Brian menghela nafas sesaat, berusaha menetralkan detak jantung agar kembali berdetak normal. didepan Brian kini terdapat Sintia dengan sang ayah, berdiri kaku seakan terbelenggu oleh sesuatu.
"Ada apa?" tanya Brian berjalan ke samping ayahnya, menatap raut wajah sang ayah yang terlihat sedikit ketakutan.
Jauh disamping ayah Brian, Sintia juga berkondisi sama, hanya saja tubuh Sintia bergetar takut, sembari menutup mulut dengan kedua tangan.
"D-Delna .. ?" lirihnya sembari menggeleng pelan.
Gadis itu kemudian berlari kencang kearah depan, kearah kegelapan. Brian lalu memincingkan mata, ingin memastikan apakah itu Delna atau bukan.
"Om! Tolong!" teriak Sintia dari dalam sembari menggeret Delna yang sekarang berlumuran darah, entah apa yang terjadi pada Delna hingga membuatnya berakhir seperti itu.
Ayah Brian terkejut, tetapi setelahnya ia langsung mengambil ponsel, menekan nomor darurat dan berjalan menjauh dari Brian serta Sintia. Sedangkan
Koridor rumah sakit terlihat hening, hanya ada beberapa perawat saja yang lewat. Disalah satu bangku besi terdapat seorang anak yang tengah duduk sembari menatap lantai kosong. Lamunan anak laki laki itu buyar kala seorang pria dewasa memanggilnya."Brian .. dimana Sintia? Lalu apakah dokter sudah keluar dari ruangan Delna?" tanya ayah Brian secara beruntun, membuat sang anak menatap ayahnya kesal."Sudah .. " Namun karena tak memiliki tenaga lebih, Brian hanya bisa menjawab lemah, menghela nafas sebagai pelampias kekesalan.Ayah Brian menghela nafas sembari mengelus dada, tersenyum ke arah Brian kemudian ke arah ruangan Delna berada."Syukurlah, itu berarti Delna baik baik saja, kan?" tanya sang ayah lagi mendapat anggukan pelan dari Brian."Ayah .. " panggil Brian menatap ayahnya serius setelah beberapa menit terdiam.Ayah Brian spontan menatap anaknya balik ketika mendapat tatapan seperti itu dari Brian, ayahnya menatap sang anak dengan p
Sebuah petir imajiner seakan menyambar dibelakang Sintia, degup jantung perempuan itu terhenti sesaat sebelum kembali berpacu cepat."M-Maksud tante apa?" tanya Sintia panik, walau begitu ia berusaha agar pita suaranya tetap terdengar normal.Helaan nafas panjang trdengar dari sebrang telpon, Sintia dibuat semakin cemas karenanya."Sudah saya bilang, saya tidak peduli pada anak itu, dan kamu jangan menghubungi saya lagi," ucap ibu Delna kembali menghantam tubuh Sintia, entah karena apa hatinya terasa sakit mendengar hal itu."Tunggu tante!" cegah Sintia agar ibu Delna tak langsung mematikan telpon."Alasan tante apa sampai mengabaikan Delna? Tante tau? Delna masuk rumah sakit," ujar Sintia berharap rasa iba muncul dalam hati wanita itu.Bagaimana pun, seorang ibu tak dapat mengabaikan anaknya yang sedang sakit, setidaknya itu yang dipikirkan Sintia sebelum ibu Delna mengucap kalimat balasan."Saya tidak peduli, setelah anak itu bangun
Lorong rumah sakit terlihat gelap, lampu panjang terkadang hidup dan mati dengan cepat, membuat pandangan seorang gadis terganggu."Akh! Ini benar benar mengganggu sialan!" umpatnya sembari menggosok mata sebelah kiri, terasa perih.Ketika tengah asik bergulat dengan mata, gadis itu merasakan sesuatu berlari dibelakangnya, spontan ia menoleh, menatap takut ke arah lorong.Namun gadis pirang itu tak menemukan apapun, hanya ada keheningan dan suara konsleting listrik yang terdengar. Satu detik kemudian hal serupa kembali ia alami, gadis itu menoleh ke arah depan.Netra hitam si gadis menemukan sesosok bayangan diujung lorong. Takut, cemas dan khawatir bercampur menjadi satu, membuatnya tak bisa bergerak.Wajah sosok itu rusak, aliran darah memenuhi wajah sosok tersebut. Sebuah seringai lebar tercipta kala ia menemukan hawa takut milik si gadis.Gerakan langkah cepat diambil oleh sosok tersebut hingga membuat gadis itu bergidik dan berlari tanp
Langkah gontai menarik perhatian beberapa suster, mereka mengamati wajah si pemilik tubuh untuk memastikan apakah dia baik baik saja atau tidak.Sedangkan yang menjadi pusat perhatian hanya diam mengabaikan, berjalan pelan tanpa tujuan ke sisi lain lorong rumah sakit."Padahal bukan itu maksudku .. " lirih suara perempuan sembari menghela nafas lelah, menatap sekitar dengan tatapan kosong.'Delna tidak tau terimakasih!'Perkataan gadis lain mengalihkan pikiran Delna, perempuan itu kembali menghela nafas untuk kesekian kali.Setelah pertengkaran hebat antara Delna dan Sintia hari lalu, hubungan mereka menjadi kacau. Panggilan yang ia layangkan setiap saat pada Sintia tak pernah terjawab. Nomornya tidak aktif."Menyebalkan! Dasar otak dangkal!" umpat Delna menggeram kesal, tak sadar jika layar ponselnya retak karena digenggam terlalu kencang."Padahal aku berterimakasih dengan tulus," lanjut Delna menyimpan ponsel dalam saku, tak
Suara jangkrik terdengar dari arah hutan, suara binatang itu seperti musik abstrak, enak didengar namun terkadang tak enak didengar. Diantara suara jangkrik tersebut, terdengar sebuah siulan yang mengalun cukup pelan."Dasar! Mereka berat!" Keluh seorang wanita sembari memperbaiki posisi barang bawaannya dan kembali berjalan menuju kegelapan hutan."Kenapa sekalian sama tubuhnya sih?! Padahal ruh saja cukup." Keluh wanita itu lagi sembari menyeret sesuatu tersebut lebih cepat."Berisik, Nissa! Cukup turuti saja perintah tuan!" Suara berat berteriak pada wanita itu, sesosok pria adalah apa yang membentaknya.Nissa berdecih pelan, wanita berambut hitam legam itu mengumpat dalam hati dan terus berjalan menuju suatu tempat, suara dari serangga juga mulai menghilang dari pendengarannya.Beberapa saat terdiam, Nissa dan sosok pria tersebut sampai disebuah rumah tua. Wanita itu melirik sekilas ke arah bawah dan menemukan jika kaki pria tersebut tak menapa
Pintu kayu terbuka lebar, menampilkan barang barang yang berserakan. Seorang gadis muda menghela nafas panjang, melihat kondisi rumah, ia berpikir ini merupakan tambahan pekerjaan baginya."Setelah kembali bersekolah, aku akan berterimakasih pada Brian," gumam gadis itu meletakkan tumpukan kertas di atas sofa, salah satu kertas menampilkan nama si gadis, Magdadelna.Suara benda kaca terdengar saling berbenturan, sebuah botol diletakkan di atas meja kayu disudut ruangan oleh Delna. Perempuan berambut pirang terus melakukan hal yang sama, mengambil barang kemudian meletakkannya secara asal."Aw!" rintih Delna ketika menginjak sesuatu.Bingkai kaca merupakan benda yang Delna injak, bagian kaca yang melapisi sebuah foto retak karena Delna. Gadis itu kemudian memungut foto tersebut.Disana terdapat seorang pria, seorang wanita dan juga seorang anak. Mereka bertiga adalah keluarga Delna, perempuan itu tersenyum."Dulu kami adalah keluarga bahagia,
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.