Share

Hari Kelima

Tanah becek tak Dion hiraukan, fokus utamanya adalah lari dari kuburan ini.

Benar, Dion sedang berada di sebuah pemakaman. Dion baru sadar setelah tadi tersandung sebuah batu nisan putih.

"Khi .. khi .. "

Suara tawa perempuan semakin terdengar keras, dengan tubuh bergetar Dion berusaha bangkit dan kembali berlari.

"Ya Allah .. selamatkan Dion," gumam Dion sambil membaca doa doa pendek.

Keringat dingin membasahi seluruh pelipis serta tubuh Dion, luka lecet di kaki menjadi penghalang kecepatan berlari Dion, pohon dengan daun lebat menghalangi pandangan remaja itu.

"Sial! Sial!" umpat Dion ketika kembali dititik awal, sekarang ia tak tau arah jalan pulang.

"Hahaha!"

Suara tawa kembali terdengar, kali ini tercampur suara laki laki.

Dion menutup telinganya erat, tak ingin mendengar suara tawa yang saling menyaut satu sama lain.

"Berhenti! Kumohon berhenti!" seru Dion frustasi ketika merasakan sesuatu mendekati dirinya.

Tap

Tangan pucat mendarat dipundak Dion, disusul dengan tetesan darah yang menerpa rambut serta tubuh Dion.

Butuh beberapa detik bagi Dion untuk mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya menengok dengan cepat kearah belakang.

Namun tak ada apa apa, suara tawa yang sebelumnya Dion dengar sudah tidak ada. 

Sepi, begitulah satu kata yang terpikir oleh Dion ketika merasakan suasana di kuburan saat ini.

Perlahan, Dion mendongakkan kepalanya. Tonjolan batu berwarna putih dapat Dion lihat walau remang, hawa sesak yang sebelumnya menyergap sudah tak Dion rasakan.

"Dion!"

Ketika Dion sedang sibuk mencerna keadaan sekitar, sebuah suara yang sangat Dion kenal memanggil.

"Ian!" panggil Dion balik sembari melambaikan tangan agar Ian dapat melihat dirinya.

Dan tepat sesuai dugaan Dion, Ian melihat dirinya, wajah remaja itu tampak sumringah awalnya karena dapat menemukan Dion lebih cepat.

Namun seketika raut wajah Ian kembali berubah, ketakutan kentara jelas disana.

"Ian?!" panggil Dion lagi ketika Ian hanya berdiri mematung di ujung jurang.

"Sebentar!" seru Ian berlari, melupakan sesuatu yang ia lihat dibalik tubuh Dion.

Dion mendengus kesal, berharap Ian tidak meninggalkan dirinya sendirian disini.

Beberapa menit berlalu, Ian datang dengan membawa tali tambang, terdengar benturan antara batu dan kayu sebelum Ian menurunkan tali tambang.

Dion segera berlari kearah tebing jurang, beberapa kali ia sempat terjatuh karna tersandung batu nisan.

"Maaf, aku gak sengaja," gumam Dion pelan lalu kembali berdiri untuk keluar dari kuburan ini.

Dion menarik tali tambang sesaat, memastikan agar nanti saat dirinya memanjat, tali itu tak terlepas dari atas.

Setelah memastikan, Dion segera memanjat, menahan rasa sakit yang menjalar ditangan akibat jatuh beberapa kali.

Tangan putih sedikit pucat adalah hal pertama yang Dion lihat setelah memanjat sampai atas.

Dion tersenyum senang lalu menerima uluran tangan Ian. Dengan susah payah, Ian mengangkat tubuh sedikit gemuk Dion. Beberapa kali Dion terlihat hampir terjatuh kembali, namun dengan sigap Ian menahan tubuh Dion.

"Makasih mas Ian!" seru Dion terduduk dipinggir jurang sembari mengatur nafas agar kembali normal.

Ian mengangguk dan ikut duduk disamping Dion, menatap langit yang berwarna orange, hari sudah sore ternyata.

"Lah, kenapa manggil mas Ian?" ujar Ian setelah sadar apa yang diucapkan Dion.

Dion tertawa pelan sembari menggeleng, netra hitam menatap langit sore dengan tenang, rasa takut yang melanda sebelumnya hilang begitu saja.

"Mau pulang gak? Sekalian ngecek si Delna udah pulang apa belum," ujar Ian berdiri, menepuk belakang tubuh dan mengulurkan tangannya pada Dion.

"Delna sama kamu misah?" Dion menerima uluran tangan Ian, membersihkan lengannya dari tanah dan ikut berjalan disamping Ian.

Ian mengangguk lalu mengambil gawai disaku celana, mengangkat gawainya ke atas untuk mencari sinyal. Bunyi dering dapat Dion dengar, dilayar gawai Ian tertera nama 'Delna'.

"Susah banget ya ampun," gumam Ian frustasi setelah beberapa menit gawai Ian tak menerima panggilan telepon.

"Pulang dulu aja udah, kalau gak ada baru kita cari," ujar Dion berusaha menenangkan Ian.

Ian menoleh kearah Dion, tersenyum sesaat sebelum akhirnya mengangguk.

***

Dion dan Ian akhirnya tiba di rumah.

"Assalamualaikum," ujar Ian memberi salam sebelum melepas sepatunya dan berjalan masuk kedalam rumah.

Dion yang sudah masuk tertawa canggung lalu berjalan mundur.

"Assalamualaikum," ujar Dion melakukan hal yang sama dengan Ian.

"Capek banget ya?" Dion mengangguk, saking capeknya, Dion sampai lupa mengucap salam.

Ian tertawa pelan, berjalan kearah kamar Delna untuk mengecek keberadaan gadis itu sedangkan Dion berjalan kearah sofa untuk rebahan.

"Delna?" panggil Ian mengetuk pelan pintu kamar Delna.

Tak ada sahutan dari dalam. Ian kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras dari sebelumnya.

"Del?" panggil Ian lagi, namun tetap tak ada sahutan dari dalam.

"Permisi ya." Ian akhirnya memutuskan untuk masuk kedalam, entah kenapa perasaannya mengatakan sesuatu telah terjadi pada Delna.

Derit pintu menyambut pendengaran Ian, suasana gelap dengan sedikit remang cahaya dari jendela adalah apa yang dilihat Ian.

"Kamu didalam? Jawab kalau emang ada," ujar Ian sedikit geram karna Delna tak menjawab panggilannya.

Samar samar Ian mendengar suara tangis, terdengar juga gumaman tidak jelas.

Ceklek

Mata Ian menyipit sesaat untuk menyesuaikan keadaan cahaya kamar yang mendadak terang.

"Astaga .. " gumam Ian saat melihat keadaan kamar Delna.

Berantakan seperti kapal pecah, batin Ian miris. 

Pecahan beling ada dimana-mana seperti ranjau, buku buku serta barang Delna yang lain ikut tercecer dilantai, cipratan darah terdapat di dinding kamar.

"Delna!" seru Ian ketika melihat teman perempuannya itu meringkuk di pojok ruangan.

Dengan hati hati, Ian melangkah menuju tempat Delna berada, ringisan kecil keluar dari mulut Ian ketika kakinya tidak sengaja menginjak beling.

"Del? Kamu kenapa? Ayo keluar dulu," ujar Ian berusaha membopong tubuh Delna yang bergetar hebat.

"Gak mau!" teriak Delna menampik kasar tangan Ian.

Ian sedikit tertegun dengan penolakan Delna, apa yang sebenarnya terjadi? tanya Ian dalam hati.

"Keluar yuk, jangan disini, banyak beling," rayu Ian mencoba membujuk Delna sekali lagi, namun gadis itu tetap menolak dan justru bergumam kata 'bagus'.

"Apanya yang bagus? Ini tuh justru berbahaya."

Delna mengangkat wajahnya, mata sembab dengan hidung merah, pipi kiri lebam sedangkan pipi kanan terdapat luka memar.

"Kamu gak bakal ngerti!" teriak Delna tepat didepan wajah Ian, membuat remaja laki laki itu sedikit tersentak dan berjalan mundur.

"Kamu gak ngerti! Kamu gak ngerti!" teriak Delna lagi sembari mencengkram rambutnya kuat, air mata kembali membasahi kedua pipi Delna.

"Kamu juga gak cerita kenapa, ya kita gak bakal ngerti." Bukan Ian yang berbicara, melainkan Dion yang sekarang berada didepan kamar Delna.

Delna melihat kearah Dion dengan tatapan tajam, ekspresi wajahnya seketika menunjukkan kemarahan.

"Gara gara kamu! Gara gara kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status