Share

2. Feeling Worries

Tidak ada hari bagi seorang Lingga tanpa adanya sebuah kesibukan.

Seorang Lingga selalu disibukkan dengan banyak hal. Dimulai dari kesibukannya sebagai ketua MPK, kesibukannya untuk selalu menyempatkan diri membaca buku yang sudah ditambahkan ke dalam daftar bacaannya, waktunya untuk belajar saat malam hari, atau juga kesibukannya meluangkan waktu untuk membantu Bunda diwarung sembako yang sudah menghidupi keluarganya selama sepuluh tahun terakhir ini.

Intinya, Lingga itu sibuk. Benar-benar sibuk. Tidak ada kata untuk membuang-buang waktu dikesempatan mudanya, karena masa depan sudah didepan mata saat ini. Bahkan karena sibuknya, terkadang ia sampai lupa untuk makan atau melakukan kegiatan sehari-hari lainnya seperti sekedar untuk bersantai atau beristirahat sebentar.

Apalagi jika sekedar untuk meladeni Dinar seperti sekarang ini.

Sudah hampir sekitar lima belas menit, gadis itu mengganggunya sejak bel istirahat berbunyi.

Lalu, apa Lingga akan meresponnya?

Jawabannya, tidak.

Kenapa Lingga mengatakan tidak? Itu karena selain ia terlalu sibuk, dan ia tidak peduli jika itu adalah Dinar, karena jika Lingga meresponnya, gadis itu akan besar kepala. Dia akan semakin menjadi jika Lingga merespon nantinya. Sekali Lingga meresponnya, Dinar akan terus meminta responan lebih seperti sekarang. Lingga menyesal karena tiga hari lalu ingin meresponnya saat razia itu.

Akan selalu ada Dinar yang datang menghampiri setiap hari untuk menganggunya.

"Jangan deket-deket yo, nanti mata lo nambah minusnya."

Seperti saat ini. Nama 'Dio' yang biasa dipakai saat di rumah juga digunakan Dinar untuk memanggilnya. Namun Lingga hanya diam. Dan ketika tidak ada responan darinya, Dinar biasanya akan mencari perhatiannya dengan cara lain. Cara apapun. Seperti sekarang ini, telunjuknya menjauhkan wajahnya karena kepala Lingga semakin lama semakin dekat dengan layar laptopnya. Lingga pun hanya menurut, tanpa membantah ataupun mengatakan apapun.

"Kacamata lo kemana emang?"

Lingga hanya diam tidak menjawab. Tugas laporannya saat ini harus dikerjakan dengan cepat dan selesai hari ini. Dan Dinar yang melihat Lingga tidak menjawabnya itu lantas bangkit dari duduknya yang tepat berada berhadapan dengan laki-laki itu. Hanya dibatasi oleh meja dan laptop serta beberapa lembar kertas dan buku. Tangannya pun terulur pada tas Lingga, ingin mengambil apa yang ia tanyakan tadi pada pacarnya itu.

"Ketinggalan."

Dinar menghentikan pergerakannya saat Lingga mengatakan itu. Iapun menghela napasnya dan kembali duduk.

"Hampir setengah jam loh yo, gue nungguin lo ngomong, sepatah kata." Kata Dinar geram. "Tapi lo cuman ngerespon gue kayak tadi?"

Dinar diam menatap Lingga yang masih setia memperhatikan layar laptopnya. Ia menunggu kata lain yang akan keluar dari mulut pacarnya itu. Apapun. Tapi cukup lama ia menunggu, Lingga tidak juga mengatakan apapun lagi. Laki-laki itu seolah tidak menganggap keberadaannya dihadapannya saat ini. Dinar menjadi geram. Lebih baik ia mendengar omelan laki-laki itu atau mungkin berdebat dengannya seharian, dibandingkan harus berdiam diri memperhatikannya menyelesaikan kesibukannya seperti ini.

Selain membosankan, ini membuatnya muak.

"Astaga, yo!"

Bentakannya bahkan tidak membuat Lingga menoleh padanya. Dinar pun menghela napasnya kesal. Lagi-lagi ia harus seperti ini. Dinar harus bisa bersabar dengan sikap Lingga setiap kali ia ingin mengajaknya pergi kemana pun. Laki-laki itu selalu menolaknya dengan alasan sibuk, atau tidak menanggapi ajakannya. Dinar tau Lingga memang sibuk dengan organisasi bodohnya itu, tapi apa sesibuk itunya, sampai hampir dua tahun ini mereka berpacaran, bisa terhitung dengan jari berapa kali mereka jalan bersama?

"Yo, lo tuh kenapa sih, selalu aneh tiap kali ngelakuin hal manis layaknya orang pacaran ke gue?!" Dinar mengatakan dengan kesal. Matanya menatap tidak mengerti bagaimana pemikiran seorang Lingga. Ia benar-benar kesal dengannya yang selalu seperti itu. Setiap kali melakukan perlakuan manis yang dilakukan oleh laki-laki itu, pasti esoknya dan hingga hari-hari selanjutnya pacarnya itu menjadi seperti amnesia dadakan— melupakan semua kejadian itu, seolah kejadian itu tidak pernah dilakukan olehnya padanya. Entahlah. Dinar benar-benar tidak habis pikir dengan pacarnya itu.

"Yo! Gue lagi ngomong sama lo, ih!"

Lingga baru meliriknya dengan tajam saat Dinar berteriak dengan keras, membuat beberapa anak OSIS dan MPK yang sama sibuknya dengan Lingga didalam ruangan ini menoleh terganggu. Dinar saat ini memang sedang berada diruangan O/M, dan sudah berkali-kali pula Lingga mengusirnya, tetapi Dinar tidak mau. Niatnya datang kemari, terus menempel pada Lingga saat ini, karena ingin mengajaknya pergi keluar nanti. Tapi pacarnya itu tidak menanggapinya, bahkan justru mengusirnya.

"Kalo lo mau teriak-teriak, keluar sekarang." Ujarnya dingin. Wajahnya datar, namun tatapannya tajam. Dan lagi, ini yang kesekian kalinya Lingga mengusirnya.

"Enggak!" Dinar bersikukuh. Ia enggan pergi sebelum keinginannya dipenuhi.

"Keluar, sekarang."

"Enggak."

Lingga mulai menatap Dinar dengan tajam. Mungkin jika orang lain yang melihatnya akan takut dengan wajah datar dan tatapan maut seorang Harlingga. Tapi itu tidak berlaku untuk Dinar. Dinae tidak takut sama sekali dengan tatapan pacarnya itu. Ia justru akan dengan senang hati menantangnya. Meski terkadang menyebalkan, tapi ia menyukainya.

"Keluar, atau lo gue tarik keluar."

Bahkan diusir olehnya seperti ini, Dinar hanya menatapnya dengan santai, tanpa peduli peringatan laki-laki itu. Ia bahkan justru menantangnya. Lingga pun masih terus menatapnya menunggu, tapi seorang Dinar tidak mempedulikan itu. Dinar tetaplah Dinar. Ia tetap kekeuh tidak ingin keluar. Ia tidak takut dengan Lingga. Ralat. Bukan hanya dengan Lingga saja, melainkan dengan siapapun. Kecuali dengan Tuhan, tentunya.

"Bodoamat, gue nggak mau." Dinar mengalihkan pandangannya. Matanya memilih bermain menatap sekeliling ruangan, sementara Lingga semakin geram karenanya.

"Satu."

Lingga mulai menghitung. Laki-laki itu sudah geram dengan sikap Dinar hari ini. Matanya pun terus menatap wajah gadis itu dengan datar, menunggunya segera pergi sebelum ia benar-benar akan menariknya keluar. Tapi Dinar yang sempat mengalihkan pandangannya itu justru hanya terdiam, menatapnya seolah tidak peduli dengan usirannya.

"Itung aja sampe—"

"Dua."

"Tiga." Dinar ikut menghitung dan hanya menatap Lingga tanpa takut. Bukannya pergi, gadis itu justru menantangnya.

Akhirnya, karena melihat Dinar yang tidak kunjung ingin pergi juga, Lingga pun bangkit dari duduknya karena sudah geram. Gadisnya itu rasanya sangat ingin ia musnahkan jika dalam keadaan seperti sekarang ini. Sifatnya yang susah diatur membuatnya benar-benar kesal.

Dinar pun ikut menatap Lingga dengan kesal. "Gue itu cuman pengin ngajak lo jalan balik sekolah nanti, yo! Tapi kenapa susah banget sih?!" Gerutunya menatap Lingga yang saat ini berdiri dihadapannya. Ia juga kesal lantaran sudah hampir setengah jam berlalu, tapi Lingga enggan mengiyakan ajakannya. Jangankan mengiyakan, menjawab saja tidak.

"Nggak liat kalo gue sibuk?"

Dinar menatap Lingga semakin kesal. Lagi, lagi dan lagi laki-laki itu selalu menjawabnya dengan kata yang sama, berulang, seperti saat pertama kalinya Dinar mengajaknya pergi jalan.

Apa tidak ada kata lain selain itu?

Dinar berdecak. "Kalo gitu, gue nggak mau keluar."

Dinar melipat kedua tangannya didadanya dan mengalihkan pandangannya pada sisi lain. Ia tetap tidak akan pergi, tidak peduli laki-laki dihadapannya ini mengusirnya terus-menerus. Ia akan tetap disini, sampai laki-laki itu mengiyakan ajakannya, meskipun sampai bel masuk ataupun pulang sekolah. Lingga sendiri masih diam menatap gadisnya itu sama. Datar. Meski begitu, sebenarnya ia geram dengan sikap Dinar. Ia tidak habis pikir dengan sifat kepala batu Dinar yang tidak pernah berubah. Akhirnya, karena ia sibuk dan tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusinya, jadi ia harus menyelesaikan Dinar sekarang juga.

"Ling gimana, udah belum?"

Suara seorang gadis tiba-tiba saja terdengar menyebut nama Lingga dari arah luar. Pergerakan Lingga yang sudah siap ingin menarik Dinar keluar ruangan pun dihentikan. Kepalanya lantas menoleh dan melihat keberadaan seorang gadis berambut pendek sebahu berada diambang pintu, menatap keberadaan mereka berdua dengan jengah.

"Oh, pantesan lama. Jadi ada biang onar?"

Mendengar kata biang onar seolah mengaju padanya, Dinar lantas membalikkan tubuhnya menghadap pada gadis diambang pintu itu. Gadis berwajah kalem dan terlihat polos, tapi nyatanya tidak begitu. Wajahnya hanya tipu daya. Ya, dia adalah Maya. Salah satu anak OSIS ternama— tidak, tidak. Mayaadalah ketua OSIS yang sudah lama menjadi musuh bebuyutan Dinar pertama setelah anak buahnya di organisasi konyol itu.

Mata si ketua OSIS itu menatapnya tidak suka karena keberadaannya didalam ruangan ini, karena memang tidak ada yang bisa masuk sesukanya kecuali seorang Dinar. Dinar pun menatapnya dengan santai, karena Maya bukanlah apa-apa baginya.

"Itu biar gue yang lanjutin," Kata Maya pada Lingga, tanpa melepas pandangannya dari Dinar. Terlihat dari tatapan matanya, kalau gadis itu sangat membenci Dinar. "lo ke ruang guru aja. Pak Gibran manggil lo."

Tanpa menolak ataupun mempedulikan lagi keberadaan Dinar, Lingga langsung merapihkan barangnya diatas meja, bersiap menuju ruang guru memenuhi panggilan pak Gibran.

"Udah gue edit beberapa," kata Lingga merapihkan beberapa lembar kertas dan ia bawa. "gue tinggal."

Lingga melangkah pergi begitu saja tanpa mempedulikan Dinar yang menatapnya sebal saat ini. Pers*tan dengan Lingga. Jam istirahatnya menjadi terbuang sia-sia lagi hanya karena sulitnya mengajak seorang Harlingga Dio Wardana untuk pergi jalan pulang sekolah nanti. Rasanya ia seperti mengajak pergi seorang artis papan atas yang sangat sibuk. Padahal yang diajaknya hanyalah seorang Lingga. Pacarnya sendiri.

"Dio br*ngs*k!" Geram Dinar mengumpat. Tangannya mengepal menatap kepergian Lingga.

"Ngomong kasar, lima poin."

Dinar menghela napasnya malas. Ia melupakan keberadaan musuh bebuyutannya dikalangan anak OSIS sedang berada didepannya saat ini yang menatapnya dengan tatapan angkuhnya.

"Terus, gue peduli?"

Maya menatap kesal saat Dinar mengatakan itu padanya. Gadis badung dan biang onar ini memang tidak pernah absen untuk tidak membuat masalah, seolah setiap masalah adalah makanan kesehariannya. Lantaran sudah sangat jengah, tangannya terulur mengambil kertas poin siswa dimeja yang digunakan Lingga tadi. Tidak lupa dengan bolpoinnya, tangannya lalu menyodorkan benda itu pada gadis biang onar itu.

"Tanda tangan."

Dinar menaikkan alisnya remeh, karena melihat apa yang dilakukan Maya saat ini padanya. Menyodorkan catatan kesiswaan? Yang lain bahkan tidak ada yang berani melakukan itu padanya, terkecuali dihadapannya ini, memang. Dinar pun tertawa meledek.

"Sori, tanda tangan gue mah—"

"Nggak usah bangkang!" Maya menarik lengan Dinar paksa, menyuruhnya untuk mengambil kertas serta bolpoin itu lalu menandatanganinya, dan itu membuat Dinar terkejut dengan perlakuan Maya yang telah berani melakukan hal ini padanya.

Selama kurang lebih gadis itu menjadi anggota OSIS bahkan menjadi ketua ditahun kedua, Dinar masih tidak menanggapi bagaimana ketidaksukaan gadis itu padanya, karena adanya keberadaan Lingga dan Calvin yang selalu menentangnya untuk melawan Maya. Tapi kali ini tidak lagi. Ia sudah benar-benar geram.

"Gue tanya, siapa yang bangkang disini?"

Dinar maju selangkah mendekati gadis itu. Matanya menatap tajam, tanpa berkedip sedikitpun. Apa yang dilakukan gadis itu baru saja pada Dinar membuatnya geram, dan sudah cukup ia menahan emosinya sejauh ini. Dia pikir siapa, berani melakukan hal tadi padanya? Tidak pandang bulu, walaupun Maya adalah ketua OSIS ataupun murid kesayangan Pak Dude. Dinar akan membotakkan rambut Maya sekarang juga jika ia mau karena gadis itu sudah berani padanya. Dinar tidak takut dengan siapapun.

"Nggak usah sok jagoan. Lo itu murid, bukan preman pasar." Maya ikut melangkah maju tidak merasa takut. Bahkan apa yang baru saja dikatakannya ditekankan seolah semakin menantangnya.

Dinar pun tertawa melihatnya. Gadis seperti Maya ingin bermain-main dengannya? Akan Dinar lakukan. Ikuti bagaimana cara bermainnya dulu saat ini.

"Gue nggak pernah ngerasa jadi sok jagoan." Ujar Dinar. "Gue cuman nggak suka kalo kebebasan gue dan hak gue, itu ditentang."

Maya tertawa mendengar Dinar yang mengatakan seperti itu. "Lo mau bebas? Hidup dihutan sana, hutan A****n." Ujarnya tidak habis pikir dengan Dinar. "Setiap orang itu harusnya sadar kalo hidup itu ada batasan. Bukan cuman soal hak sama kebebasan."

Dinar tertawa mendengarnya. "Sadar?" Ujar Dinar. "Setiap orang pasti sadar sama apa yang dilakuinnya, tapi semua itu tetep cuman diri sendiri yang bisa ngatur, bukan orang lain."

"Tapi hidup itu saling membutuhkan. Gunanya ada manusia lain didunia itu buat saling ngebantu. Jadi tugas gue disini sebagai bagian dari OSIS, ngebantu dan nuntun lo supaya lo ngerti aturan." Ujarnya. "Hidup itu bukan cuman soal Bebas."

BRAKK!

"Kalo gitu lo atur gue sekarang." Ujar Dinar cepat, setelah ia menggebrak meja ruangan ini. "Atur batasan yang kata lo orang lain bisa bantu ngatur supaya tau batasan! Bisa?"

Maya terdiam menatap Dinar. Tatapan mereka sama-sama tajam, tidak ingin kalah satu sama lain. Tangan Maya lantas kembali menyodorkan secarik kertas serta bolpoin itu pada Dinar.

"Lagi gue lakuin." Ujarnya. "Dengan ini harusnya lo sadar, dan ngerti kalau ngelebihin batas itu nggak ada gunanya buat—"

PLAK!

Dinar menampar keras wajah Maya saat gadis itu mengatakan segala kebenarannya menurut gadis itu. Tangan Dinar sudah gatal sejak tadi menahan semuanya.

"Liat?" Ujar Dinar. "Lo aja bahkan nggak bisa ngatur batesan yang lo maksud bisa ngebantu gue. Batesan kesabaran gue, buktinya nggak bisa lo atur."

Maya hanya diam, menyentuh pipi kanannya yang terasa panas dan memerah karena tamparan Dinar. Kemudian senyuman pun terukir dibibir Dinar.

"Udah gue bilang. Batasan dalam hidup orang itu cuman diri sendiri yang bisa ngatur. Sementara lo, anak OSIS lo, orang lain? Nggak bisa."

Maya terdiam menatap Dinar dengan tatapan menyalang marah. "LO—"

PLAK!

"Sekarang, belum pernah gue bikin mimisan kan, hidung lo?" Dinar menyeringai, mendorong tubuh Maya dengan keras hingga membentur meja. "Coba atur batasan hidup gue sekarang, kalo lo bisa."

•••

Biasanya, hal pertama yang paling Dinar benci adalah; kedua orang tuanya, lalu kedua adalah sebuah obat. Obat apapun itu, mau dalam bentuk pil, atau cair sekalipun. Ketiga adalah ketika ia menangis. Keempat karena keberadaan kedua temannya dan juga The Dude, ketiga teman laki-lakinya yang terkadang membuatnya muak, dan terakhir adalah baru seorang Harlingga Dio Wardana.

Beberapa kali laki-laki itu memang sempat menempati posisi pertama di list yang dibencinya pada saat itu. Seperti pada saat-saat dimana Lingga berdekatan dengan adik kelas sepuluh bernama Shakila. Saat-saat Lingga berani tidak mengabari apapun pada Dinar selama hampir dua minggu penuh hanya karena ujian akhir tiba. Saat-saat Lingga melupakan aniversary setiap bulan bahkan tahun mereka. Dan juga saat-saat Lingga sangat sulit sekali untuk diajak pergi bersama.

Lalu sekarang, hal itu terulang lagi setelah tiga bulan lamanya Lingga tidak masuk dalam list pertama yang paling Dinar benci. Yaitu, karena Lingga lagi-lagi lebih membela Maya si ketua OSIS berwajah kalem itu, dibandingkan membela dirinya, yang jelas-jelas adalah pacarnya sendiri.

Dinar benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa, Lingga tetap seperti itu padanya, padahal ia sudah sering sekali mengancam laki-laki itu? Oke, Dinar tau ancaman itu mungkin tidak akan pernah Dinar lakukan lagi sekarang, karena itu juga tidak akan mungkin ia lakukan hanya karena kekesalannya semata, dan justru malah menghancurkan hubungannya dengan Lingga yang sudah berjalan dua tahun lebih ini. Dinar tidak mau dan tidak berani untuk melakukan itu. Tapi, sampai kapan laki-lakinya itu mengerti?!

"SH*T!"

BRAK!

Dinar membanting keras pintu apartemennya sambil berteriak marah. Ia kesal dengan Lingga yang lagi-lagi lebih memilih membela yang lain dibanding dirinya. Pers*tan! Sampai kapan laki-laki itu mengerti dan mau membelanya sesekali saat di sekolah? Dinar juga ingin terlihat diperhatikan, dan membanggakan hubungannya dengan Lingga dihadapan yang lain, kalau berpacaran dengan Lingga adalah kebahagiannya, meski mereka banyak yang menentang bahkan menertawai hubungannya.

"Etdah, lo, hancur lama-lama itu pintu apartemen."

Terdengar suara seorang gadis dari dalam apartemennya, yang membuat Dinar menghela napasnya. Kakinya pun melangkah menuju sofa, melempar tasnya dengan sembarang, lalu merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Masalahnya pagi ini dengan Lingga saja sudah membuat moodnya hancur. Lalu, ditambah dengan keberadaan dua temannya ini didalam apartemennya. Mereka muncul disaat yang tidak tepat. Lain kali, Sepertinya Dinar akan mengganti password apartemennya agar kedua temannya itu tidak datang menganggunya disaat moodnya tidak bagus seperti sekarang ini.

"Kenapa sih, lo?" Gadis berambut cokelat kayu yang tanggung itu bertanya heran. Dia menolehkan kepalanya menatap Dinar yang terlihat sedang dalam keadaan kusut.

"Tau, kenapa? Tumben balik cepet?"

Dinar menghela napasnya, saat suara lain dari temannya itu terdengar. Disisirnya rambut hitam panjangnya menggunakan jari-jarinya itu ke belakang seperti orang frustasi. Ia sedang penuh amarah hari ini. Padahal hari masih pagi, tapi sudah ada saja yang membuatnya ingin menelan siapapun hidup-hidup.

"Gue kesel!"

Kedua temannya itu tertawa mendengarnya nada bicara Dinar. Ketidakmoodyannya seorang Dinar hari ini pasti tidak jauh-jauh dari kekasih hatinya, Harlingga Dio Wardana. Siapa lagi, yang setiap harinya seolah tidak menganggap keberadaan Dinar, dan selalu menolak ajakannya setiap kali hanya untuk sekedar pulang sekolah bersama? Bahkan pergi ke kantin untuk makan saja dapat dihitung menggunakan jari. Tasya dan Geby, kedua temannya yang sedang memainkan ponsel dan menonton televisi itu hanya terkekeh, karena sudah bukan menjadi hal aneh lagi Dinar seperti ini.

"Kenapa lagi si Dio, sih? Kenapa lagi dia?" Geby bertanya sambil menyodorkan camilan pada mulut Dinar, dan langsung disambar oleh mulutnya. "Hapenya mati lagi, dua hari nggak dicharger, makanya dia nggak ngabarin lo?"

Geby terkekeh, karena teringat cerita Dinar yang saat itu bercerita kalau Lingga pernah tidak memberikannya kabar selama dua hari saat gadis itu membolos sekolah, dan ketika ditanya dan dihampiri ke rumahnya, ternyata ponsel Lingga tidak pernah dibawanya, bahkan tidak dicharger selama dua hari, dan kejadian itu membuat Dinar terus mengoceh lantaran kesal.

"Gue sih capek Ci, denger lo uring-uringan terus kayak gini. Dari zaman majapahit sampe sekarang, masih aja begitu."

Tasya sendiri sudah jengah, karena terus melihat bagaimana menyedihkannya kisah percintaan seorang Dinar dan Lingga. Selalu Dinar yang menjadi bodoh selama mereka berdua pacaran, karena Dinar masih saja mau bertahan. Bayangkan saja, memiliki pacar yang selalu sibuk dengan kegiatan organisasinya? Belum lagi kesibukan seorang Lingga yang selalu belajar dan membaca buku setiap harinya. Tidak ada kata berduaan, menghabiskan waktu layaknya orang berpacaran normal lainnya. Sekalinya berdua, dapat dihitung dengan jari. Bahkan mereka pergi keluar berdua pun, hanya sekitar sebulan sekali, atau mungkin dua sampai tiga kali saja. Padahal mereka satu sekolah, jarak rumah pun tidak jauh. Mereka juga bukan LDR-an.

Bug!

Dinar memukul kepala Tasya dengan tangannya yang mengepal karena kesal. Dan itu membuat Tasya mengaduh dan menatapnya tajam. Dinar pun balik menatapnya tanpa takut. Ia justru tidak mengerti dengan mulut Tasya yang selalu seperti itu. Disaat ia mengeluh, justru dia seperti itu. Tapi Tasya memang tidak pernah mendukung hubungannya dengan Lingga. Padahal gadis itu tau Lingga adalah pacarnya, dan Tasya juga tau kalo Dinar terlalu sayang dengan Lingga.

"Yaudah, lo keluar sana! Nggak usah dengerin gue!"

Tasya memutar bola matanya jengah mendengarnya. Selalu saja begitu. Dinar tidak pernah mau mendengarkan usulannya dan yang lain. Kepala, mata, telinga, bahkan hatinya sudah dibutakan oleh cinta konyol. "Nggak tau diri emang punya temen." Ujar Tasya. "Terserah lo deh, manusia, maunya gimana."

Tasya sudah angkat tangan perihal masalah hubungan Dinar dan Lingga. Ia sudah malas memberikannya berbagai macam nasehat, dan usulan apalagi sebuah bantuan apapun itu. Tetap saja seorang Dinar akan kukuh pada pendiriannya. Bukan pendirian sebenarnya, tapi lebih tepatnya bodoh. Sementara Tasya sudah jengah, Geby justru masih setia mendengarkan berbagai keluhan dan uring-uringan seorang Dinar, meskipun terkadang ia juga jengah.

"Emang kenapa lagi si Dio di sekolah?" Posisi Geby yang semula menghadap televisi membelakangi keberadaan sofa yang Naura gunakan untuk berbaring itu kini membalikkan tubuhnya menghadap Naura. Memperhatikan gadis itu dalam keadaan yang kusut. Sangat kusut.

"Tadi si Dio ngebelain si Maya lagi dari pada gue." Ceritanya pada Geby. Suaranya terdengar sangat kesal.

"Terus?"

Dinar menarik napasnya sebelum melanjutkan. "Jadi tadi tuh gue gangguin si Dio di ruang O/M. Gue mau ngajakin dia jalan balik sekolah nanti, soalnya gue lagi pengen jalan sore ini. Tapi dari tadi si Dio gue ajakin, dia nggak mau." Jelasnya.

"Hm, terus?"

"Ya gue terus aja gangguin dia yang lagi sibuk-sibuk tai, sampe akhirnya si Maya dateng nyari masalah sama gue." Ujarnya. "Dia bac*t, ya gue ikutan ngebac*t. Eh, tapi makin kesini malahan makin ngelunjak. Gue tonjok aja mukanya sampe mimisan. Anak-anak disana langsung pada heboh, padahal itu hidung baru keluar darah, belum gue patahin." Katanya terdengar kesal. "Terus nggak lama si Dio dateng, ngomelin gue, ngebelain si Maya terus narik paksa gue ke ruang BP."

Geby dan Tasya jelas tertawa mendengar cerita panjang Dinar baru saja. Mereka berdua tertawa meledek, membuat Dinar rasanya kesal. Mereka pikir apa yang lucu? Jelas-jelas ia sedang kesal, tapi mereka menertawakannya. Lantaran kesal, Dinar lantas menendang mereka berdua dengan kakinya.

"Lucu lo, b*go, malah pada katawa!" Dinar membentak kesal. "Dipikir enak apa digituin?! Malu gue, dihadapan satu sekolahan, dia bentak-bentak gue ngebela si Maya terus narik gue paksa ke ruang BP!"

Geby dan Tasya masih tidak bisa menahan tawanya mendengar cerita Dinar. Seharusnya Naura juga sadar apa yang dilakukannya pada Maya.

"Ketawa lagi gue usir lo berdua!"

Geby dan Tasya pun mencoba meredakan tawanya saat Dinar semakin marah. Mereka berdua sebenarnya tidak habis pikir terkadang dengan apa yang ada dikepala Dinar.

"Otak lo ditaro mana sih, hah?"

"Iya, b*go atau gimana?"

Tanggapan mereka justru membuat Dinar mendelik tajam dan kesal. "Nggak lucu ya, anj*ng."

"Lucu, anj*ng." Ujar Geby membuat Dinar menatapnya tajam. "Dengerin gue, Dinnartika Arvega!" Geby berujar gemas sendiri. "Jelas aja si Dio kayak gitu. Secara, lo nonjok tuh anak sampe mimisan. Otak lo dimana coba? Si Maya kan ketua OSIS, terus juga si Dio ketua MPK. Lo pikir, wajar nggak kalo si Dio belain lo terlepas dari apapun itu alasan lo?"

Dinar terdiam dengan raut wajah kesal. Ia tidak merasa apa yang dilakukannya salah. Lagian, salah siapa juga Maya berani memulai keributan dengannya? Seharusnya gadis itu tau, kalau siapapun akan ia ajak debat dan duel, tanpa pandang bulu. Saat itu saja ia pernah menarik jilbab bu Inaya sampai terlepas karena kesal dengan guru itu.

"Nah, mikirnya kesitu." Tasya ikut menyetujui perkataan Geby. "Lo kan main kasar, kekerasan. Kalo aja lo nggak gitu, nggak bakalan ada tuh, drama lo diomelin, bahkan nggak dibelain sampe ditarik paksa dibawa ke ruang BP."

Geby masih terkekeh, sambil memakan camilannya. "Makanya lain kali mikir dulu. Liat tempat juga kalo mau ngabisin anak orang. Apalagi tuh anak, ketua OSIS."

Dinar pun hanya diam dengan wajah kesal. Ia masih tidak terima dengan apa yang dilakukan Lingga padanya. Dinar tidak merasa salah, karena memang Maya yang membuatnya naik pitam.

"Tapi gue heran, kok lo malah jadi sensian sama cemburuan gini sih?" Ujar Tasya. "Kan lo sendiri yang bilang, kalo si Dio nggak bakalan selingkuh?"

Dinar hanya diam.

"Lagian juga, gue yakin si Dio nggak bakalan suka sama cewek lain ataupun selingkuh, kalo hidupnya aja dipenuhin buku sama kesibukan di OSIS."

Geby mengangguk setuju. "Nah!" Katanya. "Jangankan suka sama yang lain, pacaran sama lo aja boro-boro kan, bisa pergi berduaan? Hidupnya sibuk terus. Mikir aja tuh, lo."

Dinar pun hanya diam. Ia terdiam berpikir, karena sepertinya yang dikatakan Tasya ada benarnya juga. Tidak mungkin Lingga menyukai yang lain apalagi selingkuh. Hidupnya saja selalu sibuk dengan kegiatan OSIS dan kesibukan lainnya. Bahkan untuk berduaan dengannya saja Lingga selalu mengatakan tidak bisa. Tapi, kenapa meski Tasya dan Geby meyakinkannya akan kenyataan itu, hatinya justru menyangkal? Karena mungkin saja, Lingga memiliki rasa pada yang lain? Walaupun Dinar sendiri tahu kalau ia juga cantik.

Dinar pun menghela napasnya. Ia terlalu takut jika hubungannya berakhir. Iya, Dinar takut kalau bisa saja Lingga melakukannya diusia hubungan keduanya yang tidak sebentar ini. Dinar rasanya benar-benar takut. Karena biasanya, satu atau dua tahun lebihnya suatu hubungan, pasti akan mendekati kata bosan. Apalagi hubungan ia dan Lingga sudah cukup lama, bahkan tidak bisa dikatakan layak dan baik-baik saja sejauh ini.

Dinar khawatir hal itu terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status