“Hai, Nef! Baru pulang, ya? Kok sesore ini? Biasanya kan kamu hampir nggak pernah kuliah sore,” ucap seseorang.
Sapaan basa-basi itu membuat alisku terangkat seketika. Tidak ada orang lain yang dipanggil “Nef” selain aku, Nefertiti Kamelia. Akan tetapi, mengingat siapa pemilik suara, rasanya sangat tak masuk akal jika diriku yang disapa. Karena orang itu bukanlah sosok ramah yang selama ini menjadi teman baikku.
“Nef! Dipanggil kok diam aja, sih?” ulang si penanya dengan nada penasaran.
Mau tak mau, langkahku melamban dengan mata tertuju ke satu arah. Pada seorang cewek yang sedang duduk di salah satu bangku beton berpayung. Thea, namanya. Sungguh, aku benar-benar tidak yakin jika Thea sedang bicara denganku. Namun karena sekali lagi dia menyerukan namaku, aku pun tahu jika tidak sedang bermimpi.
“He-eh, terpaksa. Karena hari ini ada jadwal kuliah yang digeser,” balasku dengan suara tak jelas, antara menjawab dan berdeham. Bahkan aku mulai merasa mual dengan kalimat basa-basi yang meluncur dari bibirku. Hanya saja, aku terpaksa melakukan itu karena tak ingin dianggap menyalahi etika.
“Oh. Pantesan kamu pulang sesore ini. Kirain baru datang entah dari mana.” Thea tersenyum seraya mengangkat cangkir, menyesap isinya. Aku terperangah menatapnya. Barusan, Thea tersenyum padaku? Bagaimana bisa?
Jika memang ada keajaiban dunia ke delapan, mungkin inilah dia. Thea yang bersikap ramah padaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku justru melihat kesempatan itu untuk pamit. Sungguh, sekujur tubuhku akan gatal-gatal bila terlalu lama mengobrol dengan gadis ini. Karena itu, aku pun berjalan dengan langkah cepat menuju kamar setelah mengangguk sopan. Kepalaku diriuhkan oleh ombak pertanyaan yang susul-menyusul.
Aku menjadi salah satu penghuni di tempat indekos itu selama tiga bulan terakhir. Selama itu pula dia nyaris tak pernah mendengar sapaan ramah Thea seperti tadi. Cewek itu cenderung bersikap menyebalkan, judes, dan suka menghina. Kalau kamu mengira tokoh-tokoh antagonis di sinetron Indonesia itu terlalu berlebihan, kamu akan meralat pendapatmu setelah bertemu Thea. Gadis ini memang luar biasa sombong dan mengesalkan.
“Thea itu mana punya perasaan, sih? Dia merasa makhluk spesial di muka bumi ini, yang lain cuma manusia rendahan. Harusnya dia hidup di masa Perang Dunia Kedua dan jadi asistennya Hitler. Mereka klop.” Komentar bernada kesal itu diucapkan oleh salah satu temanku yang pernah menjadi korban bully Thea dan pindah tempat tinggal karena gadis itu.
“Aku nggak pernah paham kenapa ada orang-orang yang bisa bersikap jahat ke orang lain? Memangnya menyiksa orang lain itu bisa bikin bahagia, ya?” timpal entah siapa, aku tidak benar-benar ingat. Maklumlah, kala itu aku masih penghuni baru dan belum nyaman terang-terangan mengutarakan opiniku. Bukan karena takut tapi karena ingin melihat situasi lebih dulu. Aku harus mengenali teman-teman baruku, kan?
Tempat indekos yang kutinggali itu cukup terkenal. Rumah Borju, itu julukan sinisnya. Meski bukan nama yang enak didengar, julukan itu telanjur populer. Tempat itu berjarak tak sampai setengah kilometer dari kampusku, Universitas Dwi Darma. Pemilik rumah, keluarga Patrianagara, membangun 32 kamar di halaman samping dan belakang yang luas.
Kamar-kamar dibangun menempati dua lantai dengan ukuran yang sama. Semuanya terisi penuh meski dibanderol dengan harga sewa yang cukup tinggi dan harus dibayar minimal untuk enam bulan ke depan sebelum pindah. Tiap kamar sudah diisi dengan perabotan berkualitas bagus dan dilengkapi kamar mandi. Aku menempati kamar di lantai bawah.
“Saya lebih suka tinggal di lantai dasar aja, Bu,” kataku pada pemilik indekos saat ditawari melihat kondisi kamar di lantai dua juga. “Saat pulang kuliah dan dalam kondisi capek, pasti malas naik tangga untuk menuju ke kamar,” imbuhku tanpa di minta.
Rumah Borju kupilih karena menyediakan privasi dan keamanan yang lebih dari cukup. Tempat indekos lamaku pernah kemalingan, salah satu penghuninya bahkan nyaris diperkosa. Itulah sebabnya aku memilih pindah walau di tempat lama sudah telanjur betah. Aku harus melakukan survei serius untuk memilih tempat tinggal yang baru sebelum memilih Rumah Borju. Karena aku tak mau menetap di tempat indekos yang keamanannya tidak terjamin.
Setiap kamar di Rumah Borju ini dilengkapi dengan ranjang, lemari, serta meja rias yang berfungsi ganda sebagai meja belajar. Semuanya barang-barang dengan merek ternama yang terjamin mutunya. Hanya satu yang kurang kusukai dari kamarku, warna jordy blue yang melapisi dindingnya. Buatku, warna itu terlalu gelap. Namun, aku tak bisa mengajukan keluhan dan menolak tinggal di situ hanya karena persoalan warna cat dinding.
“Kenapa kamu pindah ke Rumah Borju, Nef?” tanya salah satu teman kuliahku, Viera.
“Terpaksa, Vie. Tempat kosku yang lama, kemarin kemalingan. Sampai dua kali dalam waktu lima minggu. Yang terakhir, malah bikin merinding karena ada temanku yang hampir diperkosa,” aku bergidik.
“Ya Tuhan!” seru Viera. Gadis ini tinggal tak jauh dari tempat indekosku yang lama. Dulu, kami sering pulang berdua, hanya satu kali naik angkutan. “Barangmu ada yang hilang?”
Aku menggeleng. “Untungnya nggak ada. Tapi yang punya tempat kos terkesan kurang peduli sama masalah keamanan. Akhirnya, banyak yang mutusin untuk pindah,” beri tahuku.
“Oh, gitu. Ternyata ada alasan serius. Pantas aja kamu pindah ke Rumah Borju. Awalnya aku heran karena kayaknya tempat itu nggak cocok buatmu, Nef,” respons Viera.
Aku tertawa kecil. “Memang, Vie. Tapi, urusan keamanan, di Rumah Borju juaranya. Makanya aku pindah ke sana. Lagi pula, nggak terlalu jauh dari kampus. Bisa jalan kaki.”
“Hmmm, iya. Anggap aja olahraga tiap kali pulang dan pergi ke kampus ya, Nef,” gurau Viera sambil tertawa kecil.
Seperti yang kukatakan pada Viera, pemilik Rumah Borju memang sangat memperhatikan masalah keamanan. Buktinya, mereka mempekerjakan beberapa orang satpam yang berjaga bergantian. Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk. Kamera CCTV pun dipasang di berbagai titik. Pendeknya, tempat indekos khusus untuk perempuan itu, cukup mirip dengan perkampungan kecil nan nyaman.
Selain masalah kemanan, pemilik Rumah Borju pun memberi lumayan banyak fasilitas yang menyamankan para penghuninya. Salah satu yang cukup mencolok, dibangunnya kolam renang sesuai standar olimpiade di halaman belakang, tak jauh dari kamarku. Juga tersedia jaringan Wi-Fi yang bebas dimanfaatkan selama 24 jam penuh.
Tak cuma itu, makanan pun mendapat perhatian khusus. Ada pihak ketiga yang melayani katering untuk kami semua. Cita rasa makanannya sudah jelas enak, dengan menu yang variatif. Selain itu, semua yang disediakan pun tergolong makanan bergizi.
Selain kamar yang nyaman, di halaman depan yang luas, dipasang beberapa bangku beton yang dibangun terpisah dan diteduhi oleh payung lebar. Taman di rumah itu cukup terawat dengan aneka tanaman yang aku sendiri tidak tahu namanya. Jika ingin bersantai, bisa duduk di bangku beton atau menempati kursi-kursi malas di sekitar kolam renang.
“Biaya kos di Rumah Borju pasti mahal ya, Nef?” tanya Viera suatu kali.
Mau tak mau, aku mengangguk. “Iya,” sahutku tanpa berani menyebutkan angkanya. “Untungnya aku nggak harus bayar sendiri, Vie. Mamaku yang bayar,” selorohku.
“Kayak apa rasanya jadi teman satu kosnya Thea yang terkenal itu?” Viera ingin tahu.
“Biasa aja, Vie. Nggak istimewa,” sahutku dengan nada datar.
Bicara soal Thea, aku lebih tua setahun dibanding gadis itu. Akan tetapi, kami berkuliah di semester yang sama walau beda fakultas. Aku adalah mahasiswi fakultas ekonomi. Sementara Thea menjadi salah satu primadona fakultas hukum yang memang menawan mata. Ke mana pun gadis itu melangkah, perhatian para cowok ikut tersedot. Seolah sekujur tubuh Thea adalah medan magnet. Sayang, entah kebetulan atau tidak, seperti banyak cewek cantik lainnya yang sering tampil di film-film, Thea memiliki beberapa sifat buruk. Catat, beberapa.
Yang paling mencolok, Thea tidak sungkan menyindir hingga menghina orang yang dianggap tak selevel dengannya. Entah siapa yang memberi hak pada Thea untuk bersikap seperti itu. Aku adalah salah satu korbannya. Makanya tadi aku kaget saat dia menyapaku dengan gaya ramah yang sama sekali tak cocok dengan gadis itu.Thea pernah menghinaku dengan kata-kata “cewek berselera rendah” setelah dia tahu bahwa aku suka berbelanja di toko loak. Gadis itu selalu punya kosakata untuk menghina orang lain. “Keterampilan” yang kadang membuatku takjub.“Kamu tinggal di kos-kosan sekeren ini tapi malah hobi belanja di pasar loak. Ck ck ck, seleramu bikin aku merinding.” Itu salah satu hinaan yang pernah dilemparkan Thea ke wajahku. Biasanya, dia masih menambahkan dengan beberapa kalimat lainnya.Aku terganggu, tentu saja. Namun aku memilih untuk berpura-pura tuli, mengabaikan semua kata-kata pedas yang tak pantas itu. Toh, Thea mustahil berubah.
Aku terbangun oleh dering ponsel, meluluhlantakkan tidur lelapku dengan kejam. Masih dengan mata setengah terpejam, tangan kananku bergerak pelan untuk menjangkau benda yang sudah mengganggu itu. Tanpa sengaja, gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik itu malah membuat ponselku terlempar ke lantai.Aku menggerutu pelan seraya memaksakan diri untuk membuka mata dan turun dari ranjang. Gawaiku masih bersuara kencang saat aku berhasil meraih benda itu. Untung saja telepon genggamku tidak rusak. Sambil mengerjap beberapa kali, aku membaca nama kakakku yang tertera di layar ponsel. Nike.Kalau boleh jujur, aku sangat ingin mengabaikan panggilan itu karena rasa kantukku masih memberati mata. Akan tetapi, aku tak bisa melakukannya. Karena kakakku itu takkan berhenti hingga berhasil mendengar suaraku. Nike memiliki kegigihan yang kadang membuatku merasa jengkel.“Kenapa Kakak nelepon jam setengah lima pagi, sih? Ini waktunya tidur untuk manusia normal,”
“Eh, tapi ini serius.” Lita mendadak berdiri dan memerhatikanku lebih saksama. “Gaun ini pasti mahal. Tapi yang jelas, bukan selera Thea. Dia kan ... apa ya?” Kening Lita dihiasi garis samar. “Hmmm ... Thea suka penampilan yang lebih dramatis. Lebih menarik perhatian.”“Alias heboh,” imbuhku. Aku berputar sekali lagi, memerhatikan efek dari pakaian yang kukenakan karena gerakan itu. “Terlepas dari sikapnya yang nyebelin, Thea memang pantas punya banyak fans. Cantik dan bergaya. Apa boleh buat, kita cuma bisa iri,” gurauku.“Tapi aku masih bingung lho, Nef! Kenapa Thea mendadak baik sama kamu, ya?” Lita kembali pada topik penuh misteri itu. Aku pun bertanya-tanya sejak kemarin dan belum menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati.“Kamu kira aku tau jawabannya?” Aku mengangkat bahu. Tanganku mulai membuka ritsleting gaun. “Kayaknya soal itu akan jadi misteri besar, Ta! Kamu p
Marco Narayana adalah cowok yang duduk di semester tiga fakultas hukum. Menurut desas-desus, cowok itu sempat kuliah di fakultas ilmu pengetahuan budaya hingga tiga semester. Lalu, mendadak Marco meninggalkan bangku kuliah, menganggur selama satu semester sebelum menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum. Entah apa penyebabnya.“Mungkin karena Marco baru ketemu passion-nya setelah buang-buang waktu kuliah di fakultas ilmu budaya.” Itu salah satu gurauan yang pernah kudengar. Tentunya dibisikkan di belakang Marco dan teman-temannya.Marco gampang dikenali karena beberapa hal. Yang paling mencolok, kehadiran tiga sahabatnya sejak SMA yang selalu berada di sekitar cowok itu. Levi, Yuma, dan Cliff. Kecuali Levi, yang lain adalah mahasiswa fakultas hukum. Sementara Levi menimba ilmu di fakultas ekonomi. Jika Marco masih semester tiga, teman-temannya sudah duduk di semester tujuh. Marco adalah cowok yang tergolong pendiam dan hemat kata, cuk
“Dari mana kamu dapat gaun ini?” desak Marco setelah aku termangu beberapa detik.Aku pun kembali mendongak. Di depanku, Marco sedang menatapku. Bukan jenis tatapan ramah yang bersahabat. Melainkan tatapan horor yang menjanjikan hal-hal menakutkan. Kepalaku mendadak kosong.“Hei, kamu kok malah memelototiku, sih?” tukas Marco tak sabar. Tangan kanan cowok itu digerak-gerakkan di depan wajahku. Seolah-olah aku setengah tak sadarkan diri.Kalimatnya membuat bibirku secara otomatis melantunkan makian. Kebiasaan lama yang kadang masih sulit untuk diredam. Efeknya, mata tajam Marco membulat. “Kamu bilang apa? ‘Sialan’?” sentaknya galak.Merasa tak ada gunanya berpura-pura, aku menjawab tegas. “Iya. Ada masalah?” Daguku terangkat, menunjukkan sikap menantang. “Kamu seenaknya mengajukan pertanyaan dengan cara nggak sopan. Nggak pakai basa-basi. Apa itu nggak pantas disebut ‘sialan’? Ha
Ubun-ubunku seakan terbakar. Aku tahu, penghargaan manusia paling idiot tahun ini baru saja kumenangkan. Seharusnya aku tak pernah percaya bahwa cewek seperti Thea bisa berubah manis tanpa alasan jelas. Ular selamanya tetap ular. Bahkan meski neraka menjadi sebeku Antartika di musim dingin.Namun, aku tahu jika tak boleh menampakkan emosi walau saat ini meninju wajah Thea adalah pilihan yang sangat menggiurkan. Aku tak mau harus berakhir di kantor polisi dan terpaksa menginap di penjara karena menganiaya anak orang. Karena itu, aku mati-matian berusaha tetap rasional dan menahan diri. Aku tak boleh melakukan kekerasan.Levi menyergah, “Thea, kenapa jadi begini? Seharusnya nggak perlu sampai heboh gini. Masalahnya juga jadi melebar ke mana-mana. Kalau kamu nggak....”“Lev, nggak usah ikut campur!” tukas Thea dengan nada tegas. “Ini nggak ada kaitannya sama kamu. Ini urusanku dengan Marco dan gadis ini,” ucapnya seraya menunjukk
“Hei, sakit, tau! Lepaskan tanganku!” bentak Thea sambil memelototiku. Dia berbalik untuk menghadap ke arahku.“Kamu kira aku ini pengemis? Aku nggak tertarik menerima sumbangan gaun bekas dari cewek sakit jiwa kayak kamu.” Untuk memberi efek dramatis, sengaja kutarik lengan Thea dengan kencang. Hingga gadis itu kembali mengaduh.Julie “Hei! Jangan....”“Kalau kamu berani maju, aku bakalan mencakar mukamu,” ancamku pada Julie. Lalu, aku menirukan kata-kata cewek itu tadi. “Kamu ada benarnya, Julie. Berkat kamu, aku bisa datang ke hotel sekeren ini dan ngerasain pakai baju yang dipesan khusus. Tapi, aku nggak mau ngetop sendirian. Kalian juga harus ikut terkenal. Senyum ya, ke arah kamera. Tuh, orang-orang sedang merekam kita,” kataku dengan nada manis yang palsu.Setelah kata-kataku tuntas, aku melepaskan cekalan tanganku di lengan Thea. Namun, aku masih belum selesai. Aku maju selangkah dengan t
Tahun ini, usiaku mencapai angka 23. Seharusnya, kuliahku sudah kelar. Akan tetapi, aku sempat menganggur usai menamatkan SMA. Setahun penuh aku mengikuti Mama yang pindah ke Perth setelah menikah untuk yang kedua kalinya dengan pria bernama Eddie Trevor.Ayah tiriku adalah pria bule berkewarganegaraan Australia yang berstatus lajang sebelum menikah dengan Mama. Uncle Eddie, begitu aku memanggilnya, kuanggap sebagai pria baik. Lelaki itu menyambut kehadiranku di rumahnya dengan tangan terbuka.Sayang, aku tidak betah di Perth. Niat untuk melanjutkan pendidikan di kota itu makin pupus seiring berjalannya waktu. Semangatku untuk tinggal dan berkuliah di Perth, kian mengempis saja. Hingga aku pun membuat keputusan drastis untuk kembali ke Indonesia.“Kak, aku nggak betah di sini. Aku pengin pulang ke Siantar,” aduku pada Nike, beberapa tahun silam. Dialah orang pertama yang kuminta opini sebelum bicara dengan Mama.“Kenapa? Padahal, kamu ka