tidak percaya dengan apa yang Lingga lakukan. Akhir-akhir ini, hubungannya dengan Lingga terasa berbeda. Seperti saat ini, perbedaan itu kembali terjadi. Lingga yang biasanya jarang sekali melakukan hal manis seperti ini, tapi sekarang di sela-sela perdebatan, pasti terselip perlakuan manis darinya.

Dinar pun hanya diam menatap wajah Lingga yang sangat dekat saat ini dengannya. Jika diperhatikan dari dekat seperti ini, Lingga terlihat manis, dan lembut. Meski wajahnya selalu menampilkan keseriusan dan dingin, tapi sebenarnya jika diperhatikan seperti ini Lingga tidak begitu.

"Sekarang masuk ke kelas. Nggak usah nyari keributan lagi."

••

"Rasa apa?"

"Strawberry, toppingnya cocochips."

Dinar tidak henti-hentinya tersenyum sejak diperjalanan tadi menuju taman, sore ini. Bahkan, senyumannya semakin melebar ketika mereka berdua telah sampai disini. Dinar dan Lingga.

Iya, sore ini, setelah sekian lamanya, Dinar dan Lingga kembali jalan bersama dengan normal layaknya orang pacaran. Entah sudah berapa lama, setelah terakhir kali Lingga mengajak Dinar pergi ke kafe tempatnya bekerja saat itu.

Dan sekarang adalah kesempatannya.

Setelah tadi selama dijalan pulang Dinar merengek terus-menerus mengajak Lingga jalan tapi laki-laki itu selalu menolaknya dengan alasan sibuk. Namun setelah Dinar beralibi kalau dirinya ingin sekalian membeli obat didekat taman ini, Lingga langsung menyetujuinya. Entahlah ada apa dengannya, tapi Dinar benar-benar bahagia.

"Thank you, beb!" Seru Dinar tersenyum lebar setelah Ice creamnya sudah jadi dan diberikan padanya.

Lingga hanya diam—berekspresi datar seperti biasanya, tanpa ada senyuman tipis atau lainnya.

"Langsung pulang. Nggak pake mampir-mampir ke Starbucks."

Yang Lingga tahu, Dinar hanya meminta diantarkan membeli obatnya, tanpa ada pergi-pergi kesana kemari seperti saat ini. Jadi ia meminta gadis itu untuk segera pulang. Namun Dinar hanya asik memakan ice cream nya sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang disekitar taman. Lingga menghela napasnya melihatnya.

"Vega,"

"Iya, iya, bawel banget sih." Dinar bangkit dari duduknya lalu melangkah sambil memakan ice cream-nya, meninggalkan Lingga dibelakang.

Lagi-lagi Lingga hanya bisa menghela napasnya. Dirinya kini rasanya bukan bisa disebut sebagai seorang pacar, melainkan seorang ayah yang menemani anaknya bermain di taman.

Tapi Dinar menghentikan langkahnya karena Lingga tertinggal cukup jauh di belakangnya. "Yo, jalannya cepet, jangan dibelakang gitu, ih. Udah kayak bodyguard tau nggak lo." Gemas Dinar mendekati Lingga dan menarik lengannya lalu menggandengnya.

Lingga hanya diam mengikuti, sementara Dinar terus menggenggam tangannya, bahkan bergelayut, sambil sesekali menyandarkan kepalanya pada bahu Lingga yang tingginya tidak terlalu jauh dengannya. Mereka melangkah beriringan. Saling diam dengan pikirannya masing-masing. Mata mereka hanya menatap jalanan taman yang cukup ramai, sambil memakan ice cream nya.

"Yo, lo tau nggak?"

Lingga mendengarnya, namun ia hanya diam. Menyadari Lingga hanya diam, Dinar kembali berbicara.

"Dari banyaknya kejadian dihidup gue, kalo gue pilih, gue sih lebih bahagia bisa ketemu sama lo, terus jadi pacar lo." Dinar mengeratkan gandengan tangannya pada Lingga. "Walaupun gue tau lo itu nyebelin banget, cuek, dan kita sering berantem, tapi gue seneng. Gue bahagia bisa sama lo, serius."

Lingga hanya diam. Ia sudah sering mendengar pengakuan dari Dinar seperti ini, yang selalu mengatakan kalau gadis itu bahagia dengannya, meski hubungan mereka terlihat atau bahkan memang tidak baik-baik saja.

"Yoo..."

"Hm."

Dinar kembali mengeratkan pegangan tangannya. "Jangan tinggalin gue, ya?"

Lingga hanya diam. Ia jelas hanya diam setiap kali Dinar juga menanyakan hal yang sama, tanpa bosannya. Lagi pula, tanpa perlu ia menjawab pun, Dinar harusnya sudah tahu kalau ia masih disini bersamanya. Menjalani hubungan mereka yang bisa dikatakan rumit. Tapi ia juga tidak tahu apa hubungannya akan terus berjalan, mengingat sebentar lagi ujian sudah dekat. Mereka telah sampai diakhir SMA, dimana masa-masa bermain sudah cukup baginya dan masa depan sudah tidak jauh lagi untuk diejar. Lingga sendiri tidak mungkin menyia-nyiakan waktunya hanya untuk hal seperti ini.

Dinar pun menghela napasnya panjang. Ia sudah tahu kalau Lingga pasti akan diam jika ditanyakan seperti itu. Sebenarnya Dinar sedih setiap kali menanyakan hal ini, tapi terkadang ketakutannya selalu memuncak dan meminta jawaban. Namun selalu berakhir seperti ini.

"Pulang yuk." Dinar menengadah, menatap Lingga yang menoleh menatapnya. Senyuman lantas mengembang dibibir Dinar, dan itu membuat Lingga menatap heran.

"Ini gimana sih, makan aja kok berantakan kayak anak kecil lo." Tangan Dinar terulur membersihkan sisa ice cream yang menempel di ujung bibir Lingga sambil terkekeh.

"Udah yuk, pulang. Besok kerja 'kan lo?"

Dinar tersenyum. Ia beralih menggenggam tangan Lingga dan menariknya untuk pulang.

Lingga hanya bisa tersenyum tipis melihat perlakuan Dinar. Rasanya tersentuh, setiap kali Dinar bersikap seperti ini. Dinar yang lembut dan penurut. Jika seperti ini, rasanya ia selalu tidak tega melakukan perlakuan seperti itu padanya. Rasanya ia selalu harus merasa bersyukur bisa bertemu dengan Dinar, dan telah menjadi pacarnya selama dua tahun ini. Meski hubungan mereka tidak baik-baik saja, namun rasanya hidupnya lebih baik dari sebelumnya. Tapi jika mengingat waktu, semua ini membuang-buang waktu. Seharusnya ia memfokuskan diri untuk masa yang akan datang, bukan menyia-nyiakannya seperti ini. Ia tidak bisa terus seperti ini.

••

"Yo! Ada pasar kaget!"

Dinar melebarkan matanya ketika melihat ada pasar ditengah lapangan yang tidak jauh dari dirinya dan Lingga berada. Senyuman menggembang dibibirnya. Ia jarang sekali melihat pasar di Jakarta, terutama daerahnya tinggal, karena ia biasa melihatnya saat masih tinggal di Bandung.

"Pasar malem." Lingga me-ralat perkataan Dinar. Tapi Dinar tidak peduli dan memilih melangkah pelan melihat keramaian pasar malam seperti yang dikatakan Lingga itu.

Lingga pun hanya membuntuti  dengan perlahan dibelakang Dinar.

"Yo, kesana yuk!" Dinar menoleh sambil tersenyum lebar pada Lingga yang berada dibelakangnya. Dinar menatapnya meminta untuk mengajak laki-laki itu pergi kesana. Namun laki-laki itu hanya menatapnya dengan datar.

"Udah jam sembilan. Mau pulang jam berapa lo nanti?"

"Sebentaaaar, doang, ya?" Dinar mengedipkan matanya berkali-kali sambil menggengam kedua tangannya dibawah dagunya, memohon pada Lingga.

Lingga pun menghela napasnya melihatnya. Gadis itu selalu saja ingin dituruti. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan, sedangkan apartemen Dinar cukup jauh dari rumahnya. Namun melihat Dinar seperti itu, akhirnya ia mengangguk mengiyakan. Dinar lantas tersenyum lebar, lalu melangkah lebih dulu menuju keramaian pasar. Disana matanya melirik setiap penjual dan tempat bermain yang ada, sampai akhirnya matanya tertuju pada salah satu tempat yang menarik perhatiannya.

"Yo, Liat! Boneka nya lucu!" Seru Dinar ketika melihat boneka-boneka lucu disana. Tapi Lingga hanya menatapnya datar, tidak tertarik.

"Liat yo, sumpah! Pororo nya mirip banget sama lo!" Dinar tertawa karena melihat sebuah boneka pororo yang biasa selalu ia samakan dengan Lingga itu. "Lo tinggal pake topi, udah mirip banget sama ini! Haha."

Dinar tidak hentinya menggembangkan senyumannya selama di pasar malam itu. Mereka pun kembali berkeliling, melihat-lihat tanpa berniat membeli.

"Ih, yo, itu ap oh, lollipop."

Lingga menoleh ke arah yang dimaksud gadis itu. Dan ia menemukan ada penjual berbagai macam warna dan bentuk permen lollipop di sana.

"Kenapa?"

"Hah? Kenapa apanya?"

"Lolipop."

"Oh, gapapa. Tadi gue kirain apaan."

Lingga melirik saat Dinar mengatakan tidak apa. "Biasanya cewek suka sama begituan."

Dinar menghentikan langkahnya dan menoleh pada Lingga saat mendengarnya. Matanya menatap tajam.

"Lo sering merhatiin cewek lain?!" Dinar tidak suka saat Lingga mengatakan itu. Laki-laki itu seolah memperhatikan orang lain dibandingkan dirinya. Terbukti dari Lingga yang tidak tahu kalau ia tidak menyukai lollipop. Lingga memutar bola matanya jengah mendengarnya.

"Udah jadi hal umum, kalo cewek suka sama lollipop. Suka sama yang manis."

Dinar mengerucutkan bibirnya kesal. Ia tidak percaya dengan yang laki-laki itu katakan. Lingga pasti mencari alasan lain. Dinar tahu, Lingga pasti sering memperhatikan Shakila yang terkadang di waktu tertentu pasti sedang memakan permen Lollipop.

"Itu sama aja lo merhatiin cewek-cewek di luaran sana." Kesal Dinar menarik lengan Lingga. "Giliran gue aja, mana pernah lo perhatiin."

Lingga memasukan sebelah tangannya ke dalam saku celananya tanpa menghiraukan kekesalan gadis itu. "Kenapa lo nggak suka Lollipop?"

"Lo beneran nggak tau kalo gue nggak suka lolipop, yo?" Ujar Dinar terkejut dan kesal. Lingga benar-benar tidak mengetahui apa yang tidak disukai ya dan yang disukai ya. Padahal ia sendiri tahu semua tentang Lingga.

"Terlalu manis, bikin gue sakit." Ujar Dinar kembali bersuara dengan wajah kesal. "Cukup lo aja yang manis dan bikin gue sering sakit. Jadi gue nggak mau nambah lagi."

Lingga terdiam. Apa yang dikatakan Dinar baru saja seolah ia orang yang sangat jahat, sementara Dinar seperti orang yang tersakiti. Padahal ia tidak merasa seperti itu. Lingga sudah sebiasa mungkin melakukan apa yang sewajarnya. Dan setiap kali apa yang gadis itu inginkan terkadang Lingga iyakan, menurutnya. Jadi, apa yang salah?

"Yo."

Lingga tersadar dari lamunannya. Matanya melirik Dinar sekilas, dan mengikuti arah pandangan matanya saat ini. Sebuah penjual pernak-pernik.

"Gelangnya lucu..." Dinar berujar gemas karena melihat penjual berbagai macam pernak-pernik. Dinar pun melangkah lebih dulu meninggalkan Lingga ditempat.

Lingga hanya bisa menghela napasnya melihatnya. Ujungnya kembali mampir, padahal jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Yo, mau ini." Ujarnya. Senyumannya merekah. "Beli ini, yuk. Kita couple." Dinar menunjukkan dua buah gelang lucu untuk mereka berdua. Namun Lingga menggeleng.

"Buat apaan? Di sekolah nggak boleh pake gelang. Nggak usah aneh-aneh."

Dinar menatap Lingga kesal saat laki-laki itu menolaknya. "Buat tanda hubungan kita, yo." Ujarnya. "Dua tahun pacaran kita nggak pernah punya apa-apa."

Lingga terus menggeleng. "Nggak pake tanda begituan, orang-orang juga udah tau dari cara gandeng lo kayak gini."

Dinar mendecak sebal mendengarnya. "Coba sekali aja sih, lo nurutin apa mau gue? Lo setiap gue ajak beli barang couple nggak pernah mau!"

"Ya buat apa? Ujung-ujungnya juga cuman jadi sampah, nggak ke pake. Mending duitnya lo simpen."

Dinar semakin kesal. "Ini gelang cuman sepuluh ribu dua, yo, astaga. Bukan ratusan!"

Lingga tetap menggeleng tidak mau, dan mengambil dua gelang yang di pegang Dinar lalu menaruhnya kembali "Pulang. Udah malem."

Namun Dinar tetaplah Dinar. Ia pun menahan lengan Lingga yang ingin melangkah. Sebelah tangannya, mengambil gelang itu dan memakaikannya di lengan Lingga. Lingga hanya memperhatikan kegiatan yang dilakukan Dinar dalam diam. Ia terdiam sesaat, sampai akhirnya ia mengambil alih gelang itu dan menghela napasnya.

"Biar gue yang pilihin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status