Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Matahari sudah bersinar terang menyinari bumi, padahal jam baru menunjukkan pukul 06.03 pagi.Seorang remaja laki laki berambut hitam terbangun karna merasakan sedikit rasa panas menerpa kulitnya yang pucat. Remaja itu terduduk sebentar untuk mengembalikan arwahnya yang berkeliaran ditengah malam."Masih jam 6 pagi.." gumam remaja itu masih sedikit mengantuk."Dion! Hari ini kamu PKL kan?" teriak wanita paruh baya dari arah bawah membuat Dion terlonjak kaget.Dion buru buru masuk ke kamar mandi dan bersiap diri untuk pergi ke Semarang, karna pihak sekolah mengirimnya ke Apotek di desa di salah satu kota Semarang untuk melakukan kegiatan PKL bersama temannya yang lain."Dion!""Iya mamah! Ini Dion udah siap," ujar Dion membuka pintu sambil menampilkan senyum kepada mamahnya.Mamah Dion menghela nafas lelah melihat penampilan anaknya, memang rapih namun rambut Dion berantakan."Baju rapih, tapi rambut gak, sama aja bohong Dion," ujar san
Malam hari menghiasi cakrawala bumi, semua orang di Desa maupun Kota telah terlelap ke alam mimpi. Tetapi tidak untuk sekelompok anak ini. Mereka sibuk dengan dunia sendiri, ada yang bermain Handphone, ada yang membaca buku dan ada juga yang sedang melakukan rutinitas malam.Yap, benar, anak anak itu adalah Dion, Ian dan Delna. Ini adalah kali pertama mereka jauh dari keluarga, maka dari itu mereka tidak bisa tidur."Ih! Banyak nyamuk!" keluh Delna sembari memukuli wajahnya pelan.Dion yang mendengar keluhan Delna tertawa terbahak bahak sedangkan Ian hanya memutar mata malas dan melanjutkan kegiatannya membaca buku."Nyamuk aja kok dimasalahin?" ujar Dion setelah tawanya berhenti, lelaki itu kemudian menggeleng memperhatikan tingkah Delna yang masih memukuli nyamuk, sesekali Delna memukul tembok lalu mengerang kesakitan."Ckk, kalau bukan karna sekolah, aku gak mau ada di Desa ini!" seru Delna lantang, beberapa detik setelahnya angin berhembus kuat memb
Sesuatu bergerak gerak dibalik lebatnya semak-semak. Suara lolongan anjing disertai siulan burung hantu membuat bulu kuduk siapapun berdiri.Srak!"LARII!"Dion dan Delna berlari bersama, meninggalkan Ian yang masih diam memperhatikan 'makhluk' didepannya."Kucing item doang ternyata .." ujar Ian bernafas lega ketika seekor kucing hitam keluar dari balik kegelapan.Ian lalu menghampiri kucing itu. Berjongkok dihadapan sang kucing adalah hal pertama yang Ian lakukan. Tangannya terulur ke depan untuk mengelus kepala si kucing hitam.Awalnya kucing itu menolak, hewan itu bahkan meninggalkan bekas cakar pada telapak tangan Ian. Namun Ian tak peduli, remaja itu tetap ingin mengelus si kucing."Aku hanya ingin mengelus mu, sebentar~ saja," bujuk Ian masih dengan tangan terulur kedepan.Mendengar hal itu, si kucing akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Ian.Remaja itu tersenyum lembut, bulu kucing ini sangat halus pikir Ian.
"Kenapa gak bilang dari awal kalau kamu bawa teman, hah?!" seru Henri tepat diwajah Ian.Tubuh Ian bergetar hebat karna bentakan Henri. Melihat temannya ketakutan, Dion langsung membela Ian, walaupun sebenarnya dirinya juga takut tetapi demi teman, Dion akan melakukan apapun."Mas, mohon maaf jika memang teman saya berbohong. Mas kan bisa beritahu baik baik, tidak perlu sampai membentak," ujar Dion sopan sembari mengelus punggung Ian.Tangan Henri terkepal kuat, pertanda kalau dirinya sedang menahan amarah, kepala Henri juga sedikit bergetar."Lurus aja kesana, nanti ketemu jalan, bisa pulang sendiri kan?" ujar Henri menghela nafas kasar sembari menunjuk kearah kanan.Setelah menunjukkan arah, Henri pergi dari sana, meninggalkan Dion, Ian serta Delna sendirian. Semuanya langsung menghela nafas lega, entah kenapa saat ada Henri mereka merasa tertekan."Ayo kembali sebelum hari makin gelap." Ajak Ian membopong Dion, Delna mengikuti dibelakang.